AL-KAUTSARI DAN PERCERAIAN FIKIH DARI AGAMA
Termasuk sesuatu yang
diwacanakan oleh jargon al-ishlâh al-dîniy adalah isu pluralisme. Secara garis besar, al-Kautsari memproyeksikan
pluralisme sebagai wacana yang mengandung faham komunis. Argumen ini berangkat
dari pemahaman beliau tentang aliran pluralisme yang mengampanyekan 'dakwah'
persamaan dan kebenaran agama-agama. Bagi beliau, paham seperti ini mengandung
esensi ingkar terhadap ajaran-ajaran agama. Rasionalisasinya; paham yang
mengajak mengakui kebenaran agama-agama sama saja tidak membenarkan agama-agama
itu sendiri dalam waktu yang sama. Misalnya, seseorang mengajak untuk
membenarkan Yahudi, kemudian membenarkan Nasrani, kemudian membenarkan Islam,
kemudian membenarkan ajaran Brahma. Sedangkan dalam masing-masing ajaran itu
punya konsep keagaman dan ketuhanan yang berbeda-beda. Maka, meyakini kebenaran
semuanya adalah hal yang diingkari oleh masing-masing ajaran agama tersebut. Hal
ini jelas merupakan aktivitas berpikir yang tidak meyakini semuanya, karena
masing-masing agama mengklaim kebenaran ajarannya sendiri.
Kampanye ini ternyata membawa ekses negatif pada Islam.
Banyak sekali diskursus-dirkursus keagamaan yang berubah dari makna awalnya,
seperti perceraian fikih dari agama. Wacana ini untuk pertama kalinya
dimunculkan Syekh Musthafa al-Maraghi yang pernah disampaikan dalam kuliah
umumnya di masjid Jâmi' Abi 'Ala tahun 1356 H, di sana Syekh al-Maraghi
menerangkan tafsir ayat :
أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
[الشورى/13] إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ
فِي شَيْءٍ [الأنعام/159]
"Orang
Islam terjerumus dalam lubang yang sama dengan ahli kitab. Orang Islam masuk
dalam dikotomi madzhab, baik pada masalah yang fundamental (al-'aqâ`id) atau masalah yang dinamis (al-furû'). Seandainya mereka (muslimin. pen) kembali
pada kaidah-kaidah al-Quran dan al-Hadits, niscaya perbedaan itu tidak akan
meluas seperti saat ini. Namun, mereka telah dipermainkan oleh hawa
nafsunya."[1]
Pandangan perceraian fikih
dari agama juga sempat dimuat di majalah al-Risalah edisi 396 hal 128, disana
disebutkan, "Termasuk prinsip-prinsip agung dalam syariat Islam, seperti
yang dikemukakan al-Maraghi, bahwa interpretasi agama yang ada dalam al-Quran dan
al-Hadits tidak memasukkan fikih. Agama adalah syariat Allah Swt yang
diwasiatkan kepada para nabi. Adapun undang-undang yang ditetapkan oleh para
ahli fikih untuk mewujudkan keadilan dan mengatur kehidupan manusia hanyalah
pendapat-pendapt para pakar fikih yang selalu berjalan dan bersintesis sesuai
dengan perkembangan dan perubahan zaman. Seandainya fikih merupakan bagian dari
agama, sedangkan kita tahu betapa para pakar fikih itu saling berbeda pandangan
menjadi beberapa madzhab, niscaya mereka tergolong dalam firman Allah Swt:
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا
شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
[الأنعام/159][2]
Dari sini, al-Maraghi
dengan tegas memisahkan fikih dari konstruksi agama Islam. Salah satu arguman al-Maraghi
dalam membangun paradigma perceraian fikih dari agama dikatakan bahwa agama
merupakan kata universal yang terdapat dalam setiap ajaran agama-agama selain Islam,
sedangkan fikih (pemahaman tentang agama) merupakan eksternal yang sama sekali
tidak ada keterkaitannya dengan agama.
Ide ini cukup mengusik nalar teologi al-Kautsari. Menanggapi
wacana ini, al-Kautsari meng-cuonter dengan
beberapa argumen; (1) dalam ayat di atas (al-An'am: 156) yang diungkapkan
al-Quran dengan kata farraqû secara
literal mempunyai dua pemahaman; orang-orang yang menarik agama dalam dikotomi
sekte Islam, juga diinterpretasikan sebagai orang-orang yang meninggalkan agama
dengan mengimani sebagian doktrin agama dan tidak mengimani yang lain. Namun
perlu diingat, dalam surat itu juga ada bacaan mutawatir lain sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Hamzah dan Imam al-Kisa'i yang membaca farraqû
dengan faaraqû. Kata faaraqû mempunyai interpretasi yang relevan dengan makna kedua dari kata farraqû,
yaitu; orang-orang yang meninggalkan agama secara total (karena orang yang
mengimani sebagian ajaran agama dan mengkufuri sebagian yang lain dalam Islam dijustifikasi
sebagai orang yang tidak mengimani konfigurasi Islam secara keseluruhan). Berangkat
dari kedua bacaan yang berbeda ini, pada awalnya bersebarangan antara makna
bacaan pertama dan interpretasi bacaan kedua. Bagi al-Kautsari, bila terjadi
kontraproduktif dalam penafsiran ayat al-Quran, maka ayat tersebut harus
diartikan dengan satu tafsir yang mengakomodir tafsir ayat yang berbeda (al-jam'u). Kaitannya dengan meng-cover tafsir yang berbeda, al-Kautsari mengarahkan
interpreatasi kedua bacaan yang berbeda pada satu makna jâmi' yaitu; maksud tafrîq (derivasi kata farraqa dengan tasydid) dalam surat al-An'am adalah orang-orang
yang mengimani sebagian doktrin agama yang tertuang dalam al-Kitab dan al-Sunnah
dan mengingkari doktrin yang lain. Penafsiran ini sesuai dengan semangat firman
Allah Swt:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آَمِنُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
قَالُوا نُؤْمِنُ بِمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُونَ بِمَا وَرَاءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ
مُصَدِّقًا لِمَا مَعَهُمْ قُلْ فَلِمَ تَقْتُلُونَ أَنْبِيَاءَ اللَّهِ مِنْ قَبْلُ
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ [البقرة/91]
Dan juga beberapa ayat lain
yang senafas dengan ayat ini. (2) kontroversi fuqaha tidak
bisa dikategorikan ke dalam ikhtilaf fî al-dîn. Justifikasi
atas perbedaan mereka hanya berkutat pada al-shawab wa
al-khatha` tidak sampai pada tataran al-haqq wa al- bathil.
Disamping itu, kontroversi mereka hanya terjadi pada dalil-dalil yang bersifat
multitafsir. Perbedaan yang berangkat dari dalil seperti ini merupakan salah
satu manifestasi fleksibelitas syariat. Sebagai tambahan informasi, perbedaan fuqaha sangat minim, tidak
melebihi seperempat ajaran agama. Sedangkan dua pertiganya merupakan
kesepakatan bersama. Adapun perbedaan para teolog Islam, bukanlah perbedaan
yang menyangkut hal-hal fundamental dalam epistemologi teologi (mis. Eksistensi
Allah, dsb.). Perbedaan mereka terbatas pada sesuatu yang oleh syariat tidak
ada keterangan tegas dan menyerahkan interpretasi pada nalar manusia(lam yakhtalifuu fi al-a'qidati illa fiimaa laa
khuthurota fiih). (3) Fikih merupakan salah satu perangkat
untuk memahami agama. Secara sederhana, fikih adalah bagian dari al-ilmu bi al-diin
sedangkan agama adalah al-ma'lum. Dalam
tradisi epistemologi logika, tidak ada perbedaan antara pengetahuan tentang
sesuatu dengan sesuatu yang diketahui (laa
mukholafata baina al-ilmi wa al-ma'lum).
Premis ini sesuai dengan firman Allah Swt:
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ
طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا
إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ [التوبة/122]
dan juga relevan dengan
sabda Nabi Muhammad Saw,
إذا أراد الله بعبد خيرا فقهه في الدين وألهمه رشده(4)
Agama dalam al-Quran dan
al-Sunnah diartikan sebagai ketundukan pada perintah Allah swt dalam hal
keyakinan (akidah) yang benar, beramal saleh dan berakhlak mulia. Definisi ini
tidak bertentangan dengan pengertian agama yang diinterpretasikan sebagai
aturan-aturan ketuhanan (wadl'un ilaahiyy) yang
menuntun manusia menuju kebaikan dunia dan akhirat. Ta'rif ini
sangat sesuai dengan pengertian fikih; mengetahui hal-hal positif dan negatif
bagi seseorang (ma'rifatu al-nafsi maa laha
wamaa 'alaiha). Pada tiga pengertian di atas terdapat titik
temu, karena masing-masing ta'rif mencakup tiga esensi yaitu akidah,
syariat dan akhlak[3].
Dengan empat argumen di atas, al-Kautsari merekatkan
kembali fikih ke dalam konstruk agama Islam.
Sebagaimana lazimnya, al-Kautsari selalu mematahkan lawannya menggunakan
epistemologi yang beragam sehingga cukup memberikan persepsi bagi kita atas
kedalaman dan keluasan pengetahuan beliau.
IKHTITAM
Itulah sekelumit tentang biografi seorang yang mencari
ilmu karena Allah SWT, yang beramal di dunia untuk bekal di akhirat kelak.
Beliau berpulang ke rahmatullah pada hari ahad sore pukul 4:35 waktu Mesir pada
tanggal 19 Dzul Qa'dah tahun
1371 H pada umur 75 tahun. Jasad beliau disalatkan keesokan h arinya pada hari Senin
di Masjid Jâmi' al-Azhar. Berdiri sebagai imam shalat jenazah, Syekh Abdul
Jalil Isa, guru besar ilmu bahasa. Beliau dikebumikan dalam komplek pemakaman
Imam Syafi'i bersebelahan dengan karibnya, Syekh Ibrahim Salim.
Semoga Allah SWT berkenan memberikan ridla dan rahmat-Nya kepada
beliau, menempatkannya di surga Firdaus dan membalas ilmu, kesabaran, jihad
serta hijrahnya dengan sebaik-baik balasan. Amin yaa
mujiibas saailiin.
Oleh: : Muhammad Birrul Alim
*) Penulis adalah mahasiswa al-Ahgaff tingkat IV fakultas Syariah Universitas al-Ahgaff, Tarim-Hadhramaut, Yaman.
[1] Dikutip dari rekaman pengajian
Syekh Musthafa al-Maraghi.
[2] Majalah
al-Risalah, edisi 396.
[3] Maqâlât al-Kaustari
pada ulasan yang berjudul al-Dîn wa al-Fiqh, al-'Aqîdah al-mutawâratsah wa
al-Fiqh al-Mutawârats, Nushûsh Tanfa'u fî Tasykhîshi al-Azhar al-Hadîts, dan
lain sebagainya.