AL-KAUTSARI: PEMBAHARUAN AGAMA DAN ISU PERCERAIAN FIKIH DARI AGAMA (dirâsah dzâtiyyah wa al-fikrah) (Part 1)

IFTITAH
Sebelumnya harus saya akui, bukan sesuatu yang mudah mengungkap perjalanan hidup seorang tokoh secara lengkap serta mempelajari pemikiran dan gagasan-gagasannya, apalagi oleh lingkungan kita, tokoh tersebut tidak begitu tenar dan digandrungi, terlebih bila kita tidak pernah berinteraksi langsung.

            Namun, secara pribadi, saya merasa tertarik dan tertantang untuk mengkaji lebih dalam tentang perjalanan hidup seorang figur yang kurang begitu dikenal khalayak umum.
            Adalah Syekh Muhammad Zahid al-Kautsari, salah satu dari sederetan daftar ulama Islam yang tidak banyak dikenal oleh mahasiswa al-Ahgaff secara umum dan mahasiswa Indonesia al-Ahgaff secara khusus. Namun, hal itu tidak menghalangi mutiara untuk tetap berkilau dan tampak memukau.
            Tercatat sebagai salah satu ulama yang aktif dalam pelbagai disiplin ilmu; hadits, tafsir, ushul, bahasa, sastra, logika, metafisika, filsafat, akhlak dan sejarah. Disamping itu, beliau merupakan penjelmaan kritikus sejati. Dalam banyak tulisannya, baik yang dituangkan dalam karya pribadi atau dimuat di media massa, sering kali beliau memberikan kritik tajam-akurat terhadap isu-isu panas seputar keagamaan. Tidak cukup disitu saja, beliau juga dikenal sebagai tokoh dengan gagasan dan ide-ide ishlah dibanyak bidang, baik pendidikan, kekeluargaan, kemasyarakatan, perpolitikan dan lain sebagainya.

            Lazimnya seorang ulama, beliau dibekali Allah Swt tutur kata yang baik dan mendalam, disamping beliau diberi nikmat 'pena yang mengalir', yang senantiasa digunakan untuk memberi proteksi pada Islam dari wacana dan paham yang berpotensial mereduksi norma-norma keislaman. Banyak sudah buah karya yang ditorehkan beliau, sebagian dari karya itu ada yang sudah dicetak dan sebagian lainnya masih berbentuk manuskrip.
            Awal perkenalan saya dengan al-Kautsari, di saat saya untuk pertama kalinya membaca catatan-catatan kecil sebagai komentar atau kritik beliau yang dimuat di beberapa harian di Mesir yang akhirnya dikodifikasikan dalam bentuk buku dengan judul Maqâlât al-Kautsari. Kodifikasi itu tidak serta merta muncul dari keinginan atau wasiat beliau. Namun, ide itu muncul dari Syekh Isma'il al-Banury, seorang teman sekaligus murid beliau yang juga guru besar ilmu hadits di lembaga pendidikan Darul Ulum, Pakistan. Atas inisiatif dan saran Syekh Ismail pula, semua kata pengantar beliau (Syekh Muhammad Zahid. pen) untuk beberapa kitab yang siap cetak dikumpulkan menjadi sebuah buku yang berjudul Muqaddimât al-Kautsari. Hal ini menambah kekagugaman saya pada beliau. Terus terang, sepanjang saya mempelajari dan membaca buku literatur ulama, baru kali ini saya menyaksikan ada seorang ulama yang tulisan-tulisannya benar-benar berharga hingga kata pengantarnya dibukukan.
            Disamping keluasan ilmu yang dimiliki, beliau juga termasuk murabbi sekaligus seorang sufi kental. Tidak hanya pandai mengulas dan mempresentasikan ilmu, beliau tergolong ulama yang sangat tekun beribadah dan dermawan. Sisi akhlak yang membuat saya kagum adalah kezuhudannya. Sesuai namanya, Zahid, beliau merupakan wujud kezuhudan ulama salaf serta salah satu imam dalam zuhud. Tidak pernah sekalipun beliau memungut atau menerima bayaran dari ilmu yang beliau sampaikan dan paling betah bersabar saat dirundung kemiskinan. Salah satu perkataannya yang paling berkesan bagi pribadi saya adalah "Maa yadkhulu al-dirhamu fi syay'in illaa wa yakhruju minhu al-ikhlas."
            Dilahirkan pada Selasa pagi hari tepat saat adzan subuh berkumandang di sebuah desa kecil bernama H. Hasan Affandi Quraisiy tanggal 27 atau 28 Syawwal pada tahun 1296 dalam keluarga yang menjujung tinggi ilmu dan nilai-nilai keislaman.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »