Cinta Tuhan, Cinta Semesta (part 3)

2. Memperbanyak Mengingat-Nya
Mengenal dan meyakini Tuhan tidak serta-merta membuat seseorang langsung “jatuh cinta” kepada-Nya. Memang keduanya merupakan prasyarat mencinta-Nya, tapi tentu merengkuh cinta Tuhan tak semudah membalik tangan, bukan? Keyakinan iman kita harus diperkuat dan terus di-update dengan kiat kedua: senantiasa berupaya memperbanyak ingat kepada-Nya sepanjang waktu. Sulit? Tidak terlalu juga.
            Hal termudah agar kita senantiasa mengingat-Nya adalah membiasakan untuk menghubungkan segala kenikmatan dengan Tuhan Sang Pemberi nikmat. Ingatlah, segalanya yang kita miliki merupakan nikmat dari Tuhan, yang sepatutnya mengingatkan kita kepada-Nya. Tuhan telah menyediakan media khusus agar manusia bisa leluasa mengingat dan berkomunikasi langsung dengan-Nya. Misalnya saja salat: Setelah meng-esakan diri-Nya, perintah pertama yang Allah wayhukan kepada Nabi Musa tidak lain adalah “Maka, sembahlah Aku, dan dirikanlah salat demi mengingat-Ku,” (QS. Thaha: 14).

            Untuk meningkatkan daya ingat ini, Rasulullah Saw. mengajarkan kita untuk meluapkan harapan (doa) pada setiap aktivitas: Ada doa tidur-bangun dari tidur, doa makan-setelah makan, doa masuk toilet-keluar toilet, dan seterusnya. Bila kita mengingat-Nya setiap kali nikmat “mendatangi” kita, terlebih kita amalkan doa-doa ini dengan menghayati kandungannya, pastilah ingatan kita kepada Allah Swt akan menyuburkan benih-benih cinta Ilahi di dalam sanubari.
            Inilah cara termudah yang Rasulullah tunjukkan kepada kita: “Cintailah Allah karena segenap nikmat-Nya yang Ia karuniakan kepadamu…”[1]. Semakin banyak mengingat-Nya, semakin tenteram jiwa kita, semakin besar cinta kita kepada-Nya, hingga tergolong sebagai Ulul Albab, yaitu orang-orang yang senantiasa mengingat Allah disaat berdiri, atau duduk, atau dalam keadaan berbaring… (QS. Ali Imran: 190-191), hingga menjadi Mukmin sejati: mereka yang ketika disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dilantunkan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka, dan hanya kepada Tuhanlah mereka berserah diri (QS. Al-Anfal: 2).
C. Epilog: Cinta Tuhan Melahirkan Cinta Semesta
Selain meningkatkan kualitas-kuantitas ketaatan religi, cinta kepada Tuhan juga meniscayakan cinta semesta: cinta kepada alam semesta dan se-isinya. Terlebih lagi, kepada sesama manusia yang lemah. Terbukti, sejak periode Makkah, Al-Quran telah mengkategorikan orang yang sering menghardik anak yatim dan enggan menganjurkan memberi makan kepada orang miskin sebagai orang yang mendustakan agama (QS. Al-Ma`un: 1-3). Dan memasuki episode Madinah, dalam banyak kesempatan, Al-Quran tak jarang menyerukan umat beriman untuk menunaikan zakat, yang merupakan simbol cinta sesama, setalah perintah salat, yang merupakan menifestasi cinta kepada Tuhan[2].

            Cinta semesta juga selalu ditekankan oleh Rasulullah Saw, yang memang diutus untuk misi menebar cinta kasih kepada semesta alam raya (QS. Al-Anbiya`: 107). Banyak teladan dan hadits Nabi Kasih ini tentang cinta semesta. Diantaranya, yang paling berkesan bagi penulis:
1. “Siapa yang tak mengasihi, takkan pernah Allah kasihi.”[3]
2. “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, hingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.[4]
3. “Orang-orang yang penuh kasih sayang pasti disayang Allah yang Maha Rahman: (Maka dari itu,) kasihilah semua makhluk di muka bumi ini, niscaya semua makhluk di langit mengasihi kalian.”[5]
            Sifat cinta semesta akan selalu terpancar dari setiap hamba yang mencintai Rabb-nya. Karena memang sumber segala jenis cinta lahir dari rahim yang sama: cinta Tuhan kepada makhluk-Nya, baik disadari atau tidak. Bahkan, kepada mereka yang dzalim pun, para kekasih Tuhan akan membalasnya tidak dengan kelaliman, tapi dengan belas cinta kasih.
            Salah satu dari para kekasih Tuhan yang terekam jejaknya dalam beberapa literatur tafsir Al-Quran adalah seorang  tua-renta bernama Habib An-Najjâr, yang hendak mencegah kaumnya agar tidak membunuh para utusan Nabi Mulia Isa Al-Masih[6]. Meski terjangkit penyakit kusta, ia dengan tulus berjalan dari ujung kota demi menasihati kaumnya yang lalim.
            Namun, apa balasannya? Mereka malah merajam-melempari orang lemah ini dengan batu demi batu. Di tengah serbuan yang mematikan itu, ia justru terus-menerus memanjatkan doa kepada Tuhan: “Duhai Tuhan, berilah petunjuk pada kaumku, sebab sungguh mereka belum tahu.” Tak ada satupun orang yang berani menahan amukan massa ini, hingga akhirnya ia pun tewas mengenaskan[7].

            Atas cinta kasih pengorbanan dan ketulusan tokoh bernama Habib ini, Al-Quran meyakinkan bahwa setelah meninggal: “Dikatakan (kepadanya): “Masuklah engkau ke surga!” Ia berkata: “Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun, dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.” (QS. Yasin: 26-27).
            Sebagai penutup, izinkan penulis akhiri paper sederhana ini dengan “puitisasi” kisah heroik diatas sebagai berikut:
Saat diantara Hidup dan Mati
Matanya sedikit terpejam
Lalu cahaya-Nya tiba melintas
Surga, ia terlihat nyata
Namun, ada sedikit sesal yang masih ia simpan
Andai....andaiii
Bukan bahagia dulu yang ia tumpahkan
Melainkan tangis harap, yang mungkin sudah melambat
Andai mereka sadar
Andai mereka merasa
Andai mereka melihat
Andai mereka tahu betul
Apa yang kini kurasa
Apa yang kini kulihat
Luasnya ampunan
Gelimang pahala yang membuatku terhormat
Ahhh, andai saja
Isak batinnya, pedih
Konon, dalam catatan suatu riwayat, ia disalib di atas pintu sebuah kota tua itu
Ada juga yang mewartakan, setelah tercekik rantai, tubuhnya dimutilasi, kecil-kecil, lalu dipamerkan pada keramaian pasar
Ia terkubur disana
Meski diperlakukan keji, ia tak pernah sekalipun menyimpan dendam
Hingga surga menjemput, hatinya begitu welas dan memelasi mereka yang membunuh
"Kekasih Tuhan," seseorang lagi memberiku bisikan, "takkan pernah tersulut api amarah, tapi senantiasa mendoakan baik untuk siapapun."

Oleh: M. Robi Uz
Kuala Lumpur, Dini Rabu, 01 Februari 2017



[1] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dari Sahabat Ibn ‘Abbas, Sunan At-Tirmidzi, (Bairut: Darul Gharb Al-Islami, 1998), vol. 6, h. 134, no. 3789.
[2] QS. Al-Baqarah, 43, 83, 110, 177, 277; QS. An-Nisa`: 77, 162; QS. Al-Ma`idah: 12, 55; QS. Al-Hajj: 78, dst.
[3] Al-Mundziri, At-Tarhib wat Targhib, vol. 3, h. 210.
[4] Hadits riwayat Muttafaqun álaih; Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, no. 13, dan Muslim, no. 45.
[5] Hadits riwayat At-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya, no. 1924.
[6] Menurut salah satu riwayat, nama para utusan mulia tersebut adalah Syam’un, Yohana, dan Polish. Lihat: Tafsir Ibnu Katsir, (Riyadh: Dar Thaybah, 1999), vol. 6, h. 569.
[7] Ibid., vol. 6, h. 570-73.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »