III. Argumen Pengusung Istihsan
1. Al-Qur'an
Firman Allah Azza Wajalla : الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه (الزمر: 18)
Ayat ini menurut mereka
menyanjung seseorang yang mengikuti perkataan terbaik. Al-Syarakhsy menegaskan
bahwa seluruh isi al-Quran adalah baik dan kemudian diperintahkan untuk
mengikuti yang terbaik.
Firman Allah Azza Wajalla : واتبعوا أحسن ما أنزل إليكم من ربكم ( الزمر 55)
Ayat ini menurut mereka menyuruh untuk mengikuti hal
terbaik dari sesuatu yang diturunkan. Maka dari itu ayat ini menunjukkan dan
memerintahkan untuk meninggalkan sebagian sesuatu dan mengikuti sebagian yang
lainnya yang lebih baik. dan inilah
makna Istihsan menurut mereka.
2. Al-Hadits
Sabda nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam: ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Mereka mengatakan bahwa sesuatu yang dipandang baik
oleh manusia secara kebiasaan dan akalnya maka hal itu hakekatnya benar. Karena menurut mereka setiap sesuatu yang tidak
benar dan tidak baik juga tidak benar dan tidak baik menurut Allah Subhanahu
Wataala. Dan sesuatu yang benar dan baik menurut allah adalah merupakan hujjah.
3. Ijma'
Yaitu mereka ummat manusia sudah
menganggap baik masuk jeding (baca ; toilet) yang disewakan dengan tanpa
menentukan kadar uang sewa, air dan
waktu berdiam didalamya.
IV. Argumen As-Syafii sebagai Penolak Istihsan
Pertama, beliau menegaskan bahwa Allah
Swt. tidak membiarkan manusia dalam keadaan sia-sia dalam hidup ini akan tetapi
Allah Swt. sudah membatasi mereka dengan perintah dan larangan yang sudah
termaktub dalam kitab-Nya ataupun dalam
perkataan dan tindakan Nabi Muhammad Saw. baik secara langsung atupun tidak langsung. Dan barang siapa yang melegalkan Istihsan
berarti membiarkan dirinya dalam kesia-kesiaan yang sudah sangat jelas berbeda
dengan pernyataan dan qodrat Allah Swt.
Kedua, beliau mengatakan bahwa tidak
boleh menetapkan hukum dengan selain al-quran, hadits, ijma' dan qiyas. Barang
siapa yang melegalkan Istihsan sebagai pijakan hukum berarti dia tidak berpijak
pada keempat hal tersebut.
Ketiga, beliau berdalih bahwa
para sahabat tidak pernah mendasari hukum mereka dengan Istihsan. Akan tetapi
mereka kembali kepada al-qur'an, hadits dan qiyas.
Keempat, beliau berdalih
seandainya boleh bagi para mujtahid mengambil sesuatu yang dianggap baik oleh
akalnya ( yang di dalamya tidak terdiri dari hadits) sebagai dasar hukum maka
niscaya orang awam yang bukan mujtahid boleh melakukan hal demikian. Dan hal
ini tidak ada satupun yang melegalkannya. [1]
V. Klasifikasi Istihsan
Istihsan
dalam mainstream pengusungnya terklasifikasi menjadi beberapa bagian sebagai
berikut :
a. Istihsan dengan Atsar
(hadits)
Istihsan
bil Atsar adalah
pindah dari keharusan qiyas menuju keharusan atsar atau hadits. Contohnya
adalah dibolehkannya transaksi salam. Keharusan qiyas tidak
memperbolehkan jenis transaksi ini. Pasalnya, jenis transaksi ini terdiri dari
barang yang tidak diketahui alias tidak ada. Tapi ada hadits yang melegalkan
untuk memperbolehkan transaksi jenis ini, yaitu "barang siapa yang
melakukan transaksi salam maka hendaknya ia memperhatikan ukuran dan
batasan-batasannya".
b. Istihsan dengan Dhorurah
Istihsan dengan dhorurah adalah
berpindah dari keharusan qiyas kepada keharusan dharurah. Contohnya
adalah tetapnya kondisi kesucian kolam,
sumur dan bejana setelah bersentuhan dengan sesuatu yang menajiskan. Keharusan
qiyas menetapkan sebalikya karena tidak memungkinkan untuk menuangkan air ke
dalam tiga hal tersebut untuk mensucikannya dan karena timba yang diulurkan
akan menjadi najis ketika menyentuh air yang berada dalam ketiga hal tersebut.
Namun keharusan qiyas dimaksud ditinggalkan karena faktor dharurah, yaitu tidak
memungkinnya untuk dibasuh dan disucikan.
c. Istihsan dengan Ijma'
Istihsan
bil ijma' adalah berpindah dari keharusan qiyas menuju kepada
keharusan ijma'. Contohnya adalah bolehnya transaksi Istishna' ( meminta
dibuatkan sesuatu kepada orang lain ). Misalnya meminta dibuatkan sepatu dengan
spesifikasi dan ukuran yang sudah ditentukan dan tanpa menyebutkan waktu
penyerahan. Keharusan qiyas tidak melegalkan transaksi dimaksud karena terdiri
dari transaksi fiktif yang barangnya tidak ada. Namun keharusan qiyas dimaksud
ditolak oleh ijma' yang ditetapkan oleh kebiasaan masyarakat yang sudah melekat
dan tak satupun yang membedai.
d. Istihsan dengan Qiyas Khofi (samar)
Istihsan dengan qiyas khofi (samar) adalah berpindah dari keharusan qiyas yang atsarnya
lemah kepada qiyas yang atsarnya lebih kuat. Contohnya adalah tetapnya kondisi
kesucian sisa air dalam bejana yang telah diminum burung buas sepeti elang dan
sebagainya. Keharusan qiyas pertama adalah najisnya air tersebut karena daging burung buas adalah haram dimakan dan
najis. Namun keharusan qiyas kedua tetap melegalkan kesucian air dalam bejana
dimaksud karena burung dimaksud meminum dengan paruh bukan dengan lidahnya
sedangkan paruh adalah suci karena ia
kering[2].
e. Istihsan dengan Ur'f ( kebiasaan)
Istihsan dengan ’urf
(kebiasaan) adalah berpindah dari keharusan qiyas menuju kepada keharusan
kebiasaan yang berlaku dimasyarakat. Contohnya adalah ketika seseorang
bersumpah untuk tidak makan sesuatu yang dimasak maka ia dianggap melanggar
sumpah jika ia memakan daging yang dimasak bukan yang lainnya. Karena faktor
kebiasaan yang berlaku dimasyarakat.[3]