Prolog
Islam
adalah penutup semua agama samawi, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah
melalui risalah Nabi Muhammad untuk rahmatan lil alamin. Oleh karena
itu, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi
dan komperhensif. Hal itu
dibuktikan dengan adanya
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum
dalam Islam yang
membuatnya dapat memberikan
jawaban terhadap probelematika manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan
perkembangan zaman.
Secara
kongkrit hal itu
ditunjukkan dengan adanya
dua hal penting
dalam hukum Islam: (1) teks-teks suci yang menetapkan hukum-hukum yang
tak akan berubah sepanjang
zaman dan (2)
terbukanya pitu ijtihad bagi para mujtahid dalam hal-hal yang
tidak dijelaskan secara sharih
dalam teks-teks suci
tersebut. Jika kita
berbicara tentang ijtihad, maka
sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang
tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih –ilmu yang
“mengatur” proses ijtihad- dikenal beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada
penggunaan kemampuan ra’yu
para Fuqaha. Salah satunya adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan dalam tulisan
ini.
Munculnya
terma ijtihad dalam arti teknis, dalam tinjauan hisroris, biasanya merujuk
pada kasus Sahabat Mu’az ibn
Jabal yang diutus oleh
Rasul untuk mengemban tugas kehakiman di Negeri Yaman.[1]
Riwayat ini, seringkali dijadikan sebagai justifikasi
terhadap cikal bakal munculnya ijtihad
pada masa Rasul. “Rekomendasi” Rasulullah dalam hal ini, pada periode berikutnya, ternyata memberikan
pengaruh yang besar terhadap tradisi penggunaan
penalaran logika (ra’yu) dalam menangkap makna teks.
Sehingga
pada gilirannya, bermunculan nama-nama seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali,
Ibn Abbas, Ibn
Mas’ud, Ubay ibn Ka’ab, Zaid ibn Sabit, Abu Musa
al-Asy’ary dan Muaz ibn Jabal[2]
sendiri, yang menggunakan penalaran logika ketika menghadapi
persoalan-persoalan yang belum diperoleh jawabannya dalam al-Quran dan
Sunnah.
Menurut
Ali as-Sais,[3]
ijtihad (ra’y) sahabat mmengandung
arti yang sangat
luas (bi ma’nahu
al-wasi’), yakni tidak hanya terbatas pada bentuk yang pada masa
berikutnya dipahami sebagai qiyas,
istihsan, dan maslahah,
namun juga mencakup sad
azzara’i, ‘urf dan istishab.
Kata ra’yu dalam konteks
ini, dipahami sebagai suatu
produk penalaran (al-qalb) pasca pemikiran
yang dalam, mencermati (ta’ammul) serta melakukan pencarian (thalab)
terhadap kebenaran dari berbagai dalil teks suci yang tampak seperti
bertentangan.
Dalam
tulisan ini, penulis akan menelusuri akar sejarah istishab, sebagai salah satu
produk ra’y, diawali
dari masa Rasul,
sahabat sampai pada masa
Syaukani, yang dimulai
dengan penjelasan tentang definisi istishab itu sendiri.
Definisi Istishab
Secara
bahasa istishhab adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan
sesuatu.[4]
Jika
seseorang mengatakan: استحبت
الكتاب في سفري maka itu artinya: aku membuat buku itu
ikut serta bersamaku dalam perjalananku. Istishab
adalah kata kerja enam
huruf (fi’l sulasi mazid
bi salasati ahruf)
dari kata istashaba, yastashibu, istishaban dengan wazan istaf’ala, yastaf’ilu, istif’alan. Bentuk sulatsi
mujaradnya adalah sahaba,
yashabu, suhbatan yang berarti menemani, berkawan dengan, menjadikan kawan.[5] Istashaba
sendiri dimaknakan dengan bersikap ramah pada, lemah lembut terhadap.[6]
Ungkapan
istashaba ar-rajul
berarti mengajak seseorang kepada persahabatan.
Dari sini, selanjutnya dapat dikatakan bahwa apa
saja yang menemani
sesuatu disebut istishab.
Hal ini kemudian diperjelas oleh al-Isfahani bahwa setiap yang menemani
sesuatu, baik ia manusia, hewan, tempat maupun waktu dinamakan istishab.[7]
Dalam
hal ini tidak ada perbedaan antara menemani dengan badan (fisik), dengan
pertolongan atau menemani dengan tujuan.[8] Kata
s-h-b dan segala bentuk derivasinya disebutkan
sebanyak sembilan kali
dalam sembilan puluh delapan
ayat.[9]
Kata yushabun[10]
diterjemahkan oleh atThabari
(w.310H) dengan yunsarun, yuhfazun dan yujarun.[11]
Sedangkan dalam hadis-hadis
Rasulullah, kata s-h-b dan berbagai bentuk derivasinya
juga sangat banyak
ditemukan. Diantaranya dalam teks hadits, “allahumma ishabna fi safarina…”[12]Ishab
dalam hadis ini bermakna menjaga, memelihara atau melindungi.
Adapun
dalam terminologi Ushul Fiqih, -sebagaimana umumnya istilah-istilah yang
digunakan dalam disiplin
ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh
para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah:
Imam
al-Ghazali mendefinisikan istishab dengan, berpegang pada dalil akal
atau syara’, bukan karena tidak mengetahui
adanya dalil, melainkan
setelah dilakukan pembahasan atau
penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang
mengubahnya.[13]
Definisi
Iman al-Isnawy yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan
(keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar
bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang
mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).”[14]
Menurut
Muhammad Ubaidillah al-As’adi, istishaba
dalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan dalil yang telah ada
sebelumnya, dan dipandang tetap berlaku sampai adanya dalil lain yang mengubahnya.[15]
Sementara
al-Qarafy (w. 486H) –seorang ulama Malikiyah– mendefinisikan istishhab
sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu
berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”[16]
Definisi ini menunjukkan
bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu
perkara –baik itu berupa hukum ataupun
benda– di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan
atau berlaku sebelumnya.
Seperti
ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini
–entah itu melalui
proses jual-beli atau
pewarisan–, maka selama kita
tidak menemukan ada
dalil atau bukti
yang mengubah kepemilikan tersebut,
kita tetap berkeyakinan
dan menetapkan bahwa si
A-lah pemilik rumah
atau mobil tersebut
hingga sekarang atau nanti.
Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan
hukum di masa
sebelumnya hingga ke masa kini
atau nanti.[17]
[1] Lihat Ahmad ibn
Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Islamiyah, 1993), vol.IV, hlm.
252.
[2] Muhammad Ali as-Sais, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa
Athwarih,(Ttp: Mujma’ al-Buhus al-Islamiyah, 1970), hlm. 36-75.
[3]Ibid, hlm. 37.
[4] Lihat Lisan
al-Arab, term sha-hi-ba
[5] Ahmad Warson Munawwir,
Kamus al-Munawwir,
(Yokyakarta: Pondok Pesantren
al-Munawwir Krapyak, 1984), hlm. 816
[6] Ibid, hlm. 817.
[7] Ibn Manzur, Lisan
al-Arab, (Mesir:
Dar al-Misriyah, tt.), Juz II, hlm. 8.
[8] Ar-Raghib al-Isfahani, Mu’jam Mufradat al-Alfaz al-Quran,(Beirut:
Dar al-Fikr, tt.), hlm. 282.
[9] Muhammad Fuad
Abdul Baqi, al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfaz
al-Quran alKarim, (Indonesia:
Maktabah Dahlan, tt.), hlm. 509-511.
[10] QS. al-Anbiya : 43
[11] Muhammad Ibn Jarir at-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil
al-Quran, (Mesir, Musthafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh, 1968), juz XV,
hlm. 30-31.
[12] Ahmad Ibn Hanbal,
ohlm.cit., vol. V, hlm. 83
[13] Abu Hamid
al-Ghazali, al-Mustashfa Fi Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar
al-Kutub alIlmiyah, 1993), hlm. 159.
[14] Abdurrahim
al-Isnawy, Nihayah
al-Sul syarh minhaju al-wushul, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999) jilid. 3, hlm. 131.
[15] Muhammad Ubaidillah
al-As’adi, al-Mujiz Fi
Ushul al-Fiqh, (Dar asSalam, 1990), hlm. 251
[16] Abu
al-Abbas Ahmad ibn Idris al-Qarafy, Syarh Tanqih al-Fushul, (Al-Faniyah
al-Muttahidah, cet. 1, 1973), hlm. 199.
[17] Ushul al-Fiqh
al-Muyassar, 2/103-104