Paradigma Fikih Antropokosmis

Dewasa ini, isu degradasi lingkungan telah menjadi diskursus global yang menyita perhatian publik. Bahkan, sebagian ahli lingkungan berspekulasi bahwa terjadinya bencana alam akhir-akhir ini merupakan imbas dari fenomena krisis lingkungan. Di sinilah, kalangan akademisi dan ilmuwan kemudian dituntut untuk memberikan sumbangan pemikiran sebagai solusi alternatif dalam mengatasi krisis tersebut dari berbagai pendekatan.
Adalah Seyyed Hossein Nasr, salah satu cendikia muslim yang concern terhadap masalah lingkungan. Beberapa karya yang ia tulis adalah bentuk “kegelisahan” intelektualnya akan pengaruh globalisasi dan industrialisasi modern yang cenderung eksploitatif dan destruktif. Dalam bukunya Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man, Nasr mengkritik worldview sains modern yang berkarakter kuantitatif, sekuler, materialistik dan profan. Karakter itu, menurutnya, benar-benar telah mengikis makna-makna simbolik dan pesan-pesan spiritual yang terkandung di alam raya ini.
Oleh karena itu, bagi Nasr, tidak ada pilihan lain kecuali melakukan apa yang ia sebut resakralisasi alam semesta (resacralization of nature) sebagai pengganti proyek mekanisasi gambaran dunia (mechanization of the world picture) yang dicanangkan sejak renaisans dan revolusi ilmiah tiga abad lalu. Untuk itu, usul Nasr, sangat dibutuhkan upaya membangun kosmologi baru yang berbasis pada tradisi spiritualitas agama yang sarat makna dan kaya kearifan.



Doktrin Agama
Sejak awal, Islam telah memberikan panduan religius berwawasan al-Qur’an terkait interaksi manusia dengan alam sekitarnya. Konsep taskhir dalam Islam tidak berlaku bebas, tetapi dibatasi dengan konsep khalifah fi al-ard dan konsep amanah yang memiliki implikasi terhadap tugas kosmik manusia yakni isti’mar (membangun infrastruktur) Q.S. Hud/11: 61 dan islah (mengonservasi) Q.S. al-A’raf/7: 56.
Kekhalifahan manusia di sini berarti menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam lingkungannya secara harmonis. Semantara doktrin amanah menuntut adanya tanggung jawab penuh atas pemanfaatan sumberdaya alam secara arif dan bijaksana. Konsep taskhir berarti kewenangan manusia sebagai duta Tuhan untuk mengelola sumberdaya alam dan isti’mar berarti membangun infrastruktur secara terencana dan seimbang. Selanjutnya, konsep islah berarti melakukan upaya konservasi lingkungan demi tercapainya misi pelestarian lingkungan secara berkelanjutan.
Inilah prinsip pokok yang merupakan landasan dalam interaksi antara sesama manusia (hablumminannas), interaksi manusia dan lingkungannya (hablumminal’alam) serta keharmonisan hubungan itu pulalah yang menjadi tujuan dari segala etika agama. Adanya interaksi dan hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya yang bersifat harmonis sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang termaktub dalam firman-Nya inilah yang dapat menjamin kelestarian lingkungan itu sendiri.



Menurut al-Raghib al-Asfahani, bahwa peran imarah/isti’mar bagi umat manusia sangat terikat dan melekat secara sinergis dengan dua peran lainnya, ibadah dan khalifah di bumi. Bahkan, peran ‘imarah merupakan bentuk nyata dari aplikasi peran ubudiyah dan khalifah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Inilah sejatinya tiga tujuan utama dalam penciptaan manusia di muka bumi, al-ibadah (Q.S. al-Zariyat/51: 56), al-khalifah (Q.S. al-Baqarah/2: 30), dan al-‘imarah (QS. Hud/1: 61).

Menuju Paradigma Antropokosmis
Term antropokosmis, sejatinya dipopulerkan oleh Tu Wei Ming. Antropokosmis berarti pandangan yang menyatakan bahwa manusia adalah bagian organik dari alam. Pengertian ini meniadakan sikap manusia sebagai penakluk alam semesta. Pandangan ini pula merupakan kritik atas pandangan antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat alam, sehingga ia cenderung agresif dan eksploitatif terhadap lingkungan.
Dalam banyak tulisan Ming, misalnya Centrality and Commonality: An Essay on Confucan Religiousness, The Ecological Turn In New Confucian Humanism: Omplications for China and the World, Ecological Implications of Confucian Humanism, membuktikan bahwa gaya hidup umat Konghucu bisa menjadi rule model dalam beretika terhadap lingkungan hidup. Melalui perspektif antropokosmis, Ming ingin menegaskan bahwa konservasi lingkungan dapat dimulai dari pergeseran paradigma manusia yang bercorak antroposentris menuju antropokosmis.
Lebih lanjut, Ming menggunakan term ini untuk membungkus pandangan dunia Asia Timur dan memberi penekanan perbedaannya yang potensial dengan pandangan dunia Barat yang teosentrik dan antroposentrik. Ia mengatakan bahwa tradisi China secara umum dan Konfusu secara khusus memandang benda-benda “secara antropokosmik”. Maksudnya, bahwa manusia dan kosmos dipahami sebagai satu kesatuan yang tunggal dan organik. Karena menurutnya, tujuan manusia hidup adalah untuk mengharmonisasi dirinya sendiri dengan langit dan bumi serta kembali kepada sumber pencipta manusia maupun jagad raya.
Dalam worldview Islam, terkait posisi manusia dan alam dalam Al-Qur’an Q.S. al-Baqarah/2: 30 diungkapkan jelas, “inni ja’ilun fi al-ardi khalifah”. Ayat ini, memiliki indikasi tiga substansi hubungan sinergis yaitu antara ja’ilun sebagai Tuhan, ardun sebagai simbul alam, dan khalifah sebagai simbol manusia. Dengan sinergitas itu, diharapkan pendekatan manusia terhadap lingkungan hidup akan lebih apresiatif, bukan lagi bersifat eksploitatif dan destruktif.
Di sinilah, relasi antara tiga kutub, yakni Tuhan, alam dan manusia menjadi niscaya untuk selalu berjalan selaras, seimbang dan harmonis. Penghilangan salah satu kutub tersebut akan menyebabkan kepincangan. Penghilangan kutub Tuhan akan menyebabkan sekularisme yang mengeksploitasi alam dan berujung pada krisis lingkungan. Demikian halnya, penafian kutub alam, akan menjadikan manusia miskin pengetahuan dan miskin peradaban.



Dengan demikian, antropokosmis dalam Islam merupakan etika lingkungan yang menitikberatkan pada paradigma relasi manusia dengan lingkungan secara holistik. Artinya, manusia selain merupakan bagian integral dari lingkungan (fi), tetapi ia juga menyadari dirinya memiliki potensi akal (khalifah) untuk memanfaatkan alam secara bertanggung jawab (amanah). Ideologi holistik-integralistik menawarkan satu sistem kehidupan berkesinambungan yang menjadi prasyarat terwujudnya kehidupan berkelanjutan. Paradigma holistik-integralistik ini menjanjikan kearifan lingkungan, yang layak untuk dikembangkan demi menggeser paradigma ektrim ekosentrisme, maupun paradigma antroposentrisme.
Dari sini, fikih antropokosmis sejatinya adalah formulasi fikih lingkungan berdasarkan nilai spiritual religius Islam dan kemaslahatan ekologis secara holistik dan berkelanjutan. Oleh karena itu, di tengah berbagai bencana yang mengancam eksistensi manusia di muka bumi, sejujurnya, kita sudah dalam keadaan “darurat” untuk “berani” menelorkan fikih yang bernuansa ekologis dan ramah lingkungan ini.[]

Oleh : Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »