Al Quran dalam Pemahaman Islam Liberal

Pendahuluan
                  Korelasi metode tafsir dengan hasil penafsiran memang benar adanya. Seperti motede
Literal, yaitu memahami isi Al-Quran dengan pendekatan tekstual. Hasil dari metode ini adalah pemahaman Al-Quran terbatas dari makna yang muncul dari setiap lafadz yang ada di dalam Al-Quran. Seiring dengan perkembangan zaman, muncul  konsep HAM, kesetaraan gender, pluralisme, dan lain-lain dari Barat terus-menerus ditawarkan keseluruh negara, tanpa terkecuali negara-negara Islam, khususnya Indonesia. Akibat kuatnya hegomoni budaya Barat di dunia menjadikan sebagian pemikir Islam mencoba mendialogkan antara konsep tersebut dengan kitab suci umat Islam, dengan harapan mampu menghasilkan penafsiran-penafsiran baru yang mendukung konsep yang diusung oleh Barat tersebut.
                   Hal semacam ini sebenarnya bukan hal yang mudah, karena Islam dan Barat memiliki konsep sendiri-sendiri dalam menyikapi isu-isu tersebut, yang mungkin memang ada titik persamaan  dan juga perbedaan yang tak bisa dipertemukan.

                   Keyakinan umat Islam bahwa Al Quran diturunkan dengan lafadz dan maknanya adalah dasar awal untuk mengharuskan penafsiran dengan pendekatan literal (harfiyah) dalam memahami teks Al Quran.  Pendekatan literal ini  ternyata tak mampu merestui konsep HAM, kesetaraan gender, pluralisme ala Barat. Hal inilah yang kemudian membuat para Orientalis dan pemikir Islam Liberal beruapaya mencari pendekatan baru dalam menafsirkan Al-Quran dan Al-Hadits dengan harapan hasil-hasil penafsiran tersebut mampu menerima konsep dari Barat dan kemudian bisa diterima umat Islam. Akan tetapi sebelum merubah metode tafsir, maka mau tidak mau mereka harus merubah pemahaman umat Islam tentang Al Quran, karena adanya keterkaitan yang kuat antara penentuan metode tafsir dengan pemahaman Al Quran itu sendiri.
                   Dan makalah ini akan saya kosentrasikan pembahasan pada pemhaman Al Quran menurut versi Islam Liberal.

Tujuan Diskusi
  1. Memahami dan menilai argumen Islam Liberal dalam memahami Al Quran
  2. Memahami efek yang diakibatkan dari pemahaman Al Quran versi Liberal

Merubah Pemahaman Tentang Al-Quran
                   Keyakinan umat Islam bahwa Al Quran diturunkan oleh Allah dengan lafadz dan maknanya, bukan produk sejarah dan budaya, sehingga dapat menjadi sumber petunjuk untuk menyikapi setiap realitas di segala ruang dan waktu adalah masalah pertama yang harus dihadapi para pemikir Liberal sebelum mereka melakukan perubahan pemahaman isi Al Quran, dan kemudian menawarkan konsep tentang Islam yang mampu menyesuaikan diri dengan selera zaman. Keyakinan tentang keharusan memahami Al Quran dengan pendekatan tekstual bagi mereka harus terlebih dahulu ditepis untuk kemudian menawarkan pemahaman Al Quran secara universal, yaitu memahami Al Quran dari sisi pesan-pesan yang muncul saja tanpa terikat pada teknis yang diberlakukan dalam Al Quran, karena bagi mereka teknis-teknis tersebut adalah efek dari pengaruh sosio-historis yang mengitari proses penurunan Al Quran. Misalnya, hukum potong tangan. Pesan yang dikehendaki Al Quran adalah menghukum pelaku pencurian. Adapun teknis hukuman dengan potong tangan adalah budaya Arab. Setidaknya ada empat argumen yang mereka tawarkan untuk mengatakan bahwa Al Quran dikonstruk berdasarkan tradisi yang bersifat fakta dan historis[1];

Pertama , Tuhan telah memilih bahasa manusia -dalam hal ini bahasa Arab- sebagai kode komunikasi antara Tuhan dan Rasul-Nya. Bagi mereka, lafadz atau kata adalah ibarat simbol dari sebuah makna atau realitas. Setiap lafadz mengalami proses pembentukan dari diri manusia. Dengan ini, setiap bahasa tanpa terkecuali bahasa Arab adalah produk budaya manusia. Ketika Al Quran menggunakan sebuah bahasa manusia, berarti Al Quran terkena pengaruh budaya manusia dan proses sejarah. Di sisi lain, setiap kata tak mampu menggambarkan seluruh realitas/makna  yang dia wakili, maka dengan ini setiap lafadz yang terdapat dalam Al Quran belum mampu menggambarkan seluruh makna yang Al Quran kehendaki. Oleh karena itu, tidak boleh ada pembatasan makna dan jalan terbaiknya adalah mengambil pesan umum atau nilai universal yang tersirat dari makna tersebut.  
Kedua, Keterlibatan Muhammad sebagai penerima pesan dari Allah di satu sisi dan sebagai penafsir di sisi lain ikut menentukan proses sosial pengujaran dan tekstualisasi Al Quran. Nabi Muhammad bukanlah sebuah kaset rekaman yang tidak berkepribadian, melainkan orang yang cerdas, jujur, dan amanah. Jadi ketika menerima wahyu, maka Nabi ikut aktif memahami, menyerap dan mengungkapkannya dalam bahasa Arab. Karena itu, menurut Nashr Hamid Abu Zaid, tidak bertentangan jika dinyatakan bahwa Al Quran itu wahyu yang diturunkan Tuhan dengan teks Muhammad.
Ketiga, Sejak turunnya, Al Quran telah berdialog dengan realitas. Banyak sekali peristiwa yang mengiringi turunnya ayat dan yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan umat waktu itu. Dengan kata lain, sangat sedikit ayat-ayat yang diturunkan tanpa ada sebab eksternal. Jika kita mengikuti perkembangan Al Quran, maka berarati juga kita mengikuti perkembangan hidup Nabi Saw. dan komunitas sekelilingnya waktu itu.
Keempat, Firman Tuhan itu telah direkam dalam bentuk catatan atau teks, bermula dari tulisan-tulisan parsial dan terserak-serak, sampai kepada penetapan official closed corpus (badan resmi tertutup) yang dilakukan oleh  khalifah Utsman Bin Affan ra, sebagai satu-satunya model pembakuan Al Quran.
                   Dilihat dari sisi pembentukan official closed corpus yang dibentuk  khalifah Utsman Bin Affan ra, sesungguhnya penuh dengan nuansa yang rumit yang perlu dilihat secara kritis sehingga hanya satu tipe yang dibakukan dan dijadikan acuan resmi oleh khalifah Utsman ra.
                   Sebelum khalifah Utsman melakukan standarisasi, ada puluhan -kalau bukan ratusan- mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat memiliki mushaf sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan ayat, dan surah maupun jumlah  ayat dan surah. Ibnu Masud memiliki mushaf yang tidak menyertakan  surah al Fatihah, surah ke-113, dan 114. Dan susunan surahnya pun berbeda dari Al Quran yang sekarang. Sahabat lain yang tidak menyertakan al Fatihah adalah Ali bin Abi Thalib yang juga tidak menyertakan surah ke-    13,34,66,96. Hali inilah yang memancing perdebatan para Ulama, apakah al Fatihah bagian dari Al Quran atau bukan? Perbedaan antara mushaf Utsmani dengan mushaf lainya dapat dilihat dari komplain Aisyah, istri Nabi, yang dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya, Al-Itqon, dengan kata-kata sebagai berikut: " pada masa Nabi, surah al Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Utsman melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang, yakni 73 ayat." Pandangan ini juga didukung sahabat Ubay Bin Kaab. Dan kemudian setelah kodifikasi, seluruh mushaf selain mushaf Utsmani dibakar oleh khalifah Utsman Bin Affan ra.

                    Di dalam pembentukan  tim tersebut, terkesan terdapat indikasi kepentingan kaum Quraisy. Hal ini dapat dilihat dari tiga dari empat anggota tim tersebut adalah dari bangsa Quraisy. Asumsi ini diperkuat ketika terdapat khilaf di antara anggota mengenai bahasa Al Quran, khalifah Utsman mendahulukan bahasa Quraisy dibanding bahasa Arab dari kabilah lain. Al Quran, menurut Sumantho Al Qurtubi, sebenarnya adalah perangkap bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas. Artinya, bangunan keislaman sebetulnya tidak lepas dari jaring-jaring kekuasaan Quraisy yang dulu berjuag keras untuk menunjukan eksistensinya di tengah suku-suku Arab lain. Hal ini yang membuat Ulil Abshor "menganjurkan" agar umat mampu memilah-milah teks-teks Al Quran: mana yang merupakan nilai universal Islam dan mana yang hanya pengaruh budaya Arab.[2]

                     Setelah proses pembukuan Al Quran secara resmi, sebenarnya telah terjadi peralihan Al Quran dari tradisi lisan ke tradisi tulisan, yaitu sebuah tahapan yang mengacu pada teks Al-Quran untuk memperoleh jawaban dari berbagai situasi dan kondisi yang terus berkembang, tidak lagi mengacu kepada tradisi lisan. Dengan demikian, Al Quran tidak lebih dari karya sastra. Dan karena telah membumi, ia terkena kategori sebagai fakta historis. Dengan mempertimbangkan sitauasi sosio-historis yang melingkupi firman Allah tersebut, dapat disimpulkan, bahwa terdapat hubungan dialektis antara teks Al Quran dan realitas budaya. Persis dalam sistem yang mendasarinya inilah, Al Quran "terbentuk" secara kultural dan "tersusun" secara historis. Dengan kata lain, Al Quran dapat dikatakan sebagai produk budaya (al muntaj al tsaqofiy) . Ini berarti tidak semua doktrin dan pemahaman agama dapat berlaku sepanjang zaman dan tempat, mengingat gagasan universal Islam telah mengambil dan dibentuk oleh lokus bahasa dan budaya Arab yang bersifat relatif, berdimensi lokal dan partikular.[3]

Penutup

Dari pemahaman di atas, pemikir Islam Liberar ingin menyimpulkan bahwa Al Quran adalah produk budaya. Konsekwensi dari pemahaman tersebut adalah jika Al Quan adalah produk budaya, maka kitab tersebut tidak lagi sakral, sama halnya teks-teks yang lain, terikat dengan konteks sosio-historis sehingga tidak berlaku sepenuhnya bila kondisi dan waktu telah berubah. Tidak berlaku sepenuhnya dalam arti masih dapat diambil sebagai petunjuk secara universal dengan mengambil nilai-nilai pesan yang ada didalam Al Quran tanpa terikat masalah teknis yang tertulis dalam kitab tersebut.
Dan untuk selanjutnya dapat melaksanakan nilai universal hukum Islam dengan teknis pelaksanaan seperti dalam konsep hukum dari Barat atau yang lainnya. 
Walahu a'lam bisshowab.



Oleh: Zarnuzi Ghufron



[1]. Taswirul Afkar, edisi 14 tahun 2003, hal. 15
[2]. Ijtihad Islam Liberal, JIL,hal. 17
[3]. Taswirul Afkar, edisi 14 tahun 2003, hal. 17

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »