Pendahuluan
قال النبي صلى الله عليه وسلم
؛﴿إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدّد لها
دينها﴾([1])
Bertolak
dari hadits ini, kita akan mendiskusikan bersama tentang pentingnya peranan mujaddid
atau mujtahid yang bisa memformulasikan kembali hukum-hukum Islam, dengan
relevansinya yang kekinian dan kedisinian. Karena bagaimanapun juga, kegiatan
ini sangat urgen mengingat dalam beberapa madzhab fiqh banyak sekali ditemukan
produk-produk hukum yang kurang bisa diaplikasikan di beberapa tempat dan
zaman. Peranan ijtihad dalam membangun umat, baik dari segi ibadah atau mu’amalah
dan lainnya, merupakan keniscayaan yang harus disikapi bersama secara serius
oleh para cendekiawan (fuqahâ) sebagai langkah peremajaan dan
memformulasi kembali wajah fiqh dari generasi ke generasi.
Ijtihad
adalah harga mati yang harus tetap dilakukan dan digalakkan sesuai dengan
tuntutan perkembangan zaman yang disesuaikan dengan realitas kekinian dan
kedisinian, sehingga aktivitas ijtihad sangatlah urgen demi menjadikan Islam
-sebagai agama yang lahir pada abad VI masehi itu- mampu menembus ruang dan waktu,
sehingga Islam adalah undang-undang yang shâlih fî kulli zamân wa
makân.
Sejauh
pentingnya peranan ijtihad itu, maka dituntut agar hukum-hukum yang diproduksi
via ijtihad tetap orisinil dan steril dari pengaruh hawa nafsu dan kepentingan
individu atau golongan. Oleh karena itu, para ulama membuat benteng yang kokoh
dengan meletakkan syarat-syaratnya yang ketat, sehingga kaum liberalis banyak
melakukan kajian kritis atas syarat-syarat tersebut yang berujung pada tuduhan
terhadap Imam al-Haramain (w. 478H) sebagai orang yang telah mengebiri Islam
yang berimplikasi pada kejumudan, bahkan pada kemundurannya([2]).
Mengapa harus al-Haramain? Karena ialah orang pertama yang berbicara
lantang tentang syarat-syarat seseorang yang berhak untuk memproduksi hukum secara
selektif dan mustasyaddid, sehingga oleh mereka syarat-syarat itu
dianggap sebagai pengganjal kebebasan berijtihad. Namun, apapun yang dilakukan
al-Haramain adalah hal yang positif demi pencitraan dan orsinalitas
Islam dari pengaruh hawa nafsu.
Ijtihad dan
Mujtahid
Secara
terminologis, ijtihad adalah mengerahkan kemampuan bagi seorang faqih
untuk menemukan hukum syar'i yang bersifat amaliyah dan bukan
hukum-hukum pasti (ahkâm al-qath’i)([3]).
Definisi ini sengaja diangkat tanpa mengenyampingkan definisi-definisi versi
lainnya karena melihat banyaknya pro-kontra para cendekiawan dengan berbagai
bahasa yang diungkapkannya. Sebagaimana terjadi pro-kontra pada cakupannya,
apakah hanya masalah syariah saja atau mencakup masalah-masalah 'aqliyyah
dan lughawiyyah juga?([4])
Sementara
mujtahid adalah orang yang baligh, berakal, faqih, dan berkompeten dalam
mendeduksi hukum-hukum syara' dari dalil-dalil yang tafshil dari
sumber-sumber hukum Islam([5]).
Definisi ini hanya sebagai balance dengan ta’rîf di atasnya,
sehingga penulis menggabungkan dari berbagai sumber demi kesempurnaan definisi.
Ijtihad
adalah aktivitas agung dan sangat berat, sebagaimana komentar al-Sam'âni (w.
562 H) yang mengatakan ijtihad adalah aktivitas agung yang mampu menggantikan
fungsi wahyu pasca mangkatnya Rasulullah saw.([6]).
Senada dengan al-Sam’âni, al-Syâthibi (w. 790 H) juga mengukuhkan pendapat itu
sebagaimana terekam dalam al-muwâfaqât. Ia menyamakan posisi mujtahid
atau mufti sebagaimana posisi nabi dilihat dari tiga hal, diantaranya hadits
Nabi yang menyatakan ulama adalah pewaris para nabi, baik dari segi ilmunya
atau kewajiban untuk tablîgh kepada masyarakat([7]).
Namun,
menjadi seorang mujtahid tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, sehingga
banyak para generasi cendekiawan (thâlib al-‘ilm) yang putus harapan
untuk mengejar impian tertingginya sebagai pewaris nabi, al-‘ulamâ` waratsat
al-`anbiyâ([8]).
Sebagai bukti nyata, banyak generasi muslim yang lebih asyik menikmati
hukum-hukum instant yang sudah dikemas dalam fikih praktis madzhab dan sangat
menikmati status sosialnya sebagai muqallid yang kadang menjadikannya
sebagai muqallid buta.
Melihat
realita itu, Majduddin ibn Daqîq al-‘Îed (625-702 H), Abû Syâmah (599-665 H),
Taqiyyuddin al-Subuki (w. 756 H), dan al-Dzahabi (w. 748 H) terus memberikan
semangat dan menumbuhkan rasa patriotisme sebagai generasi muslim sehingga
mereka mengatakan bahwa penyebab yang mendasar dalam kejumudan ini adalah
keengganan generasi muslim untuk bermimpi dan berusaha untuk mewujudkan
impiannya menjadi mujtahid. Mereka juga sangat menyayangkan sikap tersebut,
melihat perangkat ijtihad di era modern seperti ini sudah sangat komplit,
instant, praktis, dan mudah didapatkan ketimbang zaman-zaman awal([9]).
Komentar ini disambunglidahkan oleh aktivis gerakan anti-taklid yang dikawal
oleh beberapa ulama besar, seperti al-Syawkâni (w. 1250 H), Muhammad ibn Abdul
Wahhab, dan lain-lainnya.
Syarat-syarat
Mujtahid
Predikat
mujtahid memang simple, namun sangat sulit. Abu Ishâq al-Syâthibi (w.
790 H) menerangkan bahwa predikat mujtahid bisa didapatkan apabila seseorang
mampu mempunyai dua hal pada dirinya, yaitu;
- Memahami
maqâshid al-syarî’ah secara utuh dan sempurna.
- Mampu mendeduksi hukum dengan dasar pemahamannya atas maqâshid al-syarî’ah([10]).
Pemaparan
ini sepintas kita bisa dengan mudah menyandang predikat mujtahid dengan
memahami maqâshid-nya saja. Namun banyak hal yang sebenarnya menjadi hal
yang lebih penting dari itu, diantaranya adalah memahami pro-kontra para ulama,
baik dalam satu madzhab atau antar madzhab. Wawasan khilafiyah ini
sebagai langkah antisipasi memporakporandakan konsensus ulama-ulama terdahulu.
Penguasaan terhadap bâb Qiyâs dan bâb Dalâlah juga merupakah hal
yang tidak kalah penting untuk merujuk kembali asal atau nash al-Quran
dan al-Sunnah.