”Sembilan puluh persen ilmu adalah Istihsan”
(Imam Malik bin Anas)
“Orang yang tenggelam dalam melakukan qiyas, dalam
batas tertentu, nyaris meninggalkan
as-Sunnah, dan Istihsan adalah pilar ilmu”
(Imam Ashbagh)
“Siapa yang ber-Istihsan maka sungguh dia telah
membuat syariat baru !”
(Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i)
I. Prolog
Dalil bagi para pengggali
hukum ( baca : mujtahid ) adalah sebuah
keharusan dan harga mati dalam aktivitas penetapan hukum dari hal-hal yang
sebelumnya tidak memiliki status hukum tertentu. Dan begitu juga sebaliknya,
mengatakan sesuatu tanpa dalil atau secara asal-asalan merupakan tindakan yang
sangat dihindari dan dijahui oleh mereka.
Lebih jelasnya, Imam
Syafi'i, pencetus madzhab ketiga diantara empat madzhab yang saat ini tersebar
di dunia, menegaskan dalam magnum
opusnya al-Risalah tentang pentingnya eksistensi dalil bagi para
mujtahid dalam aktivitas ijtihadnya. Beliau menegaskan bahwa kegiatan ijtihad
tak akan pernah dilakukan oleh para mujtahid kecuali dengan adanya tujuan penetapan
hukum, sedangkan penetapan hukum tak
akan pernah ada kecuali dengan adanya
dalil yang dijadikan pijakan[1].
Hal itu terbukti bahwa
tak satupun hukum yang telah ditelurkan masing-masing mereka terbangun secara
asal-asalan atau tanpa dalil (baca ; al-qaul bil-tasyahhi), sekalipun
kekuatan dalil yang dijadikan pijakan oleh masing-masing mereka berbeda-berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Ada yang kuat dan ada yang lemah. Namun yang
jelas, mereka terlepas dari tindakan asal-asalan atau menetapkan hukum tanpa
dalil.
Kemudian ketika kita
melacak dalil yang dijadikan pijakan penetapan hukum oleh mereka, maka kita
akan menemukan bahwa dalil itu terklasifikasi menjadi dua dimensi. Yaitu dimensi dalil yang sudah disepakati (al-muttafaq
alaih) yaitu ; al-Kitab, al-Sunnah, Ijma' dan Qiyas dan dimensi dalil yang
masih diperselihkan (al-mukhtalaf fiihi) untuk dijadikan pijakan
penetapan hukum[2].
Dan diantara dalil yang dikategorikan pada dimensi kedua adalah Istihsan
yang menjadi tema kajian analisis penulis pada kesempatan kali ini.
Istihsan tergolong
sebagai dalil yang masih diperselisihkan karena faktanya tidak semua madzhab
menjadikannya dalil sebagai pijakan penetapan hukum. Hanya ada tiga madzhab
diantara empat madzhab yang tersebar di dunia saat ini yang melegalkan istihsan
sebagai dalil dalam penetapan hukum, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali,
sedangkan madzhab Syafi'i berbeda dengan ketiga madzhab tersebut yaitu berdiri
di atas garis penolak Istihsan.[3]
Abdul Aziz al-Bukhori
al-Hanafi dalam bukunya Kasyful Asraar Syarh Usul Bazdawy, memaparkan
bahwa sekelompok penolak Istihsan menyangsikan Abu Hanifah dan kawan-kawannya
yang telah melegalkan Istihsan sebagai dalil hukum. Mereka menyatakan
bahwa dalil yang dilegalkan untuk penetapan hukum hanyalah al-kitab,
al-sunnah, ijma' dan qiyas sedangkan Istihsan adalah dalil kelima
yang sama sekali tidak dilegalkan dan merupakan pernyataan secara asal-asalan.
Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa Imam Syafi'i sangat menolak eksistensi Istihsan
dengan menyatakan bahwa siapapun yang mengambil Istihsan sebagai dalil
pijakan dalam penetapan hukum maka sungguh ia sudah melakukan kesalahan berupa
menetapkan hukum tanpa dalil dan berdasarkan nafsu.[4]
II. Definisi Istihsan
Sebelum melangkah lebih
jauh penulis perlu memaparkan definisi Istihsan baik secara bahasa atau secara
istilah sebagai berikut ; Istihsan secara bahasa adalah menganggap dan meyakini
baik sesuatu. Adapun definisi istihsan secara istilah ushuliyyin sebagaimana
berikut :
Definisi Istihsan menurut
al-Ghazali al-Syafi'i adalah sesuatu yang menurut akal mujtahid dianggap baik.[5]
As-Syatiby al-Maliki mendefinisikan Istihsan adalah mendahulukan maslahah
juz'iyyah (partikular) dihadapan dalil kully (universal).[6]
Menurut al-Kharkhy
al-Hanafi adalah menetapkan hukum yang berbeda dari yang semestinya karena
adanya unsur lain yang lebih kuat.[7] Sedangkan
menurut Ibnu Qudamah al-Hanbali Istihsan diartikan sebagai menetapkan hukum
yang berbeda dari yang semestinya karena adanya dalil khusus baik dari al-Quran
atau al-Sunnah.[8]
Definisi kelima
dikemukan oleh pendahulu madzhab hanafi, yaitu pindah dari tuntutan qiyas yang
lemah ke tuntutan qiyas yang lebih kuat.[9] Definisi
selanjutnya juga dikemukakan oleh pendahulu hanafiyah yaitu dalil yang
tersembunyi dalam diri mujtahid yang tidak mungkin untuk diungkapkan.[10]