Latar Belakang
Islam adalah sebuah agama komprehensip yang senantiasa memberikan
solusi pada semua umat manusia baik individu maupun kelompok, sehingga islam
tidak akan membiarkan para pemeluknya
hidup tanpa arah dan tujuan. Oleh karenaya, agama islam datang dengan tujuan
untuk menyuguhkan konsep konsep yang sesuai dengan tabiat dan karakteristik
manusia.
Pada era kekinian, kehidupan umat selalu dihadapkan pada persoalan
yang sangat kompleks yang merembet terhadap semua aspek dan sektor kehidupan
manusia, dan hal yang paling serius adalah masalah ekonomi. Masalah masalah
ekonomi telah banyak menguras tenaga dan pikiran manusia baik dalam tingkat
keluarga, nasional dan bahkan hingga taraf internasional. Malthus ( 1809 - 1882
M ) misalnya, seorang tokoh ekonomi asal inggris melihat bahwa mahluk hidup ini
adalah mahluk yang selalu bersaing demi mempertahankan hidupnya. Jelasnya, dia
beranggapan bahwa mahluk hidup di muka bumi ini selalu mengalami pertumbuhan, sementara
persediaan makanan sangat terbatas sehingga peperangan, penyakit dan busung
lapar dianggap sebagai jalan keluar dari persoalan ini.
Akal sehat tentunya akan menolak dengan konsep tersebut; karena
seyogyanya hal yang sedemikian bukanlah sebuah solusi, terlebih agama yang
berada di luar jangkauan akal manusia akan pasti bertolak belakang dengan teori
Malthus tersebut.
Syariat Islam Menjawab Tantangan
Zaman
Seperti yang telah diuraikan di atas, syariat islam akan terus
memberikan jawaban secara tuntas terhadap masalah masalah yang dihadapi umat
manusia termasuk masalah ekonomi. Sedikit kita persempit masalah ini menuju
ranah tanah air Indonesia, dimana Indonesia termasuk negara yang memiliki
jumlah populasi penduduk yang sangat tinggi dari tahun ketahun, ditambah lagi
dengan keberadaan para pelaku eonomi yang sering mengedepankan kepentingan
pribadinya sehingga nampaklah fenomena fenomena di kalangan masyarakat yang
ditimbulkan oleh sistem perekonomian yang tidak teratur, contoh kongkritnya
adalah pengangguran dan angka kemiskinan yang menyebar dimana mana, mulai dari
pelosok Desa hingga jantung ibu kota pun tak luput dari pandangan tersebut.
Lalu setelah masalah itu nampak di depan mata kita, bagaimana jalan
keluarnya? Dan siapa yang akan bertanggung jawab?. Dalam Al Qur’an telah
disinggung berkali kali ayat yang menerangkan tentang perintah untuk mengeluarkan
zakat[1],
sehingga kalau diteliti lebih jauh lagi ayat ayat yang seperti itu disinyalir
kuat sebagai bentuk ibadah vertikal dan horizontal.
Ketika zakat merupakan perintah Allah swt yang wajib ditaati oleh
umat islam, maka jelaslah zakat merupakan ibadah vertikal dan begitu pula zakat
sebagai sebuah kewajiban kepada sesama manusia. Yang bisa dilihat secara langsung
oleh kasat mata adalah hal yang seperti ini merupakan implementasi perintah Allah - yang maha kuasa - yang
senantiasa berdampak pada kemaslahatan umat, baik di dunia maupun di akhirat
kelak. Dari nash Al Qur’an yang disebutkan, dapat dipahami bahwa tujuan pertama
disyariatkannya zakat adalah membantu fakir miskin dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya; karena sifat keadaan yang seperti inilah kefakiran dan kemiskinan
menjadi sebab ia berhak mendapatkan harta zakat, yaitu sebagai mustahik. Dengan
kata lain, zakat dapat menjadi sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai
keadilan sosial.[2]
Zakat Merupakan Angin Segar untuk
Meningkatkan Taraf Kehidupan Umat
Allah berfirman dalam surat al-taubat ayat (60):
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ
قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ
السَّبِيلِ
Pada ayat ini kita dapat melihat secara langsung ada delapan
golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq al-zakat), namun secara singkat
objek penulis hanya tertuju pada golongan pertama dan kedua saja.
Fakir dan miskin sekalipun dalam kontek kehidupan sosial sering kali
dianggap memiliki makna yang sama namun pada hakikatnya kedua kata itu
mempunyai substansi yang berbeda, terbukti adanya penggunaan kosa kata yang
berbeda dalam ayat itu, dan sangat mustahil dalam Al Qu’an terdapat pengulangan
kata yang hanya memberikan makna yang sama. Imam Al – nawawy - dalam minhaj
al-thalibin - mendefinisikan kedua kata itu sebagai berikut: fakir berarti
orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya,
sementara miskin memunyai makna orang yang mempunyai harta atau pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhannya hanya saja tidak mencukupi secara keseluruhan[3].
Namun pada realitanya kedua golongan itu dalam kontek kefakiran dan kemiskinan
merupakan masalah masalah yang cukup kronis yang sedang melanda bangsa kita.
Hal yang menjadi acuan dari ayat diatas jika dilirik dari penggunaan
huruf jar pada empat golongan pertama menggunakan huruf jar “ lam ” yang
mengindikasikan adanya kepemelikan secara utuh ( li al-mulk ) yang tidak bisa
diganggu gugat oleh pihak lain; karena mereka sudah memiliki hak paten terhadap
harta yang dapatkan itu. Berbeda halnya pada empat yang terakhir dengan
menggunakan huruf jar “ fi ” ( li al-dzorfiyah ) yang hanya memberikan
pemahaman bahwa empat golongan terakhir ini berhak menerima zakat namun makna
kepemilikannya tidak sama dengan empat golongan yang pertama, akibatnya bisa
dilakukan pengambilan ulang[4],
seperti misalnya mengambil hak zakat melebihi jumlah hutang yang wajib dibayar
oleh gharim.[5]
Dari deskripsi di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
penyerahan zakat kepada orang fakir dan miskin diharapkan mampu mengatasi
kemiskinan di tanah air karena keduanya memiliki kewenangan penuh terhadap
harta zakat yang mereka dapatkan. Di sisi lain pemerintah - dalam hal ini badan
yang menangani urusan zakat - hanya berkewajiban mengarahkan untuk menjadikan
harta tersebut pada jalan yang dapat memungkinkan untuk memperbaiki taraf hidup
yang lebih baik, seperti halnya membangun usaha kerja. Hal ini jelas tidak
dimiliki oleh empat kelompok terakhir;
karena mereka hanya berhak mendapat harta zakat dalam situasi yang berbeda
dengan empat kelompok yang pertama. Maka jelaslah pengaruh ta’bir al-ilahi (
linguistik Al Qur’an ) dalam ayat yang terkemuka dalam penanganan persoalan
kemiskinan. karena keduanya (orang fakir & miskin) sangat berhak untuk
mendapatkan pembagian zakat maka badan pengelola zakat berkewajiban untuk
memberikan harta zakat itu sesuai dengan skill yang mereka miliki agar
memungkinkan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka untuk selamanya, satu
contoh misalnya mereka yang mempunyai kemampuan untuk berdagang maka diberikan
kepadanya sejumlah nominal yang sekiranya bisa dijadikan modal usaha sehingga
dengan usaha tersebut mereka bisa mendapatkan laba untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.[6]
Begitu pula mereka yang memiliki keahlian dalam teknik mesin ataupun bidang
ilmu computer. Kelebihan yang seperti ini sama sekali tidak ditemukan pada
huruf jar “ fi ” ( al-dzorfiyah ) yaitu empat golongan terakhir dalam ayat
tersebut, sekalipun menurut Az -
zamakhsyari bahwa keempat golongan terakhir itu lebih berhak untuk mendapatkan
harta zakat mengingat adanya adanya anjuran pembebasan perbudakan pada budak
Mukatab, pembebasan beban hutang pada Gharim dan alasan alasan lain yang
terdapat pada Mujahid dan orang yang melakukan perjalanan di jalan allah.[7]
Hal yang sedemikian masih merembet pada pentingnya untuk membangun
lembaga khusus untuk penanganan harta zakat seperti badan amil zakat infak dan
shadaqah ( BAZIS ) agar pendistribusian harta zakat dapat terkoordinir dengan
baik sehingga tidak terjadi penyalah gunaan distribusi zakat, seperti misalnya
pemberian harta zakat kepada seorang kiyai atau mahasiswa yang sudah memiliki
kecukupan dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sudah dapat dipastikan untuk
tingkat pemerintah kabupaten saja misalnya disamping sudah ada dana khusus
untuk penyantunan fakir miskin, jika konsep al-mulk yang tersirat dalam huruf
jar “ lam ” diperan aktifkan dalam pengentasan kemiskinan.
Penutup
Dari konklusi yang didapat dari makalah ini adalah telah dipetik
dari ayat diatas sangatlah jelas adanya pengaruh yang sangat signifikan yang
ditawarkan oleh syari’at dalam mengatasi problematika perekomian umat, tepatnya
dengan ungkapan kemiskinan berarti untuk sekala negara indonesia sekalipun yang
mayoritas penduduknya beragama islam masih saja terjangkit virus kemiskinan.
Oleh karena itulah para pelaku hukum di tanah air diharapkan mampu untuk
proaktif dalam mengatasi masalah ini.
Demikianlah
sedikit paparan seputar topik yang sengaja penulis tampilkan dalam makah ini,
tentunya tak lepas dari kekurangan kekurangan baik dari sisi sistematika
penyusunan, isi yang ditawarkan, referensi dan lain sebagainya. Wallahu a’lam!
Oleh : Hamidi Haris*
Oleh : Hamidi Haris*
[1] Lihat Surat Al-Baqaraah ayat: 43 dan Surat At-Taubah ayat: 103
[2] Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam;
Zakat dan Waqaf, cet ke-1 (Jakarta:UI Press, 1988) hlm 38, (dikutip oleh alif
farhan dalam makalahnya yang berjudu: fungsi zakat dalam upaya pengentasan
kemiskinan)
[3] Minhaj
a-thalibin:
[4] Mughni
al-muhtaj: 3/129
[5] I’anat
al-thalibin: 2/292
[6] Mughni
al-muhtaj: 3/139
[7] Tafsir
al-kasysayaf: 2/310