AL-KAUTSARI: PEMBAHARUAN AGAMA DAN ISU PERCERAIAN FIKIH DARI AGAMA (dirâsah dzâtiyyah wa al-fikrah) (Part 3)

AL-KAUTSARI DAN PERCERAIAN FIKIH DARI AGAMA
Termasuk sesuatu yang diwacanakan oleh jargon al-ishlâh al-dîniy adalah isu pluralisme. Secara garis besar, al-Kautsari memproyeksikan pluralisme sebagai wacana yang mengandung faham komunis. Argumen ini berangkat dari pemahaman beliau tentang aliran pluralisme yang mengampanyekan 'dakwah' persamaan dan kebenaran agama-agama. Bagi beliau, paham seperti ini mengandung esensi ingkar terhadap ajaran-ajaran agama. Rasionalisasinya; paham yang mengajak mengakui kebenaran agama-agama sama saja tidak membenarkan agama-agama itu sendiri dalam waktu yang sama. Misalnya, seseorang mengajak untuk membenarkan Yahudi, kemudian membenarkan Nasrani, kemudian membenarkan Islam, kemudian membenarkan ajaran Brahma. Sedangkan dalam masing-masing ajaran itu punya konsep keagaman dan ketuhanan yang berbeda-beda. Maka, meyakini kebenaran semuanya adalah hal yang diingkari oleh masing-masing ajaran agama tersebut. Hal ini jelas merupakan aktivitas berpikir yang tidak meyakini semuanya, karena masing-masing agama mengklaim kebenaran ajarannya sendiri.

Kampanye ini ternyata membawa ekses negatif pada Islam. Banyak sekali diskursus-dirkursus keagamaan yang berubah dari makna awalnya, seperti perceraian fikih dari agama. Wacana ini untuk pertama kalinya dimunculkan Syekh Musthafa al-Maraghi yang pernah disampaikan dalam kuliah umumnya di masjid Jâmi' Abi 'Ala tahun 1356 H, di sana Syekh al-Maraghi menerangkan tafsir ayat :

أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ [الشورى/13] إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ  [الأنعام/159]

"Orang Islam terjerumus dalam lubang yang sama dengan ahli kitab. Orang Islam masuk dalam dikotomi madzhab, baik pada masalah yang fundamental (al-'aqâ`id) atau masalah yang dinamis (al-furû'). Seandainya mereka (muslimin. pen) kembali pada kaidah-kaidah al-Quran dan al-Hadits, niscaya perbedaan itu tidak akan meluas seperti saat ini. Namun, mereka telah dipermainkan oleh hawa nafsunya."[1]
Pandangan perceraian fikih dari agama juga sempat dimuat di majalah al-Risalah edisi 396 hal 128, disana disebutkan, "Termasuk prinsip-prinsip agung dalam syariat Islam, seperti yang dikemukakan al-Maraghi, bahwa interpretasi agama yang ada dalam al-Quran dan al-Hadits tidak memasukkan fikih. Agama adalah syariat Allah Swt yang diwasiatkan kepada para nabi. Adapun undang-undang yang ditetapkan oleh para ahli fikih untuk mewujudkan keadilan dan mengatur kehidupan manusia hanyalah pendapat-pendapt para pakar fikih yang selalu berjalan dan bersintesis sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Seandainya fikih merupakan bagian dari agama, sedangkan kita tahu betapa para pakar fikih itu saling berbeda pandangan menjadi beberapa madzhab, niscaya mereka tergolong dalam firman Allah Swt:   

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ  [الأنعام/159][2]

Dari sini, al-Maraghi dengan tegas memisahkan fikih dari konstruksi agama Islam. Salah satu arguman al-Maraghi dalam membangun paradigma perceraian fikih dari agama dikatakan bahwa agama merupakan kata universal yang terdapat dalam setiap ajaran agama-agama selain Islam, sedangkan fikih (pemahaman tentang agama) merupakan eksternal yang sama sekali tidak ada keterkaitannya dengan agama.

Ide ini cukup mengusik nalar teologi al-Kautsari. Menanggapi wacana ini, al-Kautsari meng-cuonter dengan beberapa argumen; (1) dalam ayat di atas (al-An'am: 156) yang diungkapkan al-Quran dengan kata farraqû secara literal mempunyai dua pemahaman; orang-orang yang menarik agama dalam dikotomi sekte Islam, juga diinterpretasikan sebagai orang-orang yang meninggalkan agama dengan mengimani sebagian doktrin agama dan tidak mengimani yang lain. Namun perlu diingat, dalam surat itu juga ada bacaan mutawatir lain sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Hamzah dan Imam al-Kisa'i yang membaca farraqû dengan faaraqû. Kata faaraqû mempunyai interpretasi yang relevan dengan makna kedua dari kata farraqû, yaitu; orang-orang yang meninggalkan agama secara total (karena orang yang mengimani sebagian ajaran agama dan mengkufuri sebagian yang lain dalam Islam dijustifikasi sebagai orang yang tidak mengimani konfigurasi Islam secara keseluruhan). Berangkat dari kedua bacaan yang berbeda ini, pada awalnya bersebarangan antara makna bacaan pertama dan interpretasi bacaan kedua. Bagi al-Kautsari, bila terjadi kontraproduktif dalam penafsiran ayat al-Quran, maka ayat tersebut harus diartikan dengan satu tafsir yang mengakomodir tafsir ayat yang berbeda (al-jam'u). Kaitannya dengan meng-cover tafsir yang berbeda, al-Kautsari mengarahkan interpreatasi kedua bacaan yang berbeda pada satu makna jâmi' yaitu; maksud tafrîq (derivasi kata farraqa dengan tasydid) dalam surat al-An'am adalah orang-orang yang mengimani sebagian doktrin agama yang tertuang dalam al-Kitab dan al-Sunnah dan mengingkari doktrin yang lain. Penafsiran ini sesuai dengan semangat firman Allah Swt:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آَمِنُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا نُؤْمِنُ بِمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُونَ بِمَا وَرَاءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَهُمْ قُلْ فَلِمَ تَقْتُلُونَ أَنْبِيَاءَ اللَّهِ مِنْ قَبْلُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ [البقرة/91]

Dan juga beberapa ayat lain yang senafas dengan ayat ini. (2) kontroversi fuqaha tidak bisa dikategorikan ke dalam ikhtilaf fî al-dîn. Justifikasi atas perbedaan mereka hanya berkutat pada al-shawab wa al-khatha` tidak sampai pada tataran al-haqq wa al- bathil. Disamping itu, kontroversi mereka hanya terjadi pada dalil-dalil yang bersifat multitafsir. Perbedaan yang berangkat dari dalil seperti ini merupakan salah satu manifestasi fleksibelitas syariat. Sebagai tambahan informasi, perbedaan fuqaha sangat minim, tidak melebihi seperempat ajaran agama. Sedangkan dua pertiganya merupakan kesepakatan bersama. Adapun perbedaan para teolog Islam, bukanlah perbedaan yang menyangkut hal-hal fundamental dalam epistemologi teologi (mis. Eksistensi Allah, dsb.). Perbedaan mereka terbatas pada sesuatu yang oleh syariat tidak ada keterangan tegas dan menyerahkan interpretasi pada nalar manusia(lam yakhtalifuu fi al-a'qidati illa fiimaa laa khuthurota fiih). (3) Fikih merupakan salah satu perangkat untuk memahami agama. Secara sederhana, fikih adalah bagian dari al-ilmu bi al-diin sedangkan agama adalah al-ma'lum. Dalam tradisi epistemologi logika, tidak ada perbedaan antara pengetahuan tentang sesuatu dengan sesuatu yang diketahui (laa mukholafata baina al-ilmi wa al-ma'lum). Premis ini sesuai dengan firman Allah Swt:

فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ [التوبة/122]

dan juga relevan dengan sabda Nabi Muhammad Saw,
 إذا أراد الله بعبد خيرا فقهه في الدين وألهمه رشده(4) 
Agama dalam al-Quran dan al-Sunnah diartikan sebagai ketundukan pada perintah Allah swt dalam hal keyakinan (akidah) yang benar, beramal saleh dan berakhlak mulia. Definisi ini tidak bertentangan dengan pengertian agama yang diinterpretasikan sebagai aturan-aturan ketuhanan (wadl'un ilaahiyy) yang menuntun manusia menuju kebaikan dunia dan akhirat. Ta'rif ini sangat sesuai dengan pengertian fikih; mengetahui hal-hal positif dan negatif bagi seseorang (ma'rifatu al-nafsi maa laha wamaa 'alaiha). Pada tiga pengertian di atas terdapat titik temu, karena masing-masing ta'rif mencakup tiga esensi yaitu akidah, syariat dan akhlak[3].
            Dengan empat argumen di atas, al-Kautsari merekatkan kembali fikih ke  dalam konstruk agama Islam. Sebagaimana lazimnya, al-Kautsari selalu mematahkan lawannya menggunakan epistemologi yang beragam sehingga cukup memberikan persepsi bagi kita atas kedalaman dan keluasan pengetahuan beliau.

IKHTITAM
            Itulah sekelumit tentang biografi seorang yang mencari ilmu karena Allah SWT, yang beramal di dunia untuk bekal di akhirat kelak. Beliau berpulang ke rahmatullah pada hari ahad sore pukul 4:35 waktu Mesir pada tanggal 19 Dzul Qa'dah tahun 1371 H pada umur 75 tahun. Jasad beliau disalatkan keesokan h arinya pada hari Senin di Masjid Jâmi' al-Azhar. Berdiri sebagai imam shalat jenazah, Syekh Abdul Jalil Isa, guru besar ilmu bahasa. Beliau dikebumikan dalam komplek pemakaman Imam Syafi'i bersebelahan dengan karibnya, Syekh Ibrahim Salim.
Semoga Allah SWT berkenan memberikan ridla dan rahmat-Nya kepada beliau, menempatkannya di surga Firdaus dan membalas ilmu, kesabaran, jihad serta hijrahnya dengan sebaik-baik balasan. Amin yaa mujiibas saailiin.

Oleh:  : Muhammad Birrul Alim 
*) Penulis adalah mahasiswa al-Ahgaff tingkat IV fakultas Syariah Universitas al-Ahgaff, Tarim-Hadhramaut, Yaman.



[1] Dikutip dari rekaman pengajian Syekh Musthafa al-Maraghi.
[2] Majalah al-Risalah, edisi 396.
[3] Maqâlât al-Kaustari pada ulasan yang berjudul al-Dîn wa al-Fiqh, al-'Aqîdah al-mutawâratsah wa al-Fiqh al-Mutawârats, Nushûsh Tanfa'u fî Tasykhîshi al-Azhar al-Hadîts, dan lain sebagainya.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »