Prolog
Dalam
pembacaan terhadap Yaman maka sejatinya kita sedang mengkaji sejarah kearaban
yang otentik, baik dari perspektif teretorial atau personal. Yang pertama bahwa
Yaman adalah kawasan semenanjung Arab pra-pasca Islam dalam arti penyematan
negara Arab bukan bukan karena faktor ekspansi (al-Futuhat al-islamiyyah).
Secara personal penduduk Yaman berasal dari garis keturunan kabilah Arab tulen
yaitu suku Himyar. Bahkan raja-raja penguasa Yaman dari zaman ke zaman
mayoritas didominasi oleh anak turun suku Himyar. Namun referensi sejarah
perihal Yaman secara spesifik bisa dikategorikan sangat minim bila kita
komparasikan dengan kajian sejarah beberapa peradaban Islam lainnya. Sebut saja
misalnya kota Damaskus yang diulas dengan detil dalam “Tarikh Dimasyq” oleh
Ibnu Asakir, atau “Tarikh Baghdad”
oleh al-Khothib al-Baghdadi. An-Nuwairi sedikit berjustifikasi bahwa hal
itu disebabkan kekacauan politik internal sebagaimana ditorehkan dalam prolog
kitab “Bahjatu az-Zaman fi Tarikh al-Yaman” karya Ibn Abdul Majid al-Yamani.
Di
periode awal keislaman tercatat ada tiga delegasi dakwah yang diutus oleh
Rosulullah SAW ke Yaman, Imam Ali bin Abi Tholib di Sana’a, Mu’adz bin Jabal ke
Taiz dan Abu Musa al-Asy’ari ke Zabid. Via duta-duta dakwah tersebut bangsa
arab Yaman banyak menimba ilmu Islam, bahkan tidak sedikit dari penduduk Yaman
yang datang langsung ke Madinah Munawwaroh dalam rangka bertemu langsung
dengan baginda Nabi. Sebut saja Abu Syah yang mendapatkan pengetahuan hukum
tertulis atas instruksi Nabi meski saat itu pendataan Hadits masih dilarang
karena kekhawatiran akan terjadi kerancuan antara Hadits dan Al-Quran.
Adapun
pujian Rosulullah SAW kepada Yaman dan penduduk Yaman tertera dalam sabdanya di
Shohih Ibnu Hibban diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Abbas Ra
berkata: disaat Rosulullah SAW berada di Madinah beliau bersabda:
“Allahu
Akbar Allahu Akbar, pertolongan dan kemenangan dari Allah telah tiba, dan telah
tiba penduduk Yaman, para sahabat bertanya: siapakah penduduk Yaman itu wahai
Rosulullah? Beliau menjawab : suatu kaum yang hatinya lembut, ketaatan mereka
sangat mudah, keimanan itu dari arah Yaman, Fikih dari arah Yaman, dan Hikmah
itu dari arah Yaman”.
Ketika
sabda menjadi realita, penerawangan suci baginda Nabi membuahkan kenyataan,
tidak sedikit dari pioner-pioner ilmuwan Islam muncul dari Yaman mengisi
deretan ulama-ulama kaliber dunia. Dari utara sebut saja Imam Abdur Rozzaq
as-Son’ani dengan Mushonnaf-nya, Imam Muhammad bin Ali as Syaukani
dengan Nail al-Author dan karya-karya monumentalnya, Imam Muhammad bin Ismail
al-Amir an-Shon’ani dengan Subul as-Salam-nya, Ibnu al-Muqri dengan al-Irsyad-nya,
al Hafizh ad-Daiba’i dengan kitab Maulid-nya yang mendunia. Di bagian
selatan “serombongan” ulama terkemuka dari keluarga Ahlul Beit (Alawiyyin)
dengan sumbangsih keilmuan dan dakwahnya ke seantero dunia yang
mengilustrasikan “loncatan peradaban” dalam rangka islamisasi dunia. Bahkan
menurut suatu versi sejarah, nasab walisongo juga kembali kepada para Sadah
Hadhramaut Yaman. Dan tidak sedikit kitab atau monograf yang menjadi
buku wajib di beberapa pondok pesantren di Indonesia. Dalam disiplin ilmu Fikih
yang termasuk goresan pena Ulama Yaman selatan adalah Sullam at Taufiq karya
Habib Abdullah bin Husein Bin Tohir, Bughyah al-Mustarsyidin karya Habib
Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, dan Safinah an-Najah karya Syekh
Salim bin Sumair, dan lainnya.
Gayung
bersambut, kiranya mata rantai perjuangan para ulama pendahulu Yaman tidak
statis sebagaimana yang menimpa beberapa negara yang terjajah komunisme seperti
negara-negara Rusia. Sebut saja Uzbekistan yang merupakan kampung halaman Imam
al-Bukhori disinyalir bahwa kini pengetahuan agama mayoritas penduduknya sangat
minim bahkan dibawah standar. Lain halnya dengan Yaman yang sampai era kekinian
masih merupakan mercusuar ilmu meski tidak sepopuler Mesir karena memang
karakter sufistik Yaman sangat kental untuk tidak mengatakan lebih mengemuka
ketimbang potret keilmuannya, gaya hidup menjauh dari popularitas masih sangat
menjadi trend di kalangan ulama Yaman.
Geliat
gerakan dakwah juga cukup jauh gaungnya dan pengaruhnya juga sangat luas, sebut
saja salah satu putra Yaman bernama Habib Ahmad Masyhur al-Haddad tercatat
dengan tinta emas telah berhasil mengislamkan sekitar delapan puluh ribu rakyat
Kenya. Sampai detik ini dakwah moderat (al Wasathiyyah, red) ala
Hadhramaut juga masih dilaksanakan oleh para ulama dan pegiat dakwah. Tidak
beraroma provokasi, bukan dengan pendekatan konflik dan penuh hikmah itulah
ciri khas manhaj (methode, red) Hadhramaut.
Sekapur
Sirih Seputar Hadhramaut
Hadramaut
adalah lembah besar di kawasan Yaman, yang diafiliasikan kepada raja yang
bernama "Hadhramaut bin Himyar al-Ashghor". Daerah yang bersuhu
panas, letaknya kurang lebih 150 dari garis khatulistiwa. Dalam kitab
"Idam al-Qut" yang tak berlebihan apabila kita sebut dengan ensiklopedi
Hadramaut.
Nama
sebelumnya adalah "Abdal", kemudian berubah nama menjadi
"Wabar" kemudian " Wadi al-Ahgaf" kemudian
"Hadramaut".
Syekh
Abu Bakar Basyarahil menyebutkan dalam kitabnya "Miftah al-Sunnah":
“Hadramaut adalah kota yang terletak di daerah Yaman yang tersohor dan luas.
Yang memiiliki banyak lembah”. Hal ini sebagai argumen sejarah bahwa hadramaut
masih termasuk kawasan Yaman. Sebagai counter terhadap pendapat yang berasumsi
bahwasanya Hadramaut tidak termasuk dari bagian Yaman. Sejak lama, Hadramaut
terkenal dengan tenunannya. Rasulullah sendiri memiliki selendang impor dari
Hadramaut yang dikenakan oleh beliau di momen-momen spesial, seperti Idul Fitri
dan Idul Adha. Bahkan disebutkan bahwa navigasi (pelayaran) India adalah milik Hadhariim
(penduduk Hadramaut) sejak abad kedua Hijriyah.
Diantara
kota yang sangat bersejarah di Hadramaut adalah kota Tarim. Al-Hamadani
menyebutkan kekagumannya akan Hadhramaut dalam kitabnya "Sifat
Jaziratul Arab". Sedangkan nama Tarim diambil dari nama
"pembabatnya" yang bernama Tarim bin Hadramaut. Tidak berlebihan bila
disematkan kepadanya julukan kota ribuan
wali, diaktensi oleh penulis kitab Jaami’ Karomaat al Auliya as-Syekh
Yusuf bin Ismail an-Nabhani dengan menyebutkan nama-nama wali besar yang
berdomisili di Yaman. Ada sebuah manuskrip tulisan salah satu ulama maroko yang
mengisahkan perjalanannya ke kota Tarim Hadhramaut kira-kira abad ke 8 hijriah,
dijelaskan bagaimana kekagumannya kepada Tarim dan penduduknya hingga terucap dalam
lisannya : “Innahum bi al malaikati asybah” (artinya: mereka lebih mirip
malaikat ketimbang manusia).
Thoriqoh
Alawiyah, apresiasi Sufisme Moderat
Saat
gaya hidup hedonis mulai merambah dunia Islam dengan gemerlap tipu daya,
masyarakat yang notabene masih lekat dengan etika ketimurannya ini
terasa tergugah kembali untuk membangun piramida norma-norma timur dalam
menjalani hidup. Pilar-pilar yang sudah banyak rapuh sebab "dentuman"
westernisasi kiranya perlu dibangun kembali. Lebih spesifiknya adalah perihal sisi religi
atau unsur spiritual dan relasi antara manusia dan agama. Angin kekeringan
rohani yang selama ini menerpa elemen humanis dinyatakan faktor dasar dari
dekadensi dan degradasi moral bangsa. Fiqh Bathin - meminjam istilah
Habib Umar Bin Hafidz- adalah suatu diskursus dalam memelihara dan
mengejewantahkan kemanusiaan yang utuh.
Tasawuf, term klasik yang akhir-akhir ini banyak disalahartikan oleh beberapa
sekte sempalan adalah solusi dari kejenuhan hidup. Tidak heran bila dakwah
Islam via thariqah dengan sentuhan-sentuhan sufistiknya banyak digandrungi di
Barat dan menjadi sarana dakwah potensial yang dipercayai sanggup memberikan
arti "kesejukan" dalam diri mayoritas mereka. Namun cukup obyektif
bila diakui bahwa thariqah sebagai wadah pensucian hati juga tidak lepas
dari infiltrasi yang merusak citra tasawuf secara umum, dengan doktrin-doktrin
yang ternyata berseberangan dengan syariat. Namun realita ini tidak dapat
dijadikan ajang generalisasi bahwa semua corak thariqah atau tasawuf
sebagai ajaran yang berkontradiksi dengan ajaran Islam itu sendiri.
Ada
semacam idiom berkata : “ath-Thoriq ila Allah ka adadi ru'usi al-khola'iq” (
artinya: Jalan menuju Allah itu sebanyak jumlah manusia) ungkapan superlatif
yang menjelaskan bahwa cara menuju Allah itu sangat beragam selama masih dalam
koridor syariat. Karena hubungan pararel antara syariat, thariqat dan haqiqat
tidak dapat dipisahkan. Habib Abdullah al-Aydrus dalam al-Kibrit al-Ahmar
mengibaratkan syariat itu adalah lautan, sementara thariqat itu adalah
sampan, sedangkan haqiqat itu adalah mustika yang tersimpan di dalam
tiram. Kiranya ada puluhan thariqah –dalam arti komunitas- yang sedang
menjamur di belahan dunia ini. Diantaranya bisa disebut kaliber melihat nilai
kuantitas pengikutnya yang cukup banyak atau memang umurnya yang sudah ber-abad
abad. Sebut saja Qadiriyah yang diafiliasikan kepada Syekh Abdul Qadir
al-Jailani (1166 M), tidak berlebihan bila disebut sebagai thariqah yang
terorganisir perdana dalam belantika dunia tasawuf dan masih langgeng sampai
detik ini. Rifa'iyah yang dirintis oleh Syekh Ahmad ar-Rifa'i (1182 M), Syadziliyah yang dinisbatkan kepada
kepada Syekh Abu Hasan as-Syadzily, Naqsyabandiyah dengan Syekh Muhammad
Bahauddin an-Naqsyabandi sebagai sang sesepuh
dan thariqah-thariqah lainnya.
Dari
pelbagai thariqah tersebut ada yang dikenal dengan nama Alawiyah yang
–menurut penulis- terkesan dimarginalkan (baca: dalam kancah karya tulis). Padahal
pengikut thariqah ini yang mayoritas dari golongan Sadah tersebar
luas di seantero alam, khususnya di Indonesia. Dan realita dakwah dari kaum imigran
asal Hadhramaut yang komprehensif lebih spesifiknya di tanah air cukup
menjadi bukti tipikal inklusifme yang dimiliki thariqah Alawiyah ini.
DR. Yusuf Qardhawi dalam salah satu kunjungannya ke Indonesia pernah bertutur
bahwa peran para imigran asal Hadhramaut ke Indonesia dalam penyebaran dakwah
Islam tidak bisa disangsikan lagi.
Hal
ini menguatkan apa yang dikatakan oleh pakar sejarah Yaman Syekh Abdullah
al-Habsyi bahwa Sufisme dan Yaman adalah bagian yang tak terpisahkan,
namun yang perlu digarisbawahi warna sufisme Yaman lebih kepada Suluk
dan moralitas bukan kajian filsafat an sich. Tidak heran bila karya yang
terkait banyak menyoal tentang Tazkiyat an-Nafs (pembersihan hati, red) atau
fikih batin.
Epilog
Dari
paparan singkat diatas, bagaimana tri-manhaj (sufisme, Keilmuan dan
Dakwah) Yaman atau Hadhramaut lebih tepatnya dan pengaruh positifnya dalam
memformat pola hidup menuju masyarakat yang madani. Kompetensi dalam
keilmuan di topang dengan kecerdasan spiritual untuk selanjutnya menebarkan
kebaikan kepada manusia dengan dakwah mengikuti manhaj yang moderat (al
wasathiyyah).
Yang
perlu diangkat ke permukaan adalah bagaimana semangat membumikan tri-manhaj
itu tertanam dalam diri setiap individu muslim di Indonesia. Agar seyogyanya
dapat mengantarkan generasi muslim mencapai cita-cita luhurnya dengan berpegang
teguh dengan syariat dan berlandaskan akidah yang kokoh.
Penulis : Achmad Makkiy Lazuardi