Istishab Sebagai Teori Hukum Islam Sebuah Tinjauan Historis (Part 2)

Istishab Pada Masa Rasul, Sahabat dan Tabi’in.
Sebenarnya istishab pada  masa-masa  awal  Islam,  sudah  mempunyai  embrio, memiliki  hakikat,  namun belum mempunyai nama. Dalam konteks inilah istishab dibicarakan.  Contoh  istishab yang disebutkan  oleh  al-Quran  seperti  dalam  kasus  ditolaknya kesaksian orang yang menuduh perempuan baik-baik (muhsanat) berbuat zina, tetapi tidak dapat menunjukkan empat orang saksi,
وَلَا تَقَبَلُوْا لَهُمْ شَهـدَةً اَبَدًا
Artinya: “janganlah  kamu  terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya”.(QS. Al-Nur:4).
Dalam  ayat  ini  ditegaskan  bahwa  kesaksian  qazif (si penuduh)  tidak  dapat  diterima. Masa  berlakunya  penolakan kesaksian  mereka.  menurut  Abdul  Wahab  al-Khallaf,[1] tidak hanya terbatas pada saat itu, melainkan berlaku sepanjang masa. Hal ini dipahami dari kata abadan yang berarti selama-selamanya. Tentu saja selama tidak ada hal lain yang membatalkannya yakni melakukan taubat dan memperbaiki diri.

Ayat di atas juga secara tersirat menjelaskan bahwa seorang muslim pada dasarnya ‘iffah, terjaga  dari  melakukan  perbuatan  zina,  karena  akal  dan  agama yang  dimilikinya,  menahan  dirinya  dari  melakukan  perbuatan buruk  tersebut.[2]
Jadi,  jika  orang  yang  menuduh  tidak  dapat mendatangkan saksi-saksi untuk memperkuat tuduhannya, maka selama itu pula seorang muslim/muslimah tetap pada kondisinya semula  yakni  terhindar  dari  melakukan  hal-hal  yang  dilarang.
Pada  contoh  lain  misalnya,  seseorang  yang  telah  berwudu’, menurut Rasul, juga tetap dalam keadaan semula, yakni suci dari hadas,  selama  ia  tidak  mendengar  “suara”  atau  mencium  “bau” (karena  angin  yang  keluar  dari  lobang  pelepasan).  Lebih  lanjut Rasulullah menyatakan: “Apabila salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu pada perutnya kemudian  merasa  ragu  apakah  sudah  keluar  sesuatu  atau  tidak,  maka janganlah ia keluar dari mesjid sampai ia benar-benar mendengar “suara” atau mencium “bau” yakni ia benar-benar yakin dengan keluarnya sesuatu dengan  terdengarnya  suara  yang  keluar  (angin)  atau  terciumnya  bau (kentut)”.[3]

Dari  ayat  dan  Hadis  yang  dijelaskan  di  atas,  terdapat indikasi bahwa  istishab dalam arti hakikat tanpa nama, sudah ada sejak  masa  Rasulullah,  demikian  pula  pada  masa  berikutnya  yakni masa  sahabat  dan  tabi’in.  Seperti  telah  dijelaskan  sebelumnya bahwa ijtihad sahabat mengandung arti luas yakni tidak hanya terbatas pada  qiyas,  istihsan dan maslahah, namun juga mencakup  sad az-zara’i, ‘urf  dan istishab. Hanya saja, dalam hal ini, Muhammad Musa Towana tidak menggunakan kata istishab, melainkan  bara’ah al-ashliyah.[4]
Muhammad Musa menjelaskan bahwa dalam sebuah peristiwa di mana seorang wanita yang sedang dalam masa  iddah, menikah dengan lelaki lain, Umar ibn Khatab memberikan fatwa bahwa  lelaki  itu  tidak  boleh  menyetubuhi  wanita  tersebut (melakukan  hubungan  suami  isteri)  selamanya  (hurmah muabbadah).  Hal  ini,  menurut  Umar,  agar  tidak  terjadi penyimpangan  terhadap  perintah  Allah,  sekaligus  menjaga keturunan  (hifdzu an-nasl)
Sebaliknya,  Ali  ibn  Abi  Thalib memberikan  fatwa  yang  berbeda  dengan  Umar.  Menurut  Ali, lelaki tersebut boleh saja menggauli wanita itu jika ia mau, tentu saja  setelah  masa  iddahnya  berakhir.  Umar  ibn  Khatab,  dalam menyelesaikan kasus ini, berpegang pada al-maslahah al-mursalah.[5]

Sedangkan  Ali  ibn  Abi  Thalib  berpegang  pada  al-bara’ah  alashliyah (istishab).[6]
Pendapat Ali ini didasarkan pada keumuman ayat QS. An-Nisa: 3 “…maka nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga atau empat…” dan QS. An-Nisa’:24 “…dan dihalalkan  bagi  kamu  selain  hal  yang  demikian itu  (yaitu)
mencari  isteri-isteri  dengan  hartamu  untuk  dinikahi secara  sah  bukan untuk berzina…”.
Pada  masa  setelah  sahabat,  sebagian  besar  tabi’in berpendapat  bahwa  segala  sesuatu  pada  dasarnya  adalah dibolehkan (ibahah), selama tidak ada dalil teks suci yang melarangnya. Hal  ini  dimaksudkan  untuk  memberikan  kemudahan  sekaligus menghindarkan  kesulitan.  Pendapat  ini  diambil  dari  perkataan mereka sendiri, diantaranya Said ibn al-Musaiyib, Salim ibn  Umar,  Syuraih  al-Qadhi,  Atha’  ibn  Ribah, Zuhri  dan  Umar ibn  Abdul  Aziz.  Mereka  menyatakan  bahwa mendengar  nyanyian  dan  alat  musik  rebana  tidaklah  dilarang (halal) selama tidak mengajak dan membawa kepada kemungkaran serta tidak memalingkan diri dari melaksanakan kewajiban seperti halnya nyanyian yang dapat memalingkan hati dan menimbulkan rangsangan. Mendengar nyanyian itu dibolehkan selama tidak ada teks suci yang mengharamkannya.  Menurut Salam Madkur, pendapat seperti ini juga telah dianut oleh sebagian sahabat sebelumnya.[7]
Ibn  al-Musaiyib  juga  membolehkan  membaca  al-Quran  bagi orang  yang  sedang  dalam  keadaan  junub dengan  syarat  tidak menyentuh mushafnya.[8]



[1] Abdul Wahab Khallaf, Masadir at-Tasyri’ al-Islami Fima La Nassa Fih,(Beirut: Dar al-Qalam, tt.), hlm. 151.
[2] Hafizuddin  an-Nusaifi,  Kasyf  al-Asrar, (Beirut:  Dar  al-Kutub  al-Ilmiyah,
1986), juz II, hlm. 452
[3] An-Nawawi, Syarh Muslim,(Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1986, IV: 45
[4] Muhammad  Musa  Towana,  al-Ijtihad, (Mesir,  Dar  al-Kutub  al-Hadisah, 1971), hlm. 40.
[5] Untuk  melihat  lebih  jauh  tentang  ijtihad  Umar  yang  sering disebut  berdasarkan pertimbangan maslahat, lihat Abu  Zahrah,  Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah,(Beirut: Dar al-Fikr, tt.), juz II, hlm. 20-21.
[6] Muhammad Musa Towana, ibid.
[7] Muhammad  salam  Madkur,  al-Ijtihad  Fi  Tasyri’  al-Islami, (Kairo:  Dar  anNahdah al-Arabiyah, 1992), jilid I, hlm. 69.
[8] Ibid.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »