B.
Membangun Cinta kepada Tuhan: Kiat dan Pengamalan
Tidak
ada cinta dengan paksaan. Cinta Tuhan untuk dan kepada manusia merupakan anugerah
terbesar, simbol penghormatan-kemuliaan bagi manusia sekaligus modal utama
baginya untuk memilih jalan kehidupan di dunia ini: membalas cinta-Nya dengan mengikuti
petunjuk-Nya atau malah menolak-Nya dengan pengabaian dan pendustaan.
Masing-masing dari kedua pilihan ini berakhir dengan hasil-konsekuensi yang
saling bertolak-belakang: sebagaimana yang telah Allah gariskan[1]:
“Kami berfirman: “Turunlah kalian
semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepada kalian, maka
barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas
mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Adapaun orang-orang yang menutup
diri dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 38-39)
“Allah berfirman: “Turunlah kamu
berdua dari surga bersama-sama, sebagian kalian menjadi musuh bagi sebagian
yang lain. Maka, jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa
yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan
barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.”
(QS. Thaha: 123-124)
Sudah tentu akal sehat dan naluri
manusia kita tidak akan rela merasakan penghidupan yang sempit di dunia, dan
kelak menjadi penghuni kekal neraka lagi buta. Akan tetapi masalahnya, ketika
kita hendak memutuskan untuk membalas cinta-Nya dengan mencintai-Nya,
bagaimanakah kiat mengikuti petunjuk-Nya?
Demi memecahkan masalah inilah,
Tuhan menurunkan firman-firman-Nya dari Langit[2]
kepada manusia-manusia terpilih, yang umat beriman kenal sebagai para Nabi dan
Rasul, yang membawa berita gembira dan peringatan mengancam, supaya tidak ada
alasan bagi manusia membantah Allah sesudahnya mereka diutus (QS. An-Nisa`:
165). Untuk menghadapi dan menaklukkan mereka yang masih membantah dan mungkir
atas ajaran Ilahi ini, Allah memberkati para Nabi-Rasul dengan berbagai
keistimewaan yang terlihat luar biasa, yang biasa disebut dengan mukjizat.
Sebagai pamungkas para Nabi yang
paripurna (khatamun Nabiyyin), Rasulullah Muhammad Saw. diperintah Tuhan
agar mengikuti jejak-jalan petunjuk para Nabi sebelumnya, dan menegaskan bahwa
Al-Quran yang diturunkan kepadanya tidak lain merupakan peringatan untuk
seluruh umat semesta (QS. Al-An’am: 90). Karena itu, firman Allah agar Muhammad
mengatakan: “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutlah aku,
niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran: 31).
Setidaknya, ada dua kiat yang
ditawarkan Islam untuk membangun cinta kepada Tuhan, agar kita bisa mengikuti Rasul
Muhammad dan petunjuk Tuhan, sehingga kita mampu menelusuri jalan spiritual
menuju taman cinta-Nya. Dua kiat ini akan penulis jelaskan secara singkat sebagai
berikut:
1. Meyakini Allah sebagai Tuhan
Yang Maha Esa
Bagaimana
mampu mencintai Allah jika tak meyakini-Nya sebagai Tuhan Yang Maha Esa? Namun,
bagaimana pula mungkin kita bisa meyakini-Nya tanpa mengenal-Nya terlebih
dahulu? Al-Quran mengisahkan berbagai perjuangan para Nabi untuk mengenalkan Allah
sebagai Tuhan Yang Maha Esa kepada kaum mereka agar mereka meyakini dan beriman
kepada-Nya. Nabi Ibrahim, misalnya, mengamati sang ayah dan kaumnya di kerajaan
Babilonia meyembah berhala, bintang-gemintang, rembulan, dan matahari.
Maka dengan lembut, tegas dan lugas,
Nabi Ibrahim memperingatkan mereka atas titik sesat agama mereka: Tuhan tidak
mungkin “tak bisa berbicara-tak bermanfaat atau malah terbenam atau
berubah-ubah dari tiada ke ada serta sebaliknya”, lalu Nabi Ibrahim mengajari
mereka pandangan akal yang sehat-sistematik untuk menemukan dan mengenali Tuhan
bahwa “Alam semesta ini berubah, dari semula tak ada menjadi ada, kemudian bisa
jadi kembali tidak ada. Jadi, siapakah yang menciptakan “perubahan” alam
semesta raya ini?” Maka, Sang Penciptalah yang berhak sebagai Tuhan sejati, yang
tak sepatutnya dipersekutukan (QS. Al-An’am: 74-80)[3].
Di surat yang lain, Al-Quran juga memberi “kunci” bagaimana Nabi Ibrahim
mendapat petunjuk (hidayah-huda) dari Allah sehingga bisa “menemukan”
dan mengenal Tuhan yang sejati. Selain menggunakan akal pikiran yang sehat,
Nabi Ibrahim juga memiliki hati yang bersih-suci (QS. Ash-Shaffat: 84).
Dari
dua surat diatas, bisa disimpulkan bahwa ajaran Nabi Ibrahim tentang ketuhanan
adalah Monotheisme yang bersih, atau Tauhid sejati. Tidak ada Tuhan melainkan
Allah. Tetapi setelah bergulirnya waktu hingga tiba ter-utusnya Nabi Muhammad,
Tuhan Nabi Ibrahim yang masyarakat Arab-Quraisy dakwahkan itu hanya tinggal
nama. Masyarakat Makkah dan Arab saat itu telah kembali menyembah hingga 360-an
berhala, yang mengelilingi Ka’bah[4],
padahal dahulu didirikan Nabi Ibrahim bersama putranya Nabi Isma’il untuk
menyembah Tuhan Yang Maha Esa (QS. Al-Baqarah: 127).
Ketika masyarakat Makkah dan
beberapa ahli agama di Arab mulai mempertanyakan konsep ketuhanan yang dibawa
oleh Nabi Muhammad, maka Allah pun menjawab “rasa penasaran” mereka dengan
menurunkan surat Al-Ikhlash yang agung:
“Katakanlah (wahai Muhammad):
“Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya
segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlash: 1-4)
Dengan
kisah kedua Nabi Allah di atas, lengkaplah sudah bagaimana kita bisa mengenal
Tuhan yang Maha Esa dan konsep ketuhanan perspektif Islam melalui kitab
sucinya, Al-Quran Al Karim. Dengan mengoptimalkan perangkat akal-sehat dan
jiwa-naluri atas petunjuk-Nya, manusia pasti mampu mengenal Allah dan
meyakini-Nya sebagai Sang Pencipta Tunggal, yang bukti-bukti keagungan-Nya
terhampar luas dalam setiap ciptaan-Nya (al-Âyât al-Kauniyyah, QS. Al-Baqarah: 164) dan juga
terjelaskan dalam ayat-ayat suci Al-Quran.
[1] Dr. Muhammad Sa’id
Ramadhan Al-Buthi, Al-Hubb fil Qur`an, (Damaskus: Darul Fikr, 2011), h.
21-24.
[2] Diriwayatkan bahwa
Sahabat Ubay bin Ka’ab pernah bertanya kepada Rasulullah Saw: “Berapakah kitab
suci yang Allah turunkan?” Nabi Muhammad Saw pun menjawab: “Ada seratus empat
kitab. Diantaranya: sepuluh Shahifah kepada Adam, kepada Syits
lima-puluh Shahifah, lalu kepada Idris tiga-puluh Shahifah, dan
kepada Ibrahim sepuluh Shahifah. Kemudian, kitab At-Taurat (Musa), Al-Injil
(Isa), Az-Zabur (Daud), dan Al-Furqan (nama lain dari Al-Qur`an). Hanya saja,
tulis Syekh Nawawi Banten, lebih tepat tidak perlu menghitung firman-firman
Tuhan dalam bilangan tertentu, sebab saking banyaknya riwayat hadits yang
berbeda-beda. Dan yang terpenting, wajib atas seorang Muslim meyakini bahwa
Allah telah menurunkan beberapa kitab suci dari Langit, dan ia harus tahu empat
kitab suci yang telah tersebut dalam akhir kutipan riwayat Ubay bin Ka’ab ini.
Lihat: Syekh Nawawi Banten, Qathrul Ghayts, h. 14.
[3] Mahmud
Az-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasysyaf, (Bairut: Darul Kutubul ‘Arabi, 1407
H), vol. 2, h. 9.
[4] Hamka, Studi
Islam, (Singapura: Alharamain Pte Ltd), h. 2.