Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Jaringan Islam Liberal (Part 2)


a)      Landasan Historis

Secara teoritis, pernikahan antara orang Muslim dengan Ahli kitab memang pernah terjadi. Pada zaman sahabat misalnya, Utsman bin Affan menikah dengan Bailah binti Qaraqashah al Kalbiyah (beragama Nasrani), Thalhah bin Ubaidillah dengan perempuan Yahudi di Damaskus, Hudzaifah menikah dengan wanita Yahudi di Madinah. Demikian halnya dengan para sahabat lainnya, seperti Ibn Abbas, Jabir, Ka'bah bin Malik, Al-Mughirah bin Syu'bah pernah menikah dengan wanita ahli kitab. Bahkan Nabi sendiri menikah dengan Maria Koptik yang semula beragama non-Islam." Selain itu, pemimpin Palestina, Yasser Arafat, menikah dengan Suha yang beragama Yahudi, dan pernikahan itu tidak menjadi masalah di Negara Palestina.

Berangkat dari sejarah ini, maka tidak menutup kemungkinan untuk mengikuti mereka, karena mereka adalah para sahabat yang pernah hidup semasa dengan Nabi Muhammad, dan sifat keadilan mereka pun telah di-nash dalam Alquran.

b)     Landasan Teologis Normatif

Mereka berasumsi bahwa Islam membuka kemungkinan liberal pada masalah-masalah yang dimungkinkan munculnya penafsiran (interpretable). JIL masih menggunakan teks-teks agama sebagai dalil, namun mengedepankan suatu epistimologi yang menekankan perlunya keragaman di dalam menafsirkan teks-teks ayat-ayat yang dianggap melarang pernikahan beda agama. Ayat-ayat yang berkaitan dengan hal ini antara lain ; QS a l-Baqa rah: 221; QS a l- Mumtahanah: 10, dan QS al-Maidah: 5. Berangkat dari ayat-ayat di atas, ada tiga hal yang harus clear tentang pernikahan beda agama ;

·      Tentang Konsep Ahli Kitab
Menurut Zainun Kamal, kalau merujuk kitab-kitab tafsir, sebenarnya cakupan ahli kitab tidak terbatas hanya Yahudi dan Nasrani. Kedua golongan ini popular disebut sebagai ahli kitab karena kedua agama ini memiliki penganut agama yang cukup banyak. Padahal, lanjutnya, bila seorang sudah percaya kepada salah satu nabi, maka bisa dikategorikan ahli kitab. Secara implicit, Kamal mengatakan bahwa penganut agama-agama yang diakui di Indonesia adalah ahli kitab. Ia memulai pandangannya secara makro, Al-Baghdadiy dalam bukunya al-Farq Baina alFiraq mengatakan bahwa agama Majusi atau Zoroaster yang ada di sekitar Arab juga bisa disebut ahli kitab. Hal ini karena  Zoroaster dianggap sebagai nabi. Bahkan Ibn Rusydi menyebut Aristoteles juga sebagai seorang nabi.
Kalau dalam konteks Indonesia, Agama Budha, Hindu, atau Agama Konghucu dan Shinto, menurut Muhammad Abduh dalam kitab Tafsir al-Manar, juga disebut sebagai ahli kitab, karena ada kitab suci yang dibawa oleh seorang  nabi. Nabi di sini diartikan sebagai pembawa pesan moral. Itu dikaitkan dengan ajaran Al-Quran bahwa "Allah mengutus kepada setiap umat seorang Rasul". Jadi setiap umat mempunyai nabi. Dalam hal ini, agama Budha bisa dikatakan bahwa Sidharta Gautama adalah seorang nabi yang membawa kitab suci. Jadi pengertian dan cakupan Ahli kitab semakin meluas seiring dengan perkembangan zaman.

·      Tentang Konsep Musyrik

Tidak setiap perbuatan syirik menjadikan secara langsung pelakunya disebut musyrik. Karena pada kenyataannya, Yahudi dan Nasrani telah melakukan perbuatan syirik, namun Allah tidak menyebut dan memanggil mereka sebagai musyrik, namun tetap dipanggil dengan ahl al-kitab[1]. Hal ini dapat dilihat dalam surat An-Nisa' ayat 171, Al-Maidah: 5 dan Ali Imran 64. Ada perbedaan pemahaman kata al-Musyrikat[2]  dalam surat Al-Baqarah ayat 221 antara kalangan JIL dan kalangan Jumhurul Ulama. Dari sini muncul juga perbedaan konsep musyrik. Zainul Kamal, "kontributor" JIL, mengatakan bahwa orang musyrik adalah orang yang bukan hanya mempersekutukan Allah, tetapi juga tidak mempercayai salah satu dari kitab-kitab samawi, baik yang telah terdapat penyimpangan ataupun yang masih asli disamping tidak seorang nabi pun yang mereka percayai . Muhammad Ali al-Shabuni dalam kitab Rawai' al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min Al -Quran mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan kata al-musyrikat dalam ayat ini adalah wanita-wanita penyembah berhala dan mereka tidak memeluk agama Samawi [3]. Wahbah Zuhailiy menyatakan bahwa yang dimaksud al-musyrikat dalam ayat tersebut adalah orang yang tidak beragama dan tidak mempunyai kitab Samawi[4].

·      Tentang Konsep Kafir

Dalam Alquran terdapat banyak macam pembagian dalam konsep kafir. Diantaranya, kafir inkar, kafir juhud, kafir syirik, kafir murtad, kafir Ahli kitab, dan lain-lain. Menurut mereka, kafir musyrik dan kafir Ahli kitab adalah berbeda. Bahkan mereka menantang : ”Buka dan bacalah Al Quran dari awal, mulai dari surat Al Fatihah, sampai akhirnya, surat An Nas, kita akan temukan tiga kategori kepercayaan dengan istilah-istilah yang antara satu dan lainnya, arti dan maknanya berbeda, yakni term musyrik, istilah Ahli Kitab, dan istilah Ahl al Iman.
Dari ketiga konsep itu menghasilkan makna bahwa ahli kitab jangkauaanya lebih luas, tak tertentu pada Yahudi dan Nasrani saja. Ketika mereka (selain Yahudi dan Nasrani yang percaya pada suatu kitab) termasuk ahli kitab maka mereka bukan termasuk musyrik karena melihat segi kekafiran mereka yang berbeda. Ketika mereka dikategorkan ahl alkitab, maka tak ada larangan untuk menikahi mereka.

c)      Pluralisme

Dalam kaitannya dengan landasan pembolehan pernikahan lintas agama ini, yang dimaksud pluralisme adalah pluralisme agama (religion pluralism). Hal ini merujuk pada rumusan Hick dalam Encyclopedia of Religion, yang diartikan sebagai teori yang merujuk pada hubungan antara beberapa agama atau tradisi dengan klaim-klaimnya yang saling berlawanan. Menurut Hick, agama-agama besar di dunia sebenarnya merupakan suatu konsepsi yang berbeda-beda sebagai respon terhadap "the ultimat ". Agama-agama hanya merupakan "different manifestation, of the same reality".

Menurut Nurholish Madjid semua agama yang benar pada hakikatnya adalah "al-Islam", yakni semua yang mengajarkan sikap pasrah kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan yang Maha Esa. Dalam kitab suci berulang kali ditegaskan bahwa agama para nabi sebelum Nabi Muhammad saw adalah semuanya al-Islam karena semuanya adalah ajaran tentang sikap pasrah kepada Tuhan. Perbedaan agama hanya pada level eksoterik (lahir), sedangkan awal level esoteriknya (batin) relatif sama[5].

d)     Universal Demi Kemaslahatan

Islam merupakan agama yang sangat menganjurkan nilai-nilai universal seperti keadilan, persatuan, persaudaraan, perdamaian dan nilai-nilai universal lainnya. Menurut kalangan Islam Liberal ayat-ayat universal dan partikular, dan nilai-nilai universalitas Islam terkandung di dalam ayat-ayat AI-Quran yang bersifat universal. Nilai-nilai ini harus ditegakkan oleh setiap Muslim, sehingga apabila ada perbedaan antara ayat universal dengan ayat partikular, maka yang harus dimenangkan adalah ayat-ayat yang  universal. Hal ini untuk menegakkan tujuan Islam yang sebenarnya, yaitu untuk menjaga kemaslahatan manusia. Kemaslahatan (al- mashlahah) sebagai maqashid al-syari'ah merupakan dasar pembentukan hukum Islam harus diprioritaskan sebagai sarana untuk menegakkan nilai-nilai universal Islam. Bahkan kalangan JIL membolehkan amandemen teks-teks agama nash bila bertentangan dengan kemaslahatan masyarakat.

5. PENUTUP

Jaringan Islam Liberal (JIL) merupakan kelompok yang tergolong baru di Indonesia, namun demikian ternyata JIL mampu menciptakan pengaruh yang tidak bisa dianggap sepele di kalangan masyarakat. Produk pemikiran hukum yang mereka kemukakan tampaknya mulai ada yang mengikuti, atau setidaktidaknya, membuat keraguan (tasykik) secara meluas atas pemahaman Islam yang telah mapan dan melembaga.
Melihat realitas masyarakat Indonesia yang sangat kompleks dan plural, mereka membolehkan pernikahan lintas agama. Menurut mereka Al-Quran juga tidak pernah secara tegas melarang hal itu, karena Al-Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan
universal dalam tataran kemanusiaan.
Berbagai ragam pemikiran yang ditelorkan olah Jaringan Islam Liberal (JIL), khususnya pada permasalahan nikah beda agama sebenarnya lebih dapat dikatakan sebagai wacana saja. Berkaitan dengan hal ini, respon paling positif yang seharusnya dimunculkan oleh umat Islam adalah membuka ruang diskusi yang selebar-lebarnya demi terciptanya perkembangan pemikiran di kalangan umat Islam yang semakin dinamis. Sebagai seorang Muslim, upaya strategis yang
perlu dilakukan untuk menjaga stabilitas kehidupan beragama adalah tetap menjalani apa yang digariskan hukum Islam dan hukum positif secara normatif dalam  hal pernikahan sebagaimana dipahami umat Islam kebanyakan saat ini, mengingat pernikahan beda agama yang dilegalkan oleh JIL mau tidak mau akan membawa suatu dampak psikologis-sosiologis yang negatif ketika dibenturkan dengan realitas masyarakat Muslim kebanyakan saat ini.

Oleh : Muhammad Bejo 
Penulis : Penulis adalah mahasiswa mustawa II Kuliah Syariah wal Qonun Al-Ahgaff  University.



[1] . AI-Quran membedakan antara kafir dan musyrik. Hal ini dapat dilihat dalam Surat Al-Maidah ayat 17 dan 73 serta surat Al-Taubah ayat 30.
[2] . Menurut Muhammad Abduh yang dinukilkan oleh Rasyid Ridha bahwa perempuan yang Karam dikawini (al-Musyrikat) oleh laki-laki Muslim dalam surat al-Baqarah ayat 221 adalah perempuan musyrik Arab. (Abdullah dan Ridha, V1, tt: 193). Sedangkan menurut Mujtahid, sebagaimana dikutip dalam kitab dalam kitab al-Thabari, kata al-Musyrikat mencakup kaum Musyrikat secara umum, baik di Mekkah maupun di seluruh dunia, kecuali ahl al kitab, al-Thabary, Tafsir, 386-392)
[3] . Muhammad Ali Al-Shabuni. Rawai' al-Sayan Tafsir ayat al-Ahkam min Al-Quran. (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2001)
[4] . Wahbah Zuhailiy. Tafsir Al-Wasiak (Beirut: Dar al-Fikr al-Ma'ashir, 2000), 118.
[5] . Nurcholish Mudjid. Islam Doktrin dan Peradaban (Jukurta: Paramudinu, 2000), 452-441."

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »