IFTITAH
Sebelumnya
harus saya akui, bukan sesuatu yang mudah mengungkap perjalanan hidup seorang
tokoh secara lengkap serta mempelajari pemikiran dan gagasan-gagasannya, apalagi
oleh lingkungan kita, tokoh tersebut tidak begitu tenar dan digandrungi,
terlebih bila kita tidak pernah berinteraksi langsung.
Namun, secara pribadi,
saya merasa tertarik dan tertantang untuk mengkaji lebih dalam tentang
perjalanan hidup seorang figur yang kurang begitu dikenal khalayak umum.
Adalah Syekh Muhammad
Zahid al-Kautsari, salah satu dari sederetan daftar ulama Islam yang tidak
banyak dikenal oleh mahasiswa al-Ahgaff secara umum dan mahasiswa Indonesia
al-Ahgaff secara khusus. Namun, hal itu tidak menghalangi mutiara untuk tetap
berkilau dan tampak memukau.
Tercatat sebagai salah
satu ulama yang aktif dalam pelbagai disiplin ilmu; hadits, tafsir, ushul,
bahasa, sastra, logika, metafisika, filsafat, akhlak dan sejarah. Disamping
itu, beliau merupakan penjelmaan kritikus sejati. Dalam banyak tulisannya, baik
yang dituangkan dalam karya pribadi atau dimuat di media massa, sering kali
beliau memberikan kritik tajam-akurat terhadap isu-isu panas seputar keagamaan.
Tidak cukup disitu saja, beliau juga dikenal sebagai tokoh dengan gagasan dan
ide-ide ishlah dibanyak bidang, baik pendidikan, kekeluargaan,
kemasyarakatan, perpolitikan dan lain sebagainya.
Lazimnya seorang ulama,
beliau dibekali Allah Swt tutur kata yang baik dan mendalam, disamping beliau
diberi nikmat 'pena yang mengalir', yang senantiasa digunakan untuk memberi
proteksi pada Islam dari wacana dan paham yang berpotensial mereduksi
norma-norma keislaman. Banyak sudah buah karya yang ditorehkan beliau, sebagian
dari karya itu ada yang sudah dicetak dan sebagian lainnya masih berbentuk
manuskrip.
Awal perkenalan saya
dengan al-Kautsari, di saat saya untuk pertama kalinya membaca catatan-catatan
kecil sebagai komentar atau kritik beliau yang dimuat di beberapa harian di
Mesir yang akhirnya dikodifikasikan dalam bentuk buku dengan judul Maqâlât
al-Kautsari. Kodifikasi itu tidak serta merta muncul dari keinginan atau
wasiat beliau. Namun, ide itu muncul dari Syekh Isma'il al-Banury, seorang teman
sekaligus murid beliau yang juga guru besar ilmu hadits di lembaga pendidikan
Darul Ulum, Pakistan. Atas inisiatif dan saran Syekh Ismail pula, semua kata
pengantar beliau (Syekh Muhammad Zahid. pen) untuk beberapa kitab yang siap
cetak dikumpulkan menjadi sebuah buku yang berjudul Muqaddimât al-Kautsari.
Hal ini menambah kekagugaman saya pada beliau. Terus terang, sepanjang saya
mempelajari dan membaca buku literatur ulama, baru kali ini saya menyaksikan
ada seorang ulama yang tulisan-tulisannya benar-benar berharga hingga kata
pengantarnya dibukukan.
Disamping
keluasan ilmu yang dimiliki, beliau juga termasuk murabbi sekaligus seorang sufi kental. Tidak hanya pandai mengulas dan
mempresentasikan ilmu, beliau tergolong ulama yang sangat tekun beribadah dan
dermawan. Sisi akhlak yang membuat saya kagum adalah kezuhudannya. Sesuai
namanya, Zahid, beliau merupakan wujud kezuhudan ulama salaf serta salah satu
imam dalam zuhud. Tidak pernah sekalipun beliau memungut atau menerima bayaran
dari ilmu yang beliau sampaikan dan paling betah bersabar saat dirundung
kemiskinan. Salah satu perkataannya yang paling berkesan bagi pribadi saya
adalah "Maa
yadkhulu al-dirhamu fi syay'in illaa wa yakhruju minhu al-ikhlas."
Dilahirkan pada Selasa
pagi hari tepat saat adzan subuh berkumandang di sebuah desa kecil bernama H.
Hasan Affandi Quraisiy tanggal 27 atau 28 Syawwal pada tahun 1296 dalam
keluarga yang menjujung tinggi ilmu dan nilai-nilai keislaman.