Kaidah yang kedua ini adalah pendapat dari Abu Tsaur, al-Muzanny, al-Daqqaq dan al-Qoffal dari kalangan Syafi'iyyah, dan juga dinukil dari Imam Malik ra[5]. Tendensi pendapat ini adalah, jika teks umum tersebut tidak dikehendaki kekhususannya berdasarkan sabab al-nuzul-nya, maka penyebutan sabab al-nuzul dalam satu riwayat dengan teks umum, tidak lagi mempunyai faidah, bahkan seperti penyebutan yang percuma (al-'abats), dan hal ini tidak layak bagi kapasitas orang yang berakal, terlebih bagi al-Syari'. Namun tendensi tersebut bisa dimentahkan olah mayoritas ulama dengan menafikan kesia-siaan penyebutan sabab al-nuzul, yaitu adanya faidah berupa penjelasan bahwa sabab al-nuzul secara pasti (qoth'i) telah tercakup dalam keumuman teks dan tidak bisa dikeluarkan dari keumumannya baik melalui motode qiyas atau lainnya[6].
Dan meskipun di antara dua kaidah di atas tampak pertentangan yang mencolok, namun ada beberapa permasalahan furu'iyyah (cabang hukum) yang disepakati oleh seluruh ulama, baik dari kalangan pendapat pertama ataupun kalangan pendapat kedua, bahwasanya sebagian kandungan teks hukum juga bisa diaplikasikan pada kasus lain yang serupa dengan sabab al-nuzul, seperti hukum li'an dalam kisah Hilal bin Umayyah, hukum dzihar pada kisah Salamah bin Shokhr, hukum qodzaf pada kasus pemfitnah Sy. Aisyah ra dan masih banyak lagi. Hukum yang telah disepakati tersebut bagi kalangan pendapat pertama adalah karena berdasarkan konsekuensi keumuman teks, sedangkan bagi kalangan pendapat kedua adalah karena berdasarkan dalil lain[7].
D. Paralogisme Liberalis Mengenai "al-'Ibrah bi Khusus al-Lafdhi La bi 'Umum al-Sabab"
Sebagaimana telah disinggung dalam pendahuluan, bahwa telah banyak usaha dari sebagian pemikir liberal untuk mengubah kecondongan tekstual Ushul Fiqh yang selama ini kita ketahui telah melahirkan banyak madzhab pada kurun waktu empat abad pertama hijriyah. Diantaranya adalah mewacanakan kembali kaidah "al-'Ibrah bi khusus al-Lafdhi La bi 'Umum al-Sabab". Namun mereka tidak berhenti di situ saja, bahkan mereka justru berangkat dari kaidah ini guna menuju beberapa kesimpulan yang mengajak kita untuk berani keluar dari "kekuasaan teks" (sulthah an-nash). DR. Hasan Hanafi menjelaskannya sebagaimana berikut, "Dalam perbincangan historisitas al-Quran, hampir semua ayat di dalamnya mempunyai background histories-nya (sabab al-nuzul). Ini berarti teks-teks tersebut turun guna merespon permasalahan dalam tataran realitas waktu itu. Selain itu, dalam al-Quran juga terdapat konsep abrogasi (naskh). An-naskh berarti bahwa hukum-hukum Syariat berubah sesuai dengan berubahnya zaman, bahwa berubahnya zaman mengakibatkan perubahan hukum Syara'; bersifat kontekstual."[8] Kesimpulan-kesimpulan tersebut dikenal juga dengan istilah konsep ta`wil zamany (interpretasi historisitas teks). Pengusung konsep ini mengatakan, "Bentuk kalimat khithob "ya ayyuhan nas" dalam al-Quran al-Karim yang dimaksud adalah umat pertama yang berada dalam masa hidup Nabi Muhammad 'alaihis sholatu was salam, dan mendengar al-Quran langsung dari beliau saw."[9]
Namun, setelah kita bahas kaidah kedua yang di atas, menurut penulis, ada paralogisme (mugholathoh) dalam wacana reaktualisasi kaidah yang dibawa oleh pemikir liberal, karena konskuensi wacana mereka tidaklah sama persis dengan konsekuensi kaidah yang diusung oleh Abu Tsaur, al-Muzanni dan lainnya dari kalangan ulama pendahulu. Para ulama pendahulu tersebut tidak mengklaim kaidah mereka sebagai dasar naskh karena perubahan zaman, dan yang paling mendasar, mereka masih mengakui hujjah lain untuk mengaplikasikan kandungan teks umum pada selain sabab al-nuzul, seperti yang telah dicontonhkan di atas. Mereka masih memungkinkan masuknya konsep ijma' (konsensus), qiyas (analogi) dan dalil lainnya dalam permasalahan ini.
Juga mengenai permasalahan khithab "ya ayyuhan nas" sebenarnya bukanlah hal baru, karena telah dibahas oleh ulama kita. Benar bahwa bentuk khithab "ya ayyuhan nas" adalah ditujukan pada umat yang berada pada masa turunnya khithab tersebut. Hal ini adalah pendapat mayoritas ulama, karena berdasarkan pada tekstual bentuk khithab yang memang secara dalalah-nya hanya patut ditujukan pada umat masa itu. Berbeda dengan kalangan Hanabilah dan Abu al-Yasr dari Hanafiyah, yang mengatakan khithab "ya ayyuhan nas" secara dalalah-nya juga mencakup umat setelahnya. Namun bagaimanapun perbedaan pendapat ini, hanyalah menghasilkan khilaf lafdzy yang tidak berkonsekuensi apapun, termasuk ta`wil zamany. Karena mereka semua sepakat (ijma'), bahwa kandungan khithab "ya ayyuhan nas" dan semisalnya adalah universal, mencakup juga umat setelah masa kenabian, hanya saja mereka berselisih apakah universalitas tersebut berdasarkan dalalah lafadz ataukah qiyas syar'i, ijma' dan sebagainya[10].
Adapun sebagian ijtihad Sy. Umar bin al-Khatthab yang dijadikan referensi contoh wacana mereka, sebenarnya telah banyak ulama kontemporer, seperti DR. M. Sa'id Ramdlam al-Buthy, yang mengkaji kesalahpahaman dalam rujukan mereka. Dengan penjelasan ilmiah yang memuaskan[11], terbukti bahwa ijtihad Sy. Umar ra pun tidak meninggalkan nash atau melanggar ijma'. Dan jika mereka masih kukuh dengan wacana tersebut dan tidak mengakui hujjah ijma', maka tidak akan ada lagi titik temu dalam perdebatan pembaharuan Ushul Fiqh yang mereka kampanyekan.