Istishab Pada Masa Rasul, Sahabat dan
Tabi’in.
Sebenarnya
istishab pada masa-masa awal
Islam, sudah mempunyai
embrio, memiliki hakikat, namun belum mempunyai nama. Dalam konteks
inilah istishab dibicarakan.
Contoh istishab yang
disebutkan oleh al-Quran
seperti dalam kasus
ditolaknya kesaksian orang yang menuduh perempuan baik-baik (muhsanat)
berbuat zina, tetapi tidak dapat menunjukkan empat orang saksi,
وَلَا تَقَبَلُوْا لَهُمْ شَهـدَةً اَبَدًا
Artinya:
“janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya”.(QS.
Al-Nur:4).
Dalam ayat
ini ditegaskan bahwa
kesaksian qazif (si
penuduh) tidak dapat
diterima. Masa berlakunya penolakan kesaksian mereka.
menurut Abdul Wahab
al-Khallaf,[1]
tidak hanya terbatas pada saat itu, melainkan berlaku sepanjang masa. Hal ini
dipahami dari kata abadan yang
berarti selama-selamanya. Tentu saja selama tidak ada hal lain yang
membatalkannya yakni melakukan taubat dan memperbaiki diri.
Ayat
di atas juga secara tersirat menjelaskan bahwa seorang muslim pada dasarnya ‘iffah,
terjaga dari melakukan
perbuatan zina, karena
akal dan agama yang
dimilikinya, menahan dirinya
dari melakukan perbuatan buruk tersebut.[2]
Jadi, jika
orang yang menuduh
tidak dapat mendatangkan
saksi-saksi untuk memperkuat tuduhannya, maka selama itu pula seorang
muslim/muslimah tetap pada kondisinya semula
yakni terhindar dari
melakukan hal-hal yang
dilarang.
Pada contoh
lain misalnya, seseorang
yang telah berwudu’, menurut Rasul, juga tetap dalam
keadaan semula, yakni suci dari hadas,
selama ia tidak
mendengar “suara” atau
mencium “bau” (karena angin
yang keluar dari
lobang pelepasan). Lebih
lanjut Rasulullah menyatakan: “Apabila salah seorang diantara kamu
merasakan sesuatu pada perutnya kemudian
merasa ragu apakah
sudah keluar sesuatu
atau tidak, maka janganlah ia keluar dari mesjid sampai
ia benar-benar mendengar “suara” atau mencium “bau” yakni ia benar-benar yakin
dengan keluarnya sesuatu dengan
terdengarnya suara yang
keluar (angin) atau
terciumnya bau (kentut)”.[3]
Dari ayat
dan Hadis yang
dijelaskan di atas,
terdapat indikasi bahwa istishab
dalam arti hakikat tanpa nama, sudah ada sejak
masa Rasulullah, demikian
pula pada masa
berikutnya yakni masa sahabat
dan tabi’in. Seperti
telah dijelaskan sebelumnya bahwa ijtihad sahabat mengandung
arti luas yakni tidak hanya terbatas pada
qiyas, istihsan dan maslahah,
namun juga mencakup sad az-zara’i,
‘urf dan istishab. Hanya
saja, dalam hal ini, Muhammad Musa Towana tidak menggunakan kata istishab,
melainkan bara’ah al-ashliyah.[4]
Muhammad
Musa menjelaskan bahwa dalam sebuah peristiwa di mana seorang wanita yang
sedang dalam masa iddah, menikah
dengan lelaki lain, Umar ibn Khatab memberikan fatwa bahwa lelaki
itu tidak boleh
menyetubuhi wanita tersebut (melakukan hubungan
suami isteri) selamanya
(hurmah muabbadah).
Hal ini, menurut
Umar, agar tidak
terjadi penyimpangan
terhadap perintah Allah,
sekaligus menjaga keturunan (hifdzu an-nasl).
Sebaliknya, Ali
ibn Abi Thalib memberikan fatwa
yang berbeda dengan
Umar. Menurut Ali, lelaki tersebut boleh saja menggauli
wanita itu jika ia mau, tentu saja
setelah masa iddahnya berakhir.
Umar ibn Khatab,
dalam menyelesaikan kasus ini, berpegang pada al-maslahah al-mursalah.[5]
Sedangkan Ali
ibn Abi Thalib
berpegang pada al-bara’ah
alashliyah (istishab).[6]
Pendapat
Ali ini didasarkan pada keumuman ayat QS. An-Nisa: 3 “…maka nikahilah
wanita-wanita lain yang kamu senangi dua,
tiga atau empat…” dan QS. An-Nisa’:24 “…dan dihalalkan
bagi kamu selain
hal yang demikian itu
(yaitu)
mencari
isteri-isteri dengan hartamu
untuk dinikahi secara sah
bukan untuk berzina…”.
Pada masa
setelah sahabat, sebagian
besar tabi’in berpendapat bahwa
segala sesuatu pada
dasarnya adalah dibolehkan (ibahah),
selama tidak ada dalil teks suci yang melarangnya. Hal ini
dimaksudkan untuk memberikan
kemudahan sekaligus
menghindarkan kesulitan. Pendapat
ini diambil dari
perkataan mereka sendiri, diantaranya Said ibn al-Musaiyib, Salim
ibn Umar, Syuraih
al-Qadhi, Atha’ ibn
Ribah, Zuhri dan Umar ibn
Abdul Aziz. Mereka
menyatakan bahwa mendengar nyanyian
dan alat musik
rebana tidaklah dilarang (halal) selama tidak mengajak dan
membawa kepada kemungkaran serta tidak memalingkan diri dari melaksanakan
kewajiban seperti halnya nyanyian yang dapat memalingkan hati dan menimbulkan
rangsangan. Mendengar nyanyian itu dibolehkan selama tidak ada teks suci yang mengharamkannya. Menurut Salam Madkur, pendapat seperti ini
juga telah dianut oleh sebagian sahabat sebelumnya.[7]
Ibn al-Musaiyib
juga membolehkan membaca
al-Quran bagi orang
yang sedang dalam
keadaan junub dengan syarat
tidak menyentuh mushafnya.[8]
[1] Abdul Wahab Khallaf, Masadir at-Tasyri’ al-Islami Fima
La Nassa Fih,(Beirut: Dar al-Qalam, tt.), hlm. 151.
[2] Hafizuddin
an-Nusaifi, Kasyf al-Asrar, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah,
1986), juz II, hlm. 452
[3] An-Nawawi, Syarh
Muslim,(Beirut:
Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1986, IV: 45
[4] Muhammad Musa Towana,
al-Ijtihad, (Mesir,
Dar al-Kutub al-Hadisah, 1971), hlm. 40.
[5] Untuk melihat lebih
jauh tentang ijtihad
Umar yang sering disebut berdasarkan pertimbangan maslahat, lihat Abu Zahrah,
Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah,(Beirut: Dar al-Fikr, tt.), juz II, hlm. 20-21.
[6] Muhammad Musa
Towana, ibid.
[7] Muhammad salam
Madkur, al-Ijtihad Fi
Tasyri’ al-Islami,
(Kairo: Dar anNahdah al-Arabiyah, 1992), jilid I, hlm.
69.