1. Pendahuluan
Terlahir
dari sebuah kelompok diskusi agama yang kemudian bersintesis dengan
pikiran-pikiran ala Barat, sebuah kelompok beracun yang berhasil
dideklarasikan dengan slogan Jaringan
Islam Liberal (JIL) pada 8 Maret 2001 M. Kelahiran JIL dilatarbelakangi oleh
kekhawatiran terhadap kelompok Islam fundamentalis yang dianggap selalu
memonopoli kebenaran dan memaksakan mereka dengan cara-cara, yang justru tidak
sejalan dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu untuk menghambat atau
mengimbangi gerakan Islam militan atau fundamentalis ini, kalangan liberal
mendeklarasikan sebuah jaringan[1]. Dalam
"deklarasi" pendiriannya disebutkan "kekhawatiran akan
kebangkitan `ekstrimisme' dan 'fundamentalisme' agama yang sempat membuat
banyak orang khawatir akhir-akhir ini. JIL juga bermaksud mengimbangi pemikiran
kelompok yang bermaksud menerapkan syariat Islam secara formal di Indonesia.
Dalam
merealisasikan mimpi-mimpi itu dalam agenda politik, menurutnya, urusan Negara
adalah murni urusan dunia, sistem kerajaan dan perlementer (demokrasi) sama
saja. Selain itu, mereka juga mengangkat kehidupan antar agama.
Menurutnya perlu pencarian teologi pluralisme, mengingat semakin
majemuknya kehidupan bermasyarakat di negeri-negeri Islam. Pemikiran
lain yang menghantui otak mereka untuk menjerit buta adalah Emansipasi
Wanita. Agenda ini mengajak kaum Muslim untuk memikirkan kembali
beberapa doktrin agama yang cenderung merugikan dan mendiskreditkan kaum
perempuan. Hal ini karena doktrin-doktrin tersebut - dari manapun
sumbernya - bertentangan dengan semangat dasar Islam yang mengakui
persamaan dan menghormati hak-hak semua jenis kelamin (lihat misalnya
Q.S. 33:35, Q.S. 49: 13, Q.S. 4: 1). Tidak luput dari semua itu, satu penyakit
yang menjangkit dalam nafsu mereka adalah kebebasan berpendapat (secara
mutlak). Agenda ini menjadi penting dalam kehidupan kaum Muslim modern,
khususnya ketika persoalan ini berkaitan erat dengan masalah hak-hak asasi
manusia (HAM). Islam sudah pasti sangat menghormati hak-hak asasi manusia, dan
dengan demikian, juga menghormati kebebasan berpendapat[2].
Berangkat
dari semua itu, reinkarnasi Mu’tazilah ini mencoba mendobrak
doktrin-doktrin agama yang mereka anggap tak level lagi dengan zaman. Cuma,
jikalau Muktazilah kuno hanya menyangkut masalah Akidah, maka tetasan
telur Muktazilah ini lebih melebarkan taring sampai ke masalah-masalah
fikih bahkan ke tasawuf. Dari agenda-agenda yang mereka kumanadangkan, yang
sempat membikin ricuh di antaranya adalah tentang pernikahan lintas agama,
yang mana secara dhohir adalah suatu kebodohan dalam Islam untuk
menerima konsep ini.
Tujuan Diskusi
- Memahami dan menilai argumen Islam Liberal dalam melegalkan
nikah beda agama.
2. Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif
Islam Liberal
Pada
prinsipnya pandangan Ulama mengenai pernikahan lintas agama ini terbagi menjadi
tiga bagian; Pertama, melarang secara mutlak pernikahan antara muslim
dengan non-muslim baik yang dikategorikan musyrik maupun ahl
al-kitab. Larangan itu juga berlaku bagi perempuan maupun laki-laki. Kedua,
membolehkan secara bersyarat. Sejumlah ulama membolehkan pernikahan antara
laki-laki muslim dengan perempuan non-Muslim dari kelompok ahl al-kitab.Tetapi
perempuan Muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim walaupun
tergolong ahl al-kilab. Ketiga, membolehkan pernikahan antara Muslim
dengan non-Muslim yang berlaku untuk laki-laki dan perempuan Muslim[3].
[1]
. Adian Husaini dan Nuim
Hidayat. Islam Liberal:
Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan
Jawabannya.
(Jakarta: Gema Insani
Press, 2003), 8
[2]. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad. Wajah
Baru Islam., 95.
[3] . Salahuddin Wahid,
"Perkawinan Agama dan Negara", Republika Jumat, 1 April 2005, 2
[4] . Ulil
Abshar Abdalla. 2002. "Menyegarkan Kembali
Pemahaman Islam." Kompas. Senin, 18 November.