Istishab Sebagai Teori Hukum Islam Sebuah Tinjauan Historis (Part 3)

Istishab: Dari Imam As-Syafi’i Hingga Imam As-Syaukany Al-Yamany
Sampai  pada  era Imam Malik  (w.179  H),  Istishab belum terkonstruksi  secara  jelas. Sekalipun  demikian,  menurut Muhammad  Musa  Towana,[1] salah  satu  tariqah  al-ijtihad yang dilakukan  Malik  adalah  menggunakan  istishab.  Contoh  kasus dalam hal ini adalah masalah talak. Apabila seorang suami ragu, apakah ia telah menceraikan isterinya atau belum, maka diambil hukum asal yakni tetap dalam pernikahan. Maknanya, talak tidak terjadi.  Namun,  jika  ia  yakin  telah  menceraikan  isterinya  tetapi ragu  apakah  telah  menjatuhkan  talak  satu,  dua  atau  tiga,  maka dihukumkan  bahwa  ia  telah  menjatuhkan  talak  tiga.[2]

Hal ini karena  talak  terjadi  dengan  keyakinan.  Di  sisi  lain  diperoleh keraguan (syak) tentang tetapnya ruju’, sedangkan ruju’ tidak dapat ditetapkan dengan keraguan. Apabila  dipertanyakan  lebih  jauh,  bagaimana  konsep baku istishab yang dimaksud oleh Malik (?) Pertanyaaan seperti ini tampaknya  memang  sulit  terjawab.  Dari  beberapa literatur yang ada, tidak ditemukan secara jelas jawaban mengenai hal  ini.
Dalam menjawab berbagai persoalan  serta  menghindari  segala  sesuatu  yang  dapat  merusak hukum Allah, Imam Syafi’i  tidak  menggunakan  konsep  istihsan dan istislah,  melainkan  istishab.  Dengan  konsep  ini  ia  mencoba mencari  suatu  hubungan  dan  prinsip  pembuktian  dengan  jalan mengukuhkan  peristiwa-peistiwa  yang  dianggap  telah  memiliki asal-usul atau sumber yang sah menurut hukum disertai dengan pengakuan eksistensinya, hingga terlihat hal-hal yang berlawanan. Salah  satu  contoh  mengenai  hal  ini,  adalah  pendapat Imam Syafi’i[3] mengenai   kebolehan  dalam  penjualan  ‘araya  (menjual buah  kurma  yang  masih  berada  di  pohon  dengan  pembayaran kurma kering seperti barter). Syafi’i menggunakan  istishabdalam menyelesaikan  masalah  ini,  yakni  tetap  memberlakukan  hadis Rasulullah yang diriwayatkan dari Zaid ibn Sabit mengenai kebolehan jenis barter ini sebagai sebuah pengecualian. Penggunaan  istishab oleh Imam  Syafi’i  dalam  kasus  ini,  menurut  Ahmad  hasan,[4] bukanlah dalam  pengertian  yang  baku  melainkan  dalam  pengertian  non teknis. 

Bahkan  dalam  kasus-kasus  lain,  Imam al-Ghazali menyatakan bahwa  Imam Syafi’i  berpegang  pada  istishab dan  dalil  akal, tidak dengan dalil ijma’. Hanya saja, apabila ditelusuri lebih jauh, tidak  ditemukan  kata  istishab dalam  kitabnya  ar-Risalah.  Istishab dalam  arti  yang  jelas,  baru  dijumpai  dalam  tulisan  Muhammad ibn  Ali  al-Bashri  (w.436  H).[5]
Menurutnya,  istishab  al-hal adalah hukum  yang  tetap  pada  suatu  kondisi  dari  berbagai kondisi  yang  ada,  sampai  berubahnya  kondisi  tersebut.  Contoh istishab yang  digunakan  adalah  mengenai  kewajiban  berwudhu’ bagi orang yang melakukan tayammum, apabila ia menemukan air. Dalam kitab al-Luma’, contoh yang sama dengan di atas, juga  dinyatakan  oleh  Imam al-Fairuz  Abadi  (w.476  H).  Bahkan  ia menisbahkan hal ini sebagai perkataan Imam Syafi’i. Lebih lanjut Fairuz membagi  istishab al-hal menjadi dua bagian yakni  istishab al-hal al-‘aql dan  istishab  al-hal  al-ijma’.  Ia  menambahkan  bahwa  istishab dapat  dipakai  sebagai  dalil  baik  dalam  menetapkan  hukum  (al-isbat) maupun meniadakan hukum (an-nafy).[6]
Sampel yang kerap dipergunakan adalah perihal orang hilang (al-mafqud). Orang yang hilang dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sebaliknya, maka berdasarkan istishab, ia dihukum masih hidup, selama tidak ada  fakta  yang  menunjukkan  kematiannya.  Oleh  karena  itu,  jika ada  ahli  warisnya  yang  meninggal  dunia,  maka  ia  berhak memperoleh  warisan. 
Demikian  pula  halnya  dengan  wasiat.  Di sisi  lain,  hartanya  masih  tetap  berada  dalam  tanggungjawabnya, tidak  boleh  diwariskan.  Bila  ia  mempunyai  isteri,  maka  isteri tersebut  tidak  boleh  dinikahi oleh siapapun.[7]
Menurut  Imam As-Sarakhsi (w.490 H), dalam kasus  al-mafqud ini, orang yang hilang tidak  dapat  menerima  warisan,  karena  mereka  tidak  dapat dipastikan  hidup.  Alasan  mereka,  istishab menjadi  hujjah bukan dalam  bentuk  penetapan  melainkan  penolakan  (li  ad-daf’i).
Adapun  mengenai  pembagian  istishab secara  lebih  rinci, Fairuz  Abadi  dapat  dikatakan  sebagai  orang  pertama  yang berbicara  mengenai   hal  ini,  seperti  yang  telah  dijelaskan sebelumnya.  Tentang  pembagian  istishab ini,  Sarakhsi membaginya menjadi empat macam. Pertama, istishab hukm al-hal disertai  adanya  keyakinan  tentang  tidak  adanya  dalil  lain  yang mengubahnya.  Kedua,  istishab  hukm  al-hal setelah  adanya  dalil yang mengubahnya yang bersifat tetap, dengan jalan penyelidikan dan ijtihad dengan segenap kemampuan. Ketiga,  istishab hukm alhal sebelum adanya penyelidikan dan ijtihad dalam mencari dalil yang  mengubahnya.  Keempat,  istishab  hukm  al-hal untuk menetapkan  hukum  awal  (ibtida’).[8]

Istishab dalam  bentuk  ketiga dan keempat ini, menurutnya, tidak dapat dijadikan hujjah. Sementara  itu,  Imam al-Ghazali  juga  membagi  istishab dalam empat kategori. Pertama, istishab bara’ah az-zimmah, kedua,  istishab al-‘umum dan an-nash. Ketiga,  istishab hukm dal as-syar’u ‘ala subutih wa  dawamih.  Keempat,  istishab  al-ijma’  fi  mahal  al-khilafIstishab yang  terakhir  ini  terdapat  perbedaan  pendapat  ulama  mengenai kehujjahannya.[9]
Imam al-Syaukani (w.1255 H) tidak jauh berbeda dengan al-Sarakhsi  dan  al-Ghazali.  Ia  juga  membagi  istishab menjadi empat yakni istishab ma dal al-‘aql wa syar’u ‘alasubutih wa dawamih, istishab al-ashl,  istishab al-hukm al-‘aql,  istishab  ad-dalil ma’a ihtimal al-mu’aridh. Pada  akhirnya,  istishab yang telah  terkonstruksi  secara jelas dan rinci ini kemudian melahirkan beberapa kaedah umum yaitu al-yaqin la yuzalu bi as-syak, al-ashl fi az-zimmahal-bara’ah, alashl fi al-asyya’ al-ibahah dan al-ashl baqa’ ma kana ‘ala ma kana.[10]
Istishab menurut Madzhab
Ulama madzhab terjadi silang pendapat dalam legalitas istishab sebagai hujjah. Dalam hal ini, terbagi menjadi tiga pendapat sebagai berikut: [11]
Pertama, pendapat mayoritas Ulama; Madzhab Maliki, Syafii, Hambali menegaskan bahwa istishab adalah hujjah secara mutlak.
Kedua, pendapat Muta’akhir madzhab Hanafi, menyatakan bahwa istishab adalah hujjah dalam peniadaan hukum asal.
Ketiga, pendapat mayoritas madzhab Hanafi, abu al-Hasan al-Bashry, mengatakan bahwa istishab tidak memiliki lebagalitas hujjah dalam tatanan metodologi istimbath hukum Islam.


Epilog

Secara  historis,  istishab sudah  mempunyai  embrio  sejak masa Rasul. Hal ini terlihat dari  nash-nashyang telah disebutkan. Sahabat  dan  tabi’in  juga  telah  menggunakan  istishab dalam  arti hakikat,  pada  saat  mereka  dihadapkan  dengan  beberapa persoalan.  Namun  konstruksi  istishab itu  sendiri  baru  dibangun pada  abad  kelima  hijrah  disertai  dengan  pembagiannya  secara jelas  dan  rinci.  Dari  istishab ini,  para  ulama  fiqh  belakangan kemudian  menetapkan  beberapa  kaedah  umum  yang  dianggap sebagai patron rujukan berbagai kaus yang terjadi kemudian.
Dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang  pernah  ditetapkan  karena  tidak  ada  yang  mengubah  atau yang mengecualikannya. Pernyataan ini sangat diperlukan, untukmenjaga  jangan  sampai terjadi  penetapan  hukum  yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara  adalah  mubah  seperti  makanan,  maka  hukum  asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya.
Apabila  hukum  asal  pada  suatu  perkara  adalah  haram  seperti pergaulan  bebas  antara  pria  dan  wanita,  maka  hukum  asalnya adalah  haram  sampai  ada  dalil  yang  memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.




[1] Muhammad Musa Towana, hlm. 72.
[2] Ibn Hazm al-Andalusi, al-Ahkam Fi Ushul al-Ahkam, (Kairo: Dar al-Hadis, 1992), juz V, hlm. 7.
[3] As-Syafi’i, al-Umm,(Kairo: tp, 1325), jilid VII, hlm. 182.
[4] Ahmad  Hasan,  Pintu  Ijtihad  Sebelum  Tertutup, (Bandung:  Pustaka,  1984),  hlm. 199.
[5] Muhammad ibn Ali al-Bashri,  al-Mu’tamad Fi Ushul al-Fiqh,(Damsyiq: Dar al-Fikr, 1965), jilid II, hlm. 884.
[6] Ibrahim ibn Ali al-Fairuz Abadi,  al-Luma’ Fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyah, 1985), hlm. 122.
[7] Al-Bannani,  Hasyiyah al-Bannani ‘ala Matan Jam’i al-Jawami’,(Semarang, Toha Putra, tt.) jilid II, hlm. 349; Muhammad Abu Zahrah,  Ushul al-Fiqh,(Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958, hlm. 297; dan Ahmad ibn al-Lathifal-Hathib,  an-Nafahat ‘ala Syarh al-Waraqat,(Surabaya: Bungkul Indah, tt.), hlm. 150.
[8] Ibid.
[9] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa Fi Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, 1993), hlm. 159-160
[10] Jalaluddin  ar-Rahmat  as-Suyuthi,  al-Asybah  wa  an-Nazair, (Singapura: Sulaiman Mar’i, tt.), hlm. 56, 59 dan 66.
[11] Dr. Mushtafa Dib al-Bugha, Atsra al-Adillah al-Mukhtalaf fiha fi al-Fiqh al-Islamy, (Demasyq: Dar al-Qalam, cet. 4, 2007), hlm. 188-189.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »