TALFIK YANG TIDAK DI PERBOLEHKAN.
Tidak semua talfik diperbolehkan
oleh ulama', namun ada juga talfik yang diharamkan karena adakalanya hal
itu di sebabakan oleh talfik itu sendiri seperti halnya ketika talfik
yang menghalalkan sesuatu yang sudah jelas keharamannya semisal menghalalkan
minuman keras dan sebagainya, dan bisa disebabkan oleh sebagian sisi saja yang
mana hal ini ada tiga macam[1]:
1. Mengambil
pendapat sesuai kehendak hatinya dengan mengikuti hawa nafsunya, tanpa adanya Udzur
syar'ey. hal ini di haramkan dikarenakan takut menyebabkan suatu kerusakan
yaitu dengan menghilangkan pembebanan (taklif) dalam syara'. Al
Ghazali dengan jelas mengakatan hal ini dalam mustasfa nya[2].
2. Talfik yang menyebabkan terhadap pembangkangan terhadap Hakim karena hukum
hakim menghilangkan Kekhilafan antara ulama' disebabkan takutnya terjadi
kekacauan seperti yang sering terjadi di negeri kita selama ini.
3. Talfik yang menyebabkan terhadap batalnya sebuah pekerjakan yang di lakukan
secara Taqlid.
4. Talfik yang menyebabkan sebuah pertentangan dengan Ijma' yang wajib
baginya di ikuti.
PANDANGAN PENULIS TENTANG TALFIK.
Sebagaimana yang telah penulis
teliti dari sebagian buku-buku yang menjelaskan tentang talfik penulis merasa perlu sedikit berpendapat
dalam masalah ini, menurut pandangan penulis sendiri tidak ada dalil yang yang
menguatkan pandangan ulama' yang melarang adanya talfik, baik dari 'Aqli atau pun
Naqli, bahkan para pendiri madzhab pun tidak pernah melarang orang yang
menganut madzhabnya bertanya pada mujtahid lain, adapun pendapat yang
mengatakan bahwa jika kita menanyakan hal itu pada imam Al-madzhab tidak akan
ada yang mengatakan kesahan ibadah orang yang talfik masih perlu di
klarifikasi ulang, karena dalam pandangan penulis bisa saja sang imam tidak
berkata demikian namun ia akan berkata ''Jika kamu mau mengikuti pendapatku
maka ibadahmu tidak sah akan tetapi jika kamu mau mengikuti pendapat si fulan
maka ibadahmu bisa di katakan sah'' sedangkan
Al-Qur'an sendiri sudah jelas menyuruh kita untuk bertanya pada orang
yang ahli tanpa memilah-milah orang yang akan kita tanyakan, sehingga Al-Qur'an
sendiri tidak pernah mengenal adanya talfik. Dalam diri penulis berpendapat selama talfik
tidak bertentangan dengan ijma' maka hukumnya tetap boleh.
Dan yang perlu diingat, bahwa
Taqlid dan Ijtihad tidak bisa di
bedakan, karena keduanya sama-sama mengambil pendapat dari Kitab dan Sunnah,
letak perbedaan dari kedunyanya hanyalah dalam masalah perantara, jika mujtahid
memahaminya langsung dari Kitab dan Sunnah sedangkan Muqollid memahaminya
melalui perantara Mujtahid, maka ketika dalam Ijtihad diperbolehkan
adanya talfik lantas mengapa dalam taqlid tidak diperbolehkan?
Akan tetapi penulis setuju
dengan pendapat yang melarang adanya talfik ketika dimungkinkan adanya
unsur menganggap enteng dalam mengambil sebuah hukum seperti yang sudah
penulis sampaikan di atas, dan itu pun bukan karena talfiknya sendiri
namun karena ada unsur lain sehingga menyebabkan ke tidak bolehannya talfik itu
sendiri.
PENUTUP.
Dari uraian singkat di atas
dapat di ambil benang merah bahwa talfik bisa di legalkan ketika tidak
memecahkan konsolidasi syari'ah dan praktek politik dan hikmah-hikmah syara' terutama dalam masalah Hiyal Al
Syar'iah yang dilarang oleh agama. Namun ketika malah menguatkan terhadap
Konsolidasi syara' maka hal ini jelas di perbolehkan.
Demikianlah kesimpulan yang
dapat penulis berikan pada mekalah ini dengan harapan bisa bermanfaat bagi
penulis sendiri dan para pembaca. Berhubungan dengan singkatnya waktu maka
penulis berharap agar para pembaca bisa tidak merasa cukup dengan ma’lumat yang
sederhana ini. Saya berharap agar masalah ini terus diteliti dan di bahas
dengan lebih seksama.
Oleh: Mu'tazim Faurok Muhyidin*
Penulis adalah mahasiswa semester lima fakultas Syare’a universitas Al-Ahgaff, beliau sekarang menjabat sebagai ketua departemen pendidikan AMI Al-Ahgaff priode 2011-2012 M.
[1]Rosmu Al Mufti juz 1 hal;76,Al Ihkam fi Tamyizi
Al FAtawi Hal:79,Fatawa Syekh 'Ulaisy Juz 1 Hal;68-71.
[2]Al Mustasfa Juz 2 Hal:125