PEMBAHARUAN AGAMA VERSI KLASIK, MODERN DAN
AL-KAUTSARI
Pembaharuan
agama sebenarnya bukan barang baru. Bisa saya katakan wacana ini telah berumur
lebih dari 14 abad, jauh lebih tua bahkan dari nenek moyang kita. Tepatnya saat
Nabi Muhammad Saw menyinggung isu ini dalam hadits yang berbunyi;
﴿إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة
سنة من يجدّد لها دينها﴾([1])
Meskipun
kedudukan hadits ini masih menjadi kontroversi di kalangan ahli hadits. Namun,
tidak sedikit ulama yang percaya pada hadits ini dan mengklaim bahwa kandungan hadits
ini benar-benar riil.
Terinspirasi
dari hadits ini pulalah, salafus shalih mendaulat al-Khalîfah al-Khâmis, Umar Ibn Abdul Aziz sebagai pembaharu abad pertama, kemudian
diteruskan oleh al-Syafi'i pada abad kedua dan seterusnya. Terdapat banyak
versi dalam tubuh umat Islam sendiri mengenai klaim sang pembaharu sesuai
dengan sekte dan aliran masing-masing.
Sebelum
kita masuk lebih jauh kedalam pembahasan diskursus ini, ada baiknya kita
memahami sekelumit mengenai persepsi penyegaran agama menurut beberapa kalangan
ulama Islam.
Ulama
salaf era skolastik dan sebelumnya memahami kata tajdîd dalam hadits Nabi sebagai upaya menyegarkan dan mengembalikan ajaran Islam
sebagaimana yang terdapat pada masa Nabi dan Sahabat[2].
Termasuk dari makna tajdid adalah mensterilkan agama dari bid'ah. Hal ini
sebagaimana ditegaskan oleh Syekh al-'Adhim Abadi dalam Aun al-Ma'bûd[3]. Ijtihad al-Madzhabi menempati urutan ketiga dalam makna tajdid menurut ulama salaf.
Interpretasi ini disebutkan diklaim pendapat Ibnu Katsir yang dikutip al-Munawi
dalam Faidlu
al-Qadîr-nya (vol 2 halaman 282. Cet.
Daar al-Makrifah).
Isu
ini begitu ramai diperbincangkan pada saat beliau (Syekh
Muhammad Zahid. pen) pindah dari Turki ke Mesir, bahkan al-Azhar yang didaulat
sebagai pusat kajian keislaman pun tak luput dari mempelajari isu ini. Tak
pelak, banyak sekali tokoh-tokoh al-Azhar, seperti Ustadz Muhammad Abduh, Syekh
Muhammad Musthofa al-Maraghy dan beberapa masyâyikh al-Azhar lainnya menjadi corong pembaharuan agama.
Banyak
sekali paradigma yang dimunculkan wacana pembaharuan agama. Diantaranya,
menceraikan fikih dari agama, memprioritaskan adat istiadat dan mashlahah 'aqliyyah, anti madzhab, dan banyak sekali isu-isu segar
lainnya.
Syeikh
Muhammad Abduh menilai bahwa pembaharuan agama adalah penafsiran kembali agama
dengan mengamandemen pelbagai ketetapan prinsip-prinsip dasar keagamaan yang
dipandang tidak relevan dengan perkembangan zaman. Beliau merupakan salah satu
ikon besar yang banyak melahirkan anak ideologi di Mesir dan beberapa negara di
belahan dunia lainnya. Isu yang berdengung di Mesir dengan nama al-Ishlah al-Dîniy ini sempat mengalami masa keemasan pemikiran
pada era 50-60-an meskipun akhirnya harus redup kembali[4].
Pada
tahun 1919 terjadi revolusi besar-besaran yang memberikan kemerdekaan bagi Mesir
dari cengkraman Inggris. Revolusi ini seolah-olah menjadi genderang yang
menandai wacana al-Ishlah
al-Dîniy telah dimulai.
Bagi
al-Kautsari, agama dan syariat adalah apa yang dipahami para Sahabat, Tabi'in dan
Tabi'it tabi'in dari al-Qur'an dan al-Sunnah sesuai dengan gramatika Arab yang
dimiliki mereka. Sedangkan ijtihad yang dilakukan para fuqaha tak lebih dari sekedar usaha memahami syariat
dengan perspektif syariat itu sendiri. Fuqaha sama sekali tidak punya wewenang mengintervensi hukum syariat.
Al-Kautsari
berpendapat bahwa proyek pemahaman ulang fikih yang dilakukan oleh muta`akhkhirîn (bukan mu'ashirin) tak lebih dari upaya memecahkan problematika kekinian, tanpa
sedikitpun merubah konfigurasi yang telah diterapkan oleh syariat. Islam tidak
bisa disamakan dengan agama lain seperti Nasrani. Dalam Islam, teks-teks
keagamaan begitu terjaga dan bisa dipertanggungjawabkan orisinalitasnya.
Berbeda dengan Kristen dan Yahudi yang pemeluknya banyak sekali melakukan tahrif pada kitab-kitab suci
mereka.
[1] HR. Abu Dâud, al-Hâkim dan
al-Baihaqi dalam Shahîh al-Jâmi’ al-Shaghir, 1870.
[2] Makna ini dikutip al-Munawi
dalam Faidl al-Qadir dari kalamnya Syekh al-'Alqami, vol. 1/Hal. 14.
[3] 'Aun al-Ma'bûd, vol.
11/Hal. 391.
[4] Makalah salah satu dosen di
sebuah Universitas di Malaysia dengan judul Mushtholah al-Tajdîd, (tanpa
nama).