Dualisme antara Universalitas dan Historisitas Teks Agama (part 1)


A. Pendahuluan
KETIKA semakin banyak kalangan yang mempertanyakan sebatas manakah kemampuan Fiqh Islami mengejar laju kecepatan era globlalisasi dengan problematikanya yang semakin kompleks ini, banyak di antara sebagian pemikir kontemporer menawarkan beberapa solusi yang cukup kontroversial dan mampu mencuri perhatian kalangan muda nan progresif untuk kemudian menjadi missionaris wacana-wacana pemikiran mereka. Mereka menilai kejumudan Fiqh ada karena metodologi istinbath hukum yang terkodifikasi dalam ilmu Ushul Fiqh tidak lagi mumpuni menelurkan produk hukum yang sesuai kebutuhan zaman, sehingga sudah menjadi keniscayaan perlunya pembaharuan Ushul Fiqh secara aktual.




Pembaharuan yang mereka kampanyekan menurut penulis bisa disimpulkan dalam dua gambaran; Pertama, pembaharuan secara radikal dengan mengganti corak tranferensial (naqliyah) menjadi lebih rasional ('aqliyah), seperti memenangkan dalil mashlahat ketika berbenturan dengan nash al-Quran atau al-Hadits. Kedua, reaktualisasi pendapat-pendapat lemah mengenai kaidah Ushul Fiqh yang mereka anggap kontekstual dan meninggalkan kaidah yang tekstual-literal. Hal ini karena mereka memandang Ushul Fiqh selama ini telah memperlamban produktifitas hukum Fiqh, karena begitu bergantungnya mayoritas ulama Ushul Fiqh pada entitas teks dan banyak mengesampingkan atribut kontekstual-nya, termasuk sisi historisitas-nya, seperti tergambarkan dalam perbedaan pendapat mengenai dua kaidah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini. Jadi, bagaimanakah sebenarnya perbedaan pendapat tersebut? Apakah sebagaimana dalam anggapan pemikir liberal? Penulis mencoba menyajikannya dalam kajian problematika dualisme antara universalitas dan historisitas teks agama, dan mengajak para diskusan untuk mendiskusikannya agar semakin matang dan meneliti kesalahan yang ada, sehingga manambah pengetahuan bersama.


B. Kaidah Pertama: "al-'Ibrah bi 'Umum al-Lafdhi La bi Khusus al-Sabab"
Kaidah pertama ini, dan juga kaidah kedua, terdapat dalam kasus permasalahan ketika sebuah teks yang secara semantik (ilmu dalalat al-alfadz) menunjukkan makna umum, menjawab dengan independen (istiqlal) suatu persoalan atau kasus yang lebih spesifik. Maka pendapat jumhur ulama Ushul Fiqh adalah mengutamakan pemahaman dari sudut keumuman makna teks, dan bukan hanya dari latar belakang turunnya teks tersebut (background historis). Pendapat ini berdasarkan pada eksisnya faktor semantik (wujudul muqtadli al-dalalah) yang menunjukkan makna umum dalam teks tersebut tanpa ada sesuatu mani' (pencegah) yang mencegah eksistensinya. Dan selain itu juga, tidak adanya pertentangan antara teks umum ('amm) dan sabab al-nuzul (background historis), sehingga masih memungkinkan untuk mengaplikasikan kandungan teks secara umum pada sabab al-nuzul maupun kasus-kasus lainnya yang serupa[1].
Hal di atas (pengaplikasian kandungan teks pada selain sabab al-nuzul) tidak bisa dikatakan sebagai metode qiyas (analogi), karena kaidah ini justru berdasarkan pada ilmu dalalat al-alfadz yang memang menjadi bagian penting dari metode pemahaman teks bahasa. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat mengenai definisi dalalah wadl'iyyah lafdziyyah, ialah pemahaman si pendengar mengenai makna yang terkandung dalam suatu lafadz[2].


Mengenai penerjemahan kaidah ini, banyak terjadi kesalahpahamanan sebagaimana diutarakan oleh KH. M. Sahal Mahfud dalam Fiqh Sosialnya. Beliau menjelaskan, "Satu kaidah dalam Ushul Fiqh yang barangkali dianggap orang sebagai menggiring Fiqh kepada bentuk yang tidak kontekstual, adalah al-'ibrah bi 'umum al-lafdhi la bi khusus al-sabab. Kaidah ini banyak diterjemahkan begini, "Yang menjadi perhatian di dalam menetapkan hukum fiqh adalah rumusan (tekstual) suatu dalil, bukan sebab yang melatarbelakangi turunnya ketentuan (dalil) tersebut". Menerjemahkan "la" dengan "bukan" seperti terjemahan di atas adalah salah! "La" di situ berarti 'bukan hanya" (la li al-'athaf bukan la li al-istidrak). Jadi latarbelakang, asbab al-nuzul maupun asbab al-wurud (sebab-sebab turun ayat al-Quran dan al-Hadits), tetap menjadi pertimbangan penting dan utama. Terjemahan yang benar dari kaidah itu adalah "Suatu lafadh (kata atau rumusan redaksional sebuah dalil) yang umum ('amm), mujmal maupun muthlaq (yang berlaku umum) harus dipahami dari sudut keumumannya, bukan hanya dari latarbelakang turunnya suatu ketentuan." Dengan demikian, ketentuan umum itu pun berlaku terhadap kasus-kasus cakupannya, meskipun mempunyai latarbelakang berbeda. Sebab jika dalil-dalil al-Quran maupun al-Hadits hanya dipahami dalam konteks ketika diturunkannya, maka akan banyak sekali kasus yang tidak mendapatkan kepastian hukum."[3]
Dan sebagaimana diutarakan olah Mbah Sahal di atas, sabab al-nuzul memang masih menjadi pertimbangan. Hal ini terbukti dalam kasus larangan pembunuhan terhadap wanita kafir dan anak-anak kafir, yang mana keumuman teks larangan tersebut oleh sebagian ulama (Syafi'iyyah) dikhususkan dengan sabab al-nuzul, yaitu pelarangan tersebut ditetapkan oleh Rasulullah saw pada waktu Beliau saw melihat seorang wanita terbunuh dalam salah satu peperangan. Maka, proses spesifikasi (takhshish) tersebut menyimpulkan ketentuan hukum bahwa larangan tersebut hanya berlaku pada wanita harbiyyat, dan tidak mencakup murtaddah[4]. Namun ada pertanyaan yang mungkin bisa kita bahas pada diskusi kali ini, yaitu sebatas manakah sabab al-nuzul menjadi pertimbangan yang kuat dan mampu menjadi mukhosshish terhadap teks umum?

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »