Dualisme antara universalitas teks dan historisitasnya dalam Ushul Fiqh ternyata telah menjadi pembahasan klasik ulama Salaf. Namun, pada perbedaan pendapat antar mereka, masih memungkinkan untuk mempertemukannya -dalam beberapa permasalahan furu'iyyah- pada kesepakatan universalitas teks mencakup kasus lain yang serupa dengan background histories-nya (sabab al-nuzul). Begitu pula mengenai perbedaan pendapat dalam khithab "ya ayyuhan nas", hanyalah khilaf lafdzi yang berujung pada konsensus ulama, bahwa Syari'at Islam mencakup pula terhadap umat setelah masa kenabian sampai hari akhir nanti; Alyauma akmaltu lakum dînakum wa atmamtu 'alaikum ni'matî wa rodlîtu lakumul Islâma dînâ.
Ushul Fiqh sebenarnya tidak pernah menutup pintu ijtihad sampai kapan pun, bahkan menunjukkan peta jalan bagi calon mujtahidin yang memang benar-benar berusaha untuk menguasai bidang Fiqh. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Sayyid Muhammad bin Bashri al-Seggaff, bahwa Fuqaha' adalah pewaris amanat risalah dengan kemampuan mereka berijtihad, menjelaskan hukum Syariat, yang sebenarnya adalah tugas Rasulallah saw. Terilhami keistimewaan inilah, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah (751 H) menamakan kitabnya dengan nama "I'lamul Muwaqqi'in 'an Robbil 'Alamin", yang berarti "Informasi orang-orang yang bertanda tangan atas nama Tuhan semesta alam". Oleh karenanya, sangatlah tidak layak meletakkan teks agama kita pada metodologi yang jauh dari petunjuk Syariat.
Dalam Ushul Fiqh, telah kita pelajari bahwa semua dalil hukum, baik yang muttafaq 'alaih ataupun yang mukhtalaf fih, telah lebih dahulu dibahas tentang kelayakan hujjiyah-nya sebagai dalil hukum Syariat. Maka sudah seharusnya yang mesti dilakukan para pemikir liberal, jika tetap ingin menggunakan konsep mereka, terlebih dahulu menguji kelayakan konsep mereka dengan standar uji dalil yang telah muttafaq 'alaih. Dan pada akhirnya, tetap jelas konsep mereka tidaklah sesuai dengan dalil Syar'i yang lain, terutama ijma'.
Adapun opini miring tentang kejumudan Fiqh karena sempitnya ruang gerak dalam Ushul Fiqh, penulis kira hanyalah sikap "putus asa" akan keterbelakangan peradaban (kalimat dalam tanda petik bisa kita diskusikan bersama). Sebelumnya, telah banyak tuduhan palsu atas Syariat Islam, bahkan banyak orientalis menuduh Fiqh yang pernah jaya pada masa keemasan Islam dahulu, adalah produk hukum yang diserap dari peradaban Romawi. Padahal semua itu adalah produk orisinil dari metodologi Ushul Fiqh yang pada prinsipnya diambil dari semantik gramatikal Arab untuk memahami bahasa teks al-Quran dan al-Hadits, mencakup pula beberapa konsep dalil yang terkelompokkan pada dalalah ma'nawiyah, seperti ijma', qiyas, maslahah mursalah, istihsan, dsb.
Bagaimanapun, aktivitas Fiqh tidak boleh berhenti dan memang tidak pernah berhenti. Banyak ijtihad kolektif yang ditawarkan[12], banyak musyawarah bahtsul masail yang digalakkan, dan banyak fatwa-fatwa ulama yang faqih dibukukan, tanpa melupakan dan tetap menghargai perbedaan pendapat antar ulama yang pada hakikatnya merupakan rahmat bagi kita dalam permasalahan furu'iyyah. Namun, jangan harap kesemuanya akan melegalkan atau menghalalkan segala aktivitas peradaban globalisasi, karena yang halal itu jelas dan yang haram juga sudah jelas!
Wallau a'lam.
Oleh; Achmad Zuhairuzzaman*)
___________________________________
[1]. Ushulul Fiqh, Vol: II, Hal: 352-353, DR. Muhammad Abun Nur Zuhair (1407 H./1987 M.), Darul Bashair.
[2]. Namun, yang lebih mu'tamad adalah adanya suatu lafadz yang ketika diucapkan maka bisa difaham kandungan maknanya oleh orang yang mengerti tentang peletakan dasar bahasa. Ushulul Fiqh, DR. Muhammad Abun Nur Zuhair, Vol: II, Hal: 8, Darul Bashair.
[3]. Nuansa Fiqh Sosial, sub tema "Ijtihad Sebagai Kebutuhan", KH. M. A. Sahal Mahfudh.
[4]. Al-Ghoitsul Hami' komentar Jam'ul Jawami', Vol: II, Hal: 398, Abu Zar'ah Ahmad al-'Iroqy (826 H.), cet: al-Faruq al-Haditsah. Lihat juga Ghoyatul Wushul komentar Lubbul Ushul, Hal: 270, Abu Yahya Zakariyya al-Anshary (926 H.) Dinatama Surabaya.
[5]. Al-Ghoitsul Hami' komentar Jam'ul Jawami', Vol: II, Hal: 396. dan Ushulul Fiqh, Vol: II, Hal:352, Darul Bashair. Namun, pendapat masyhur kalangan Malikiyah adalah kaidah yang pertama, lihat Amali al-Dalalat wa Majali al-Ikhtilafat, Hal: 253, Abdullah bin Bayyah, Dar al-Minhaj.
[6]. Ushulul Fiqh, Vol: II, Hal:353, Darul Bashair.
[7]. Amali al-Dalalat wa Majali al-Ikhtilafat, Hal: 255, Abdullah bin Bayyah, Dar al-Minhaj.
[8]. Jurnal Nuansa edisi XVII, Maret 2010, wawancara DR. Hasan Hanafi, Reaktualisasi Metode Pembacaan Turats, Hal: 52, Lakspesdam NU Mesir.
[9]. Ushulul Fiqh, Vol: I, Hal: 23, Mukaddimah dari DR. Muhammad Salim Abu 'Ashi (1407 H./1987 M.), Darul Bashair.
[10]. Al-Ghoitsul Hami' komentar Jam'ul Jawami', Vol: II, Hal: 351. Dalam kitab Taysir al-Tahrir komentar kitab al-Tahrir, bahwa sebenarnya universalitas tersebut sudah bagian ma'lum min al-Din bi al-dlorurah. Taysir al-Tahrir komentar kitab al-Tahrir, Vol: I, Hal: 256, Muhammad Amin Amir Badsyah al-Husaini al-Hanafi, Dar al-Kutub al-Ilmiah.
[11]. Lebih jelasnya, lihat Dlowabith al-Mashlahah, DR. M. Said Romdlon al-Buthi, Hal: 152-175, Dar al-Fikr.
[12]. Mengenai aktivitas Fiqh kontemporer, bisa kita baca penjelasan Syaikh Abdullah bin Bayyah dalam Amali al-Dalalat wa Majali al-Ikhtilafat, Hal: 317 dan mengenai aktivitas ijtihad kolektif pada hal: 659-671, Dar al-Minhaj.
*) Penulis adalah mahasiswa tingkat IV fakultas Syariah, Universitas al-Ahgaff; Tarim-Hadhramaut-Yaman.