Cinta Tuhan, Cinta Semesta (part 2)

B. Membangun Cinta kepada Tuhan: Kiat dan Pengamalan
Tidak ada cinta dengan paksaan. Cinta Tuhan untuk dan kepada manusia merupakan anugerah terbesar, simbol penghormatan-kemuliaan bagi manusia sekaligus modal utama baginya untuk memilih jalan kehidupan di dunia ini: membalas cinta-Nya dengan mengikuti petunjuk-Nya atau malah menolak-Nya dengan pengabaian dan pendustaan. Masing-masing dari kedua pilihan ini berakhir dengan hasil-konsekuensi yang saling bertolak-belakang: sebagaimana yang telah Allah gariskan[1]:

            “Kami berfirman: “Turunlah kalian semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepada kalian, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Adapaun orang-orang yang menutup diri dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 38-39)
            “Allah berfirman: “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kalian menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka, jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 123-124) 
            Sudah tentu akal sehat dan naluri manusia kita tidak akan rela merasakan penghidupan yang sempit di dunia, dan kelak menjadi penghuni kekal neraka lagi buta. Akan tetapi masalahnya, ketika kita hendak memutuskan untuk membalas cinta-Nya dengan mencintai-Nya, bagaimanakah kiat mengikuti petunjuk-Nya?
            Demi memecahkan masalah inilah, Tuhan menurunkan firman-firman-Nya dari Langit[2] kepada manusia-manusia terpilih, yang umat beriman kenal sebagai para Nabi dan Rasul, yang membawa berita gembira dan peringatan mengancam, supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudahnya mereka diutus (QS. An-Nisa`: 165). Untuk menghadapi dan menaklukkan mereka yang masih membantah dan mungkir atas ajaran Ilahi ini, Allah memberkati para Nabi-Rasul dengan berbagai keistimewaan yang terlihat luar biasa, yang biasa disebut dengan mukjizat.

            Sebagai pamungkas para Nabi yang paripurna (khatamun Nabiyyin), Rasulullah Muhammad Saw. diperintah Tuhan agar mengikuti jejak-jalan petunjuk para Nabi sebelumnya, dan menegaskan bahwa Al-Quran yang diturunkan kepadanya tidak lain merupakan peringatan untuk seluruh umat semesta (QS. Al-An’am: 90). Karena itu, firman Allah agar Muhammad mengatakan: “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutlah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran: 31).
            Setidaknya, ada dua kiat yang ditawarkan Islam untuk membangun cinta kepada Tuhan, agar kita bisa mengikuti Rasul Muhammad dan petunjuk Tuhan, sehingga kita mampu menelusuri jalan spiritual menuju taman cinta-Nya. Dua kiat ini akan penulis jelaskan secara singkat sebagai berikut:
            1. Meyakini Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa
Bagaimana mampu mencintai Allah jika tak meyakini-Nya sebagai Tuhan Yang Maha Esa? Namun, bagaimana pula mungkin kita bisa meyakini-Nya tanpa mengenal-Nya terlebih dahulu? Al-Quran mengisahkan berbagai perjuangan para Nabi untuk mengenalkan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa kepada kaum mereka agar mereka meyakini dan beriman kepada-Nya. Nabi Ibrahim, misalnya, mengamati sang ayah dan kaumnya di kerajaan Babilonia meyembah berhala, bintang-gemintang, rembulan, dan matahari.
            Maka dengan lembut, tegas dan lugas, Nabi Ibrahim memperingatkan mereka atas titik sesat agama mereka: Tuhan tidak mungkin “tak bisa berbicara-tak bermanfaat atau malah terbenam atau berubah-ubah dari tiada ke ada serta sebaliknya”, lalu Nabi Ibrahim mengajari mereka pandangan akal yang sehat-sistematik untuk menemukan dan mengenali Tuhan bahwa “Alam semesta ini berubah, dari semula tak ada menjadi ada, kemudian bisa jadi kembali tidak ada. Jadi, siapakah yang menciptakan “perubahan” alam semesta raya ini?” Maka, Sang Penciptalah yang berhak sebagai Tuhan sejati, yang tak sepatutnya dipersekutukan (QS. Al-An’am: 74-80)[3]. Di surat yang lain, Al-Quran juga memberi “kunci” bagaimana Nabi Ibrahim mendapat petunjuk (hidayah-huda) dari Allah sehingga bisa “menemukan” dan mengenal Tuhan yang sejati. Selain menggunakan akal pikiran yang sehat, Nabi Ibrahim juga memiliki hati yang bersih-suci (QS. Ash-Shaffat: 84).
            Dari dua surat diatas, bisa disimpulkan bahwa ajaran Nabi Ibrahim tentang ketuhanan adalah Monotheisme yang bersih, atau Tauhid sejati. Tidak ada Tuhan melainkan Allah. Tetapi setelah bergulirnya waktu hingga tiba ter-utusnya Nabi Muhammad, Tuhan Nabi Ibrahim yang masyarakat Arab-Quraisy dakwahkan itu hanya tinggal nama. Masyarakat Makkah dan Arab saat itu telah kembali menyembah hingga 360-an berhala, yang mengelilingi Ka’bah[4], padahal dahulu didirikan Nabi Ibrahim bersama putranya Nabi Isma’il untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa (QS. Al-Baqarah: 127).

            Ketika masyarakat Makkah dan beberapa ahli agama di Arab mulai mempertanyakan konsep ketuhanan yang dibawa oleh Nabi Muhammad, maka Allah pun menjawab “rasa penasaran” mereka dengan menurunkan surat Al-Ikhlash yang agung:
            “Katakanlah (wahai Muhammad): “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlash: 1-4)
            Dengan kisah kedua Nabi Allah di atas, lengkaplah sudah bagaimana kita bisa mengenal Tuhan yang Maha Esa dan konsep ketuhanan perspektif Islam melalui kitab sucinya, Al-Quran Al Karim. Dengan mengoptimalkan perangkat akal-sehat dan jiwa-naluri atas petunjuk-Nya, manusia pasti mampu mengenal Allah dan meyakini-Nya sebagai Sang Pencipta Tunggal, yang bukti-bukti keagungan-Nya terhampar luas dalam setiap ciptaan-Nya (al-Âyât al-Kauniyyah, QS. Al-Baqarah: 164) dan juga terjelaskan dalam ayat-ayat suci Al-Quran.




[1] Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Al-Hubb fil Qur`an, (Damaskus: Darul Fikr, 2011), h. 21-24.
[2] Diriwayatkan bahwa Sahabat Ubay bin Ka’ab pernah bertanya kepada Rasulullah Saw: “Berapakah kitab suci yang Allah turunkan?” Nabi Muhammad Saw pun menjawab: “Ada seratus empat kitab. Diantaranya: sepuluh Shahifah kepada Adam, kepada Syits lima-puluh Shahifah, lalu kepada Idris tiga-puluh Shahifah, dan kepada Ibrahim sepuluh Shahifah. Kemudian, kitab At-Taurat (Musa), Al-Injil (Isa), Az-Zabur (Daud), dan Al-Furqan (nama lain dari Al-Qur`an). Hanya saja, tulis Syekh Nawawi Banten, lebih tepat tidak perlu menghitung firman-firman Tuhan dalam bilangan tertentu, sebab saking banyaknya riwayat hadits yang berbeda-beda. Dan yang terpenting, wajib atas seorang Muslim meyakini bahwa Allah telah menurunkan beberapa kitab suci dari Langit, dan ia harus tahu empat kitab suci yang telah tersebut dalam akhir kutipan riwayat Ubay bin Ka’ab ini. Lihat: Syekh Nawawi Banten, Qathrul Ghayts, h. 14.  
[3] Mahmud Az-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasysyaf, (Bairut: Darul Kutubul ‘Arabi, 1407 H), vol. 2, h. 9.
[4] Hamka, Studi Islam, (Singapura: Alharamain Pte Ltd), h. 2.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »