Menyibak Tabir Kontroversi antara Pengusung dan Penolak Istihsan (Telaah-Analisis Konsep Istihsan sebagai Dalil Syariat) (Part 3)

VI. Membidik Poros Kontroversi
Dari berbagai definisi dan klasifikasi Istihsan diatas, Dr. Musthafa Dib Bugha dalam bukunya Atsaru al-Adillah al-Mukhtalaf Fiiha Fil Fiqh al-Islami, mencoba menelisik poros kontroversi antara pengusung dan penolak istihsan, kemudian beliau menangkap bahwa poros perbedaan diantara mereka adalah terletak pada definisi yang dipaparkan oleh al-Ghazali dan pada definisi terakhir. Namun setelah beliau menelisik lebih dalam lagi tentang makna Istihsan dari beberapa pernyataan pakar ushul, ternyata kedua definisi tersebut tidaklah tepat untuk dijadikan poros kontroversi. Pasalnya, karena kontroversi diantara mereka hanyalah terletak pada sisi lafadz saja (khilaf lafdzi), tidaklah lebih dari itu[1].

Thoha al-Syaih juga menegaskan dalam komentarnya terhadap al-Mustashfa, bahwa perbedaan diantara mereka tidaklah menyentuh esensi dan makna Istihsan itu sendiri. Perbedaan diantara mereka hanyalah berkutat pada sisi bentuk pemakaian bahasa saja. Pasalnya, menurut beliau para penolak Istihsan khususnya Imam al-Syafi'i hanya mengingkari penamaan dan makna batil yang tidak ditemukan dan diaplikasikan oleh pihak pengusung. Mereka, para penolak, tidak memungkiri  makna Istihsan yang benar yaitu yang bertendensi pada pemindahan dalil ke dalil yang lebih kuat. Adapun definisi al-Ghazali tentang Istihsan menurut beliau semuanya sudah sepakat bahwa Istihsan dengan definisi demikian tidaklah dibenarkan dan batil. [2]
Buku usul fikih yang disusun oleh KH. Rusydan Anwar, Dr. Andus Haris Mu'nis dan Ahmad Rusydi Asyrafi, Lc yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia sebagai panduan mata pelajaran usul fikih untuk kelas dua Aliyah juga ikut andil untuk menegaskan bahwa perbedaan diantara mereka juga hanya berkelit-kelindan diantara penggunaan bahasa dan lafadz saja dan tidak menyentuh pada makna dan esensinya. Buku itu berargumen, bahwa jika yang dimaksud Istihsan adalah mengatakan secara asal-asalan dan tanpa dalil maka maksud yang demikian adalah batal dan tidak ada satupun yang melegalkannya. Dan jika yang dimaksud adalah pindah dari dalil ke dalil yang lebih kuat maka semuanya telah sepakat dan menerima.[3]
Abu al-Mudzoffar Mansur bin Muhammad al-Sam'ani juga memberikan suguhan menarik kepada kita tentang poros kontroversi antara para pengusung Istihsan dan penolaknya dalam bukunya Qowathi'u al-Adhillah fi Ushulil Fiqh. Beliau menegaskan bahwa poros kontroversi antara mereka terletak pada sisi penamaan saja, dan tidak menyentuh esensinya. Beliau berlandaskan bahwa streotipe sebagian kalangan penolak Istihsan terhadap kelompok pengusung ternyata tidak ditemukan di dalam kompilasi hukum yang telah ditetapkan dengan Istihsan. Kemudian beliau melanjutkan, bahwa Istihsan yang dijadikan pegangan oleh mereka merupakan dalil yang sejatinya oleh para penolakpun juga disepakati eksistensinya dalam term ushul, yaitu berpindah dari dalil ke dalil lain yang lebih kuat.[4]

Dr. Said Ramadhan al-Buthy juga ikut andil memberikan respon positif terhadap beberapa pernyataan diatas di akhir pembahasannya tentang Istihsan dalam bukunya Dhowabith al-Maslahah fi al-Syariah Islamiyah. Beliau menegaskan bahwa Istihsan pada hakekatnya kembali kepada salah satu beberapa dalil yang sudah disepakati. Akan tetapi menurut beliau, meskipun hakekatnya demikian tidak mengharuskan hukum yang didasari dengan Istihsan juga ikut tersepakati. Beliau berlandaskan bahwa sesungguhnya mengambil hukum dari dalil yang secara global sudah tersepakati dilalui dengan ijtihad yang menjadi sumber dari berbagai perbedaan dalam berbagai tempat dan waktu. Dalam menutup pembahasannya tentang Istihsan, Al-Buthy memberikan interpretasi dan penjelasan dari maksud pernyataan Imam Syafi’i "من استحسن فقد شرع", yaitu Istihsan yang hanya didasarkan kepada akal dan nafsu belaka yang tentunya sudah disepakati kebatilannya oleh mujtahid manapun.[5]      

VII. Kesimpulan
Dari berbagai hipotesa dan pemaparan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kita tidak menemukan hal-hal yang mengarah bahwa para pengusung istihsan khususya Abu Hanifah telah melakukan pelanggaran dengan mendasari hukum secara asal-asalan dan tanpa dalil ( baca : al-qaul bil-tasyahhi wa min ghair dalil ). Kita juga dapat mengintai bahwa pihak penolak pun pada hakekatnya juga melegalkan Istihsan sebagai pijakan penetapan hukum, sekalipun mereka tidak meng-iya-kan penamaannya sebagai dalil independen. Pasalnya, para penolak Istihsan juga sepakat untuk mendahulukan dalil yang lebih kuat dalam penetapan hukum. ‘Ala kulli hal, tabir kontroversi antara mereka hanyalah terletak pada penamaan dan pelafalan bukan pada esensi dan maknanya. Wallahu a'lam bil- showab.

Oleh: Mohammad Hafidz Anshory *)

 سثلاtihsan sungrut n menurut i هlak eksistensi i oleh pencetus madzhab sendiri sangat men* Penulis adalah mahasiswa semester delapan (tingkat empat) Fakultas Syariah, Universitas Al-Ahgaff, Tarim-Hadramaut, Yaman, asal Pamekasan, Madura.



[1] Dr. Musthafa Dib Bugha, Atsaru al-Adillah al-Mukhtalaf Fiiha Fil Fiqh al-Islami, Hal. 129
[2] Al-Ghazali, Al-Mustashfa min Ilm al-Ushul, hal. 320
[3]  Tim Penulis Kementerian Agama, Materi Usul Fikih kelas 2 Madrasah Aliyah, hal. 3  
[4]  Abu Mudzoffar al-Sam'ani, Qowathi'u al-Adhillah fi Ushulil Fiqh, juz 4, hal. 520
[5]  Al-Buthy, Dhowabith al-Maslahah fi al-Syariah al-Islamiyah, hal. 257-258

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »