Istishab: Dari Imam As-Syafi’i Hingga Imam As-Syaukany Al-Yamany
Sampai pada era Imam Malik (w.179 H), Istishab
belum terkonstruksi secara jelas. Sekalipun demikian,
menurut Muhammad Musa Towana,[1]
salah satu tariqah
al-ijtihad yang dilakukan
Malik adalah menggunakan
istishab. Contoh kasus dalam hal ini adalah masalah talak.
Apabila seorang suami ragu, apakah ia telah menceraikan isterinya atau belum,
maka diambil hukum asal yakni tetap dalam pernikahan. Maknanya, talak tidak
terjadi. Namun, jika
ia yakin telah
menceraikan isterinya tetapi ragu
apakah telah menjatuhkan
talak satu, dua
atau tiga, maka dihukumkan bahwa
ia telah menjatuhkan
talak tiga.[2]
Hal
ini karena talak terjadi
dengan keyakinan. Di
sisi lain diperoleh keraguan (syak) tentang tetapnya
ruju’, sedangkan ruju’ tidak dapat ditetapkan dengan keraguan. Apabila dipertanyakan
lebih jauh, bagaimana
konsep baku istishab yang
dimaksud oleh Malik (?) Pertanyaaan seperti ini tampaknya memang
sulit terjawab. Dari
beberapa literatur yang ada, tidak ditemukan secara jelas jawaban
mengenai hal ini.
Dalam
menjawab berbagai persoalan serta menghindari
segala sesuatu yang
dapat merusak hukum Allah, Imam Syafi’i tidak menggunakan
konsep istihsan dan istislah, melainkan
istishab. Dengan konsep
ini ia mencoba mencari suatu
hubungan dan prinsip
pembuktian dengan jalan mengukuhkan peristiwa-peistiwa yang
dianggap telah memiliki asal-usul atau sumber yang sah
menurut hukum disertai dengan pengakuan eksistensinya, hingga terlihat hal-hal
yang berlawanan. Salah satu contoh
mengenai hal ini,
adalah pendapat Imam Syafi’i[3]
mengenai kebolehan dalam
penjualan ‘araya (menjual buah
kurma yang masih
berada di pohon
dengan pembayaran kurma kering
seperti barter). Syafi’i menggunakan
istishabdalam menyelesaikan
masalah ini, yakni
tetap memberlakukan hadis Rasulullah yang diriwayatkan dari Zaid
ibn Sabit mengenai kebolehan jenis barter ini sebagai sebuah pengecualian.
Penggunaan istishab oleh Imam Syafi’i dalam
kasus ini, menurut
Ahmad hasan,[4]
bukanlah dalam pengertian yang
baku melainkan dalam
pengertian non teknis.
Bahkan dalam
kasus-kasus lain, Imam al-Ghazali menyatakan bahwa Imam Syafi’i berpegang
pada istishab dan dalil
akal, tidak dengan dalil ijma’. Hanya saja, apabila ditelusuri lebih
jauh, tidak ditemukan kata istishab
dalam kitabnya ar-Risalah.
Istishab dalam arti yang
jelas, baru dijumpai
dalam tulisan Muhammad ibn
Ali al-Bashri (w.436
H).[5]
Menurutnya, istishab
al-hal adalah hukum yang tetap
pada suatu kondisi
dari berbagai kondisi yang
ada, sampai berubahnya
kondisi tersebut. Contoh istishab yang digunakan adalah
mengenai kewajiban berwudhu’ bagi orang yang melakukan tayammum,
apabila ia menemukan air. Dalam kitab al-Luma’, contoh yang sama dengan di
atas, juga dinyatakan oleh Imam al-Fairuz Abadi (w.476
H). Bahkan ia menisbahkan hal ini sebagai perkataan Imam
Syafi’i. Lebih lanjut Fairuz membagi istishab
al-hal menjadi dua bagian yakni istishab
al-hal al-‘aql dan istishab al-hal
al-ijma’. Ia menambahkan
bahwa istishab dapat dipakai
sebagai dalil baik
dalam menetapkan hukum (al-isbat) maupun
meniadakan hukum (an-nafy).[6]
Sampel
yang kerap dipergunakan adalah perihal orang hilang (al-mafqud). Orang
yang hilang dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sebaliknya, maka
berdasarkan istishab, ia dihukum masih hidup, selama tidak ada fakta
yang menunjukkan kematiannya.
Oleh karena itu, jika ada
ahli warisnya yang
meninggal dunia, maka
ia berhak memperoleh warisan.
Demikian pula
halnya dengan wasiat.
Di sisi lain, hartanya
masih tetap berada
dalam tanggungjawabnya,
tidak boleh diwariskan.
Bila ia mempunyai
isteri, maka isteri tersebut tidak
boleh dinikahi oleh siapapun.[7]
Menurut Imam As-Sarakhsi (w.490 H), dalam kasus al-mafqud ini,
orang yang hilang tidak dapat menerima
warisan, karena mereka
tidak dapat dipastikan hidup.
Alasan mereka, istishab menjadi hujjah bukan dalam bentuk
penetapan melainkan penolakan
(li ad-daf’i).
Adapun mengenai
pembagian istishab
secara lebih rinci, Fairuz
Abadi dapat dikatakan
sebagai orang pertama
yang berbicara mengenai hal
ini, seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya. Tentang
pembagian istishab ini, Sarakhsi membaginya menjadi empat macam.
Pertama, istishab hukm al-hal disertai
adanya keyakinan tentang
tidak adanya dalil
lain yang mengubahnya. Kedua,
istishab hukm al-hal setelah adanya
dalil yang mengubahnya yang bersifat tetap, dengan jalan penyelidikan
dan ijtihad dengan segenap kemampuan. Ketiga,
istishab hukm alhal sebelum adanya penyelidikan dan ijtihad dalam
mencari dalil yang mengubahnya. Keempat,
istishab hukm al-hal untuk menetapkan hukum
awal (ibtida’).[8]
Istishab dalam bentuk ketiga dan keempat ini, menurutnya, tidak
dapat dijadikan hujjah. Sementara
itu, Imam al-Ghazali juga
membagi istishab dalam
empat kategori. Pertama, istishab bara’ah az-zimmah, kedua, istishab al-‘umum dan an-nash.
Ketiga, istishab hukm dal as-syar’u ‘ala subutih wa
dawamih.
Keempat, istishab al-ijma’
fi mahal al-khilaf. Istishab yang terakhir
ini terdapat perbedaan
pendapat ulama mengenai kehujjahannya.[9]
Imam
al-Syaukani
(w.1255 H) tidak jauh berbeda dengan al-Sarakhsi dan al-Ghazali. Ia
juga membagi istishab menjadi empat yakni istishab
ma dal al-‘aql wa syar’u ‘alasubutih wa dawamih, istishab al-ashl, istishab al-hukm al-‘aql, istishab
ad-dalil ma’a ihtimal al-mu’aridh. Pada akhirnya,
istishab yang telah
terkonstruksi secara jelas dan
rinci ini kemudian melahirkan beberapa kaedah umum yaitu al-yaqin la yuzalu
bi as-syak, al-ashl fi az-zimmahal-bara’ah, alashl fi al-asyya’ al-ibahah dan
al-ashl baqa’ ma kana ‘ala ma kana.[10]
Istishab menurut Madzhab
Ulama
madzhab terjadi silang pendapat dalam legalitas istishab sebagai hujjah.
Dalam hal ini, terbagi menjadi tiga pendapat sebagai berikut: [11]
Pertama,
pendapat mayoritas Ulama; Madzhab Maliki, Syafii, Hambali menegaskan bahwa istishab
adalah hujjah secara mutlak.
Kedua,
pendapat Muta’akhir madzhab Hanafi, menyatakan bahwa istishab adalah hujjah
dalam peniadaan hukum asal.
Ketiga,
pendapat mayoritas madzhab Hanafi, abu al-Hasan al-Bashry, mengatakan bahwa
istishab tidak memiliki lebagalitas hujjah dalam tatanan metodologi
istimbath hukum Islam.
Epilog
Secara historis,
istishab sudah mempunyai embrio
sejak masa Rasul. Hal ini terlihat dari
nash-nashyang telah disebutkan. Sahabat
dan tabi’in juga
telah menggunakan istishab dalam arti hakikat,
pada saat mereka
dihadapkan dengan beberapa persoalan. Namun
konstruksi istishab itu sendiri
baru dibangun pada abad
kelima hijrah disertai
dengan pembagiannya secara jelas
dan rinci. Dari
istishab ini, para ulama
fiqh belakangan kemudian menetapkan
beberapa kaedah umum
yang dianggap sebagai patron
rujukan berbagai kaus yang terjadi kemudian.
Dari
keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya
istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath),
tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu
hukum yang pernah ditetapkan
karena tidak ada
yang mengubah atau yang mengecualikannya. Pernyataan ini
sangat diperlukan, untukmenjaga
jangan sampai terjadi penetapan
hukum yang berlawanan antara yang
satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan
keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah
mubah seperti makanan,
maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang
menerangkan keharamannya.
Apabila hukum
asal pada suatu
perkara adalah haram
seperti pergaulan
bebas antara pria
dan wanita, maka
hukum asalnya adalah haram
sampai ada dalil
yang memperbolehkannya, misalnya
melalui ikatan perkawinan.
[1] Muhammad Musa Towana, hlm. 72.
[2] Ibn Hazm al-Andalusi, al-Ahkam Fi Ushul al-Ahkam, (Kairo:
Dar al-Hadis, 1992), juz V, hlm. 7.
[3] As-Syafi’i, al-Umm,(Kairo:
tp, 1325), jilid VII, hlm. 182.
[4] Ahmad Hasan, Pintu
Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Pustaka,
1984), hlm. 199.
[5] Muhammad ibn Ali al-Bashri,
al-Mu’tamad Fi Ushul al-Fiqh,(Damsyiq: Dar al-Fikr, 1965), jilid
II, hlm. 884.
[6] Ibrahim ibn Ali
al-Fairuz Abadi, al-Luma’ Fi Ushul
al-Fiqh, (Beirut:
Dar alKutub al-Ilmiyah, 1985), hlm. 122.
[7] Al-Bannani, Hasyiyah al-Bannani ‘ala Matan Jam’i
al-Jawami’,(Semarang, Toha Putra, tt.) jilid II, hlm. 349; Muhammad Abu
Zahrah, Ushul al-Fiqh,(Mesir: Dar
al-Fikr al-Arabi, 1958, hlm. 297; dan Ahmad ibn al-Lathifal-Hathib, an-Nafahat ‘ala Syarh al-Waraqat,(Surabaya:
Bungkul Indah, tt.), hlm. 150.
[8] Ibid.
[9] Abu Hamid
al-Ghazali, al-Mustashfa Fi Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar
al-Kutub alIlmiyah, 1993), hlm.
159-160
[10] Jalaluddin
ar-Rahmat as-Suyuthi, al-Asybah
wa an-Nazair, (Singapura:
Sulaiman Mar’i, tt.), hlm. 56, 59 dan 66.
[11] Dr. Mushtafa Dib al-Bugha, Atsra al-Adillah al-Mukhtalaf fiha fi al-Fiqh al-Islamy, (Demasyq: Dar al-Qalam, cet. 4, 2007), hlm. 188-189.
[11] Dr. Mushtafa Dib al-Bugha, Atsra al-Adillah al-Mukhtalaf fiha fi al-Fiqh al-Islamy, (Demasyq: Dar al-Qalam, cet. 4, 2007), hlm. 188-189.