2.
Memperbanyak Mengingat-Nya
Mengenal
dan meyakini Tuhan tidak serta-merta membuat seseorang langsung “jatuh cinta”
kepada-Nya. Memang keduanya merupakan prasyarat mencinta-Nya, tapi tentu
merengkuh cinta Tuhan tak semudah membalik tangan, bukan? Keyakinan iman kita
harus diperkuat dan terus di-update dengan kiat kedua: senantiasa
berupaya memperbanyak ingat kepada-Nya sepanjang waktu. Sulit? Tidak terlalu
juga.
Hal termudah agar kita senantiasa
mengingat-Nya adalah membiasakan untuk menghubungkan segala kenikmatan dengan
Tuhan Sang Pemberi nikmat. Ingatlah, segalanya yang kita miliki merupakan
nikmat dari Tuhan, yang sepatutnya mengingatkan kita kepada-Nya. Tuhan telah
menyediakan media khusus agar manusia bisa leluasa mengingat dan berkomunikasi
langsung dengan-Nya. Misalnya saja salat: Setelah meng-esakan diri-Nya, perintah
pertama yang Allah wayhukan kepada Nabi Musa tidak lain adalah “Maka,
sembahlah Aku, dan dirikanlah salat demi mengingat-Ku,” (QS. Thaha: 14).
Untuk meningkatkan daya ingat ini,
Rasulullah Saw. mengajarkan kita untuk meluapkan harapan (doa) pada setiap
aktivitas: Ada doa tidur-bangun dari tidur, doa makan-setelah makan, doa masuk
toilet-keluar toilet, dan seterusnya. Bila kita mengingat-Nya setiap kali
nikmat “mendatangi” kita, terlebih kita amalkan doa-doa ini dengan menghayati
kandungannya, pastilah ingatan kita kepada Allah Swt akan menyuburkan
benih-benih cinta Ilahi di dalam sanubari.
Inilah
cara termudah yang Rasulullah tunjukkan kepada kita: “Cintailah Allah karena
segenap nikmat-Nya yang Ia karuniakan kepadamu…”[1].
Semakin banyak mengingat-Nya, semakin tenteram jiwa kita, semakin besar
cinta kita kepada-Nya, hingga tergolong sebagai Ulul Albab, yaitu
orang-orang yang senantiasa mengingat Allah disaat berdiri, atau duduk, atau
dalam keadaan berbaring… (QS. Ali Imran: 190-191), hingga menjadi Mukmin
sejati: mereka yang ketika disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan
apabila dilantunkan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka, dan hanya kepada
Tuhanlah mereka berserah diri (QS. Al-Anfal: 2).
C.
Epilog: Cinta Tuhan Melahirkan Cinta Semesta
Selain
meningkatkan kualitas-kuantitas ketaatan religi, cinta kepada Tuhan juga
meniscayakan cinta semesta: cinta kepada alam semesta dan se-isinya. Terlebih
lagi, kepada sesama manusia yang lemah. Terbukti, sejak periode Makkah,
Al-Quran telah mengkategorikan orang yang sering menghardik anak yatim dan
enggan menganjurkan memberi makan kepada orang miskin sebagai orang yang
mendustakan agama (QS. Al-Ma`un: 1-3). Dan memasuki episode Madinah, dalam banyak
kesempatan, Al-Quran tak jarang menyerukan umat beriman untuk menunaikan zakat,
yang merupakan simbol cinta sesama, setalah perintah salat, yang merupakan
menifestasi cinta kepada Tuhan[2].
Cinta
semesta juga selalu ditekankan oleh Rasulullah Saw, yang memang diutus untuk
misi menebar cinta kasih kepada semesta alam raya (QS. Al-Anbiya`: 107). Banyak
teladan dan hadits Nabi Kasih ini tentang cinta semesta. Diantaranya, yang
paling berkesan bagi penulis:
1. “Siapa yang tak mengasihi, takkan pernah Allah
kasihi.”[3]
2. “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya,
hingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.”[4]
3. “Orang-orang yang penuh kasih sayang pasti
disayang Allah yang Maha Rahman: (Maka dari itu,) kasihilah semua makhluk di
muka bumi ini, niscaya semua makhluk di langit mengasihi kalian.”[5]
Sifat cinta semesta akan selalu
terpancar dari setiap hamba yang mencintai Rabb-nya. Karena memang sumber
segala jenis cinta lahir dari rahim yang sama: cinta Tuhan kepada makhluk-Nya,
baik disadari atau tidak. Bahkan, kepada mereka yang dzalim pun, para kekasih
Tuhan akan membalasnya tidak dengan kelaliman, tapi dengan belas cinta kasih.
Salah
satu dari para kekasih Tuhan yang terekam jejaknya dalam beberapa literatur
tafsir Al-Quran adalah seorang tua-renta bernama Habib An-Najjâr,
yang hendak mencegah kaumnya agar tidak membunuh para utusan Nabi Mulia Isa
Al-Masih[6].
Meski terjangkit penyakit kusta, ia dengan tulus berjalan dari ujung kota demi
menasihati kaumnya yang lalim.
Namun,
apa balasannya? Mereka malah merajam-melempari orang lemah ini dengan batu demi
batu. Di tengah serbuan yang mematikan itu, ia justru terus-menerus memanjatkan
doa kepada Tuhan: “Duhai Tuhan, berilah petunjuk pada kaumku, sebab sungguh
mereka belum tahu.” Tak ada satupun orang yang berani menahan amukan massa
ini, hingga akhirnya ia pun tewas mengenaskan[7].
Atas cinta kasih pengorbanan dan
ketulusan tokoh bernama Habib ini, Al-Quran meyakinkan bahwa setelah meninggal:
“Dikatakan (kepadanya): “Masuklah engkau ke surga!” Ia berkata: “Alangkah
baiknya sekiranya kaumku mengetahui apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun,
dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.” (QS. Yasin:
26-27).
Sebagai
penutup, izinkan penulis akhiri paper sederhana ini dengan “puitisasi”
kisah heroik diatas sebagai berikut:
Saat
diantara Hidup dan Mati
Matanya
sedikit terpejam
Lalu
cahaya-Nya tiba melintas
Surga,
ia terlihat nyata
Namun,
ada sedikit sesal yang masih ia simpan
Andai....andaiii
Bukan
bahagia dulu yang ia tumpahkan
Melainkan
tangis harap, yang mungkin sudah melambat
Andai
mereka sadar
Andai
mereka merasa
Andai
mereka melihat
Andai
mereka tahu betul
Apa
yang kini kurasa
Apa
yang kini kulihat
Luasnya
ampunan
Gelimang
pahala yang membuatku terhormat
Ahhh,
andai saja
Isak
batinnya, pedih
Konon,
dalam catatan suatu riwayat, ia disalib di atas pintu sebuah kota tua itu
Ada
juga yang mewartakan, setelah tercekik rantai, tubuhnya dimutilasi,
kecil-kecil, lalu dipamerkan pada keramaian pasar
Ia
terkubur disana
Meski
diperlakukan keji, ia tak pernah sekalipun menyimpan dendam
Hingga
surga menjemput, hatinya begitu welas dan memelasi mereka yang membunuh
"Kekasih
Tuhan," seseorang lagi memberiku bisikan, "takkan pernah tersulut api
amarah, tapi senantiasa mendoakan baik untuk siapapun."
Kuala Lumpur, Dini Rabu, 01 Februari 2017
[1] Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dari Sahabat Ibn ‘Abbas, Sunan
At-Tirmidzi, (Bairut: Darul Gharb Al-Islami, 1998), vol. 6, h. 134, no.
3789.
[2] QS. Al-Baqarah, 43,
83, 110, 177, 277; QS. An-Nisa`: 77, 162; QS. Al-Ma`idah: 12, 55; QS. Al-Hajj:
78, dst.
[3] Al-Mundziri, At-Tarhib
wat Targhib, vol. 3, h. 210.
[4] Hadits riwayat Muttafaqun
álaih; Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, no. 13, dan Muslim, no. 45.
[5] Hadits riwayat
At-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya, no. 1924.
[6] Menurut salah satu
riwayat, nama para utusan mulia tersebut adalah Syam’un, Yohana, dan Polish.
Lihat: Tafsir Ibnu Katsir, (Riyadh: Dar Thaybah, 1999), vol. 6, h. 569.
[7] Ibid., vol. 6,
h. 570-73.