a) Landasan Historis
Secara
teoritis, pernikahan antara orang Muslim dengan Ahli kitab memang pernah
terjadi. Pada zaman sahabat misalnya, Utsman bin Affan menikah dengan Bailah
binti Qaraqashah al Kalbiyah (beragama Nasrani), Thalhah bin Ubaidillah dengan
perempuan Yahudi di Damaskus, Hudzaifah menikah dengan wanita Yahudi di
Madinah. Demikian halnya dengan para sahabat lainnya, seperti Ibn Abbas, Jabir,
Ka'bah bin Malik, Al-Mughirah bin Syu'bah pernah menikah dengan wanita ahli
kitab. Bahkan Nabi sendiri menikah dengan Maria Koptik yang semula beragama
non-Islam." Selain itu, pemimpin Palestina, Yasser Arafat, menikah dengan
Suha yang beragama Yahudi, dan pernikahan itu tidak menjadi masalah di Negara
Palestina.
Berangkat
dari sejarah ini, maka tidak menutup kemungkinan untuk mengikuti mereka, karena
mereka adalah para sahabat yang pernah hidup semasa dengan Nabi Muhammad, dan
sifat keadilan mereka pun telah di-nash dalam Alquran.
b) Landasan Teologis Normatif
Mereka
berasumsi bahwa Islam membuka kemungkinan liberal pada masalah-masalah yang
dimungkinkan munculnya penafsiran (interpretable). JIL masih menggunakan
teks-teks agama sebagai dalil, namun mengedepankan suatu epistimologi yang
menekankan perlunya keragaman di dalam menafsirkan teks-teks ayat-ayat yang
dianggap melarang pernikahan beda agama. Ayat-ayat yang berkaitan dengan hal
ini antara lain ; QS a l-Baqa rah: 221; QS a l- Mumtahanah: 10, dan QS
al-Maidah: 5. Berangkat dari ayat-ayat di atas, ada tiga hal yang harus clear
tentang pernikahan beda agama ;
· Tentang Konsep Ahli Kitab
Menurut
Zainun Kamal, kalau merujuk kitab-kitab tafsir, sebenarnya cakupan ahli kitab
tidak terbatas hanya Yahudi dan Nasrani. Kedua golongan ini popular
disebut sebagai ahli kitab karena kedua agama ini memiliki penganut agama yang
cukup banyak. Padahal, lanjutnya, bila seorang sudah percaya kepada salah satu
nabi, maka bisa dikategorikan ahli kitab. Secara implicit, Kamal mengatakan bahwa
penganut agama-agama yang diakui di Indonesia adalah ahli kitab. Ia memulai pandangannya
secara makro, Al-Baghdadiy dalam bukunya al-Farq Baina alFiraq mengatakan
bahwa agama Majusi atau Zoroaster yang ada di sekitar Arab juga bisa
disebut ahli kitab. Hal ini karena Zoroaster
dianggap sebagai nabi. Bahkan Ibn Rusydi menyebut Aristoteles juga sebagai
seorang nabi.
Kalau
dalam konteks Indonesia, Agama Budha, Hindu, atau Agama Konghucu dan Shinto,
menurut Muhammad Abduh dalam kitab Tafsir al-Manar, juga disebut sebagai
ahli kitab, karena ada kitab suci yang dibawa oleh seorang nabi. Nabi di sini diartikan sebagai pembawa
pesan moral. Itu dikaitkan dengan ajaran Al-Quran bahwa "Allah mengutus
kepada setiap umat seorang Rasul". Jadi setiap umat mempunyai nabi. Dalam
hal ini, agama Budha bisa dikatakan bahwa Sidharta Gautama adalah seorang nabi
yang membawa kitab suci. Jadi pengertian dan cakupan Ahli kitab semakin meluas
seiring dengan perkembangan zaman.
· Tentang Konsep Musyrik
Tidak
setiap perbuatan syirik menjadikan secara langsung pelakunya disebut musyrik.
Karena pada kenyataannya, Yahudi dan Nasrani telah melakukan perbuatan syirik,
namun Allah tidak menyebut dan memanggil mereka sebagai musyrik, namun tetap
dipanggil dengan ahl al-kitab[1]. Hal ini
dapat dilihat dalam surat An-Nisa' ayat 171, Al-Maidah: 5 dan Ali Imran 64. Ada
perbedaan pemahaman kata al-Musyrikat[2] dalam surat Al-Baqarah ayat 221 antara
kalangan JIL dan kalangan Jumhurul Ulama. Dari sini muncul juga
perbedaan konsep musyrik. Zainul Kamal, "kontributor" JIL, mengatakan
bahwa orang musyrik adalah orang yang bukan hanya mempersekutukan Allah, tetapi
juga tidak mempercayai salah satu dari kitab-kitab samawi, baik yang telah
terdapat penyimpangan ataupun yang masih asli disamping tidak seorang nabi pun
yang mereka percayai . Muhammad Ali al-Shabuni dalam kitab Rawai' al-Bayan
Tafsir Ayat al-Ahkam min Al -Quran mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan
kata al-musyrikat dalam ayat ini adalah wanita-wanita penyembah berhala
dan mereka tidak memeluk agama Samawi [3]. Wahbah
Zuhailiy menyatakan bahwa yang dimaksud al-musyrikat dalam ayat tersebut
adalah orang yang tidak beragama dan tidak mempunyai kitab Samawi[4].
· Tentang Konsep Kafir
Dalam
Alquran terdapat banyak macam pembagian dalam konsep kafir. Diantaranya, kafir
inkar, kafir juhud, kafir syirik, kafir murtad, kafir Ahli kitab, dan
lain-lain. Menurut mereka, kafir musyrik dan kafir Ahli kitab adalah berbeda.
Bahkan mereka menantang : ”Buka dan bacalah Al Quran dari awal, mulai dari
surat Al Fatihah, sampai akhirnya, surat An Nas, kita akan temukan tiga
kategori kepercayaan dengan istilah-istilah yang antara satu dan lainnya, arti
dan maknanya berbeda, yakni term musyrik, istilah Ahli Kitab, dan
istilah Ahl al Iman.
Dari ketiga konsep itu menghasilkan makna bahwa ahli kitab
jangkauaanya lebih luas, tak tertentu pada Yahudi dan Nasrani saja. Ketika
mereka (selain Yahudi dan Nasrani yang percaya pada suatu kitab) termasuk ahli
kitab maka mereka bukan termasuk musyrik karena melihat segi kekafiran mereka
yang berbeda. Ketika mereka dikategorkan ahl alkitab, maka tak ada larangan
untuk menikahi mereka.
c) Pluralisme
Dalam
kaitannya dengan landasan pembolehan pernikahan lintas agama ini, yang dimaksud
pluralisme adalah pluralisme agama (religion pluralism). Hal ini
merujuk pada rumusan Hick dalam Encyclopedia of Religion, yang diartikan
sebagai teori yang merujuk pada hubungan antara beberapa agama atau tradisi
dengan klaim-klaimnya yang saling berlawanan. Menurut Hick, agama-agama besar
di dunia sebenarnya merupakan suatu konsepsi yang berbeda-beda sebagai respon terhadap
"the ultimat ". Agama-agama hanya merupakan "different
manifestation, of the same reality".
Menurut
Nurholish Madjid semua agama yang benar pada hakikatnya adalah "al-Islam",
yakni semua yang mengajarkan sikap pasrah kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan
yang Maha Esa. Dalam kitab suci berulang kali ditegaskan bahwa agama para
nabi sebelum Nabi Muhammad saw adalah semuanya al-Islam karena semuanya
adalah ajaran tentang sikap pasrah kepada Tuhan. Perbedaan agama hanya
pada level eksoterik (lahir), sedangkan awal level esoteriknya (batin) relatif
sama[5].
d) Universal Demi Kemaslahatan
Islam
merupakan agama yang sangat menganjurkan nilai-nilai universal seperti
keadilan, persatuan, persaudaraan, perdamaian dan nilai-nilai universal
lainnya. Menurut kalangan Islam Liberal ayat-ayat universal dan partikular, dan
nilai-nilai universalitas Islam terkandung di dalam ayat-ayat AI-Quran yang
bersifat universal. Nilai-nilai ini harus ditegakkan oleh setiap Muslim,
sehingga apabila ada perbedaan antara ayat universal dengan ayat partikular,
maka yang harus dimenangkan adalah ayat-ayat yang universal. Hal ini untuk menegakkan tujuan
Islam yang sebenarnya, yaitu untuk menjaga kemaslahatan manusia. Kemaslahatan (al-
mashlahah) sebagai maqashid al-syari'ah merupakan dasar pembentukan
hukum Islam harus diprioritaskan sebagai sarana untuk menegakkan nilai-nilai
universal Islam. Bahkan kalangan JIL membolehkan amandemen teks-teks agama nash
bila bertentangan dengan kemaslahatan masyarakat.
5.
PENUTUP
Jaringan
Islam Liberal (JIL) merupakan kelompok yang tergolong baru di Indonesia, namun demikian
ternyata JIL mampu menciptakan pengaruh yang tidak bisa dianggap sepele di
kalangan masyarakat. Produk pemikiran hukum yang mereka kemukakan tampaknya
mulai ada yang mengikuti, atau setidaktidaknya, membuat keraguan (tasykik) secara
meluas atas pemahaman Islam yang telah mapan dan melembaga.
Melihat
realitas masyarakat Indonesia yang sangat kompleks dan plural, mereka
membolehkan pernikahan lintas agama. Menurut mereka Al-Quran juga tidak pernah
secara tegas melarang hal itu, karena Al-Quran menganut pandangan universal
tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala
produk hukum Islam klasik yang membedakan kedudukan orang Islam dan non-Islam
harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan
universal
dalam tataran kemanusiaan.
Berbagai
ragam pemikiran yang ditelorkan olah Jaringan Islam Liberal (JIL), khususnya pada
permasalahan nikah beda agama sebenarnya lebih dapat dikatakan sebagai wacana
saja. Berkaitan dengan hal ini, respon paling positif yang seharusnya
dimunculkan oleh umat Islam adalah membuka ruang diskusi yang selebar-lebarnya
demi terciptanya perkembangan pemikiran di kalangan umat Islam yang semakin
dinamis. Sebagai seorang Muslim, upaya strategis yang
perlu dilakukan untuk menjaga stabilitas
kehidupan beragama adalah tetap menjalani apa yang digariskan hukum Islam dan
hukum positif secara normatif dalam hal
pernikahan sebagaimana dipahami umat Islam kebanyakan saat ini, mengingat
pernikahan beda agama yang dilegalkan oleh JIL mau tidak mau akan membawa suatu
dampak psikologis-sosiologis yang negatif ketika dibenturkan dengan realitas
masyarakat Muslim kebanyakan saat ini.
Oleh : Muhammad Bejo
Penulis : Penulis adalah mahasiswa
mustawa II Kuliah Syariah wal Qonun Al-Ahgaff University.
[1] . AI-Quran membedakan
antara kafir dan musyrik. Hal ini dapat dilihat dalam Surat Al-Maidah ayat 17
dan 73 serta surat Al-Taubah ayat 30.
[2] . Menurut Muhammad Abduh
yang dinukilkan oleh Rasyid Ridha bahwa perempuan yang Karam dikawini (al-Musyrikat)
oleh laki-laki Muslim dalam surat al-Baqarah ayat 221 adalah perempuan
musyrik Arab. (Abdullah dan Ridha, V1, tt: 193). Sedangkan menurut Mujtahid,
sebagaimana dikutip dalam kitab dalam kitab al-Thabari, kata al-Musyrikat mencakup
kaum Musyrikat secara umum, baik di Mekkah maupun di seluruh dunia,
kecuali ahl al kitab, al-Thabary, Tafsir, 386-392)
[3] . Muhammad Ali Al-Shabuni.
Rawai' al-Sayan Tafsir ayat al-Ahkam
min Al-Quran. (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah,
2001)
[4] . Wahbah Zuhailiy. Tafsir Al-Wasiak (Beirut: Dar
al-Fikr al-Ma'ashir, 2000), 118.
[5] . Nurcholish
Mudjid. Islam Doktrin dan Peradaban (Jukurta:
Paramudinu, 2000), 452-441."