VI. Membidik Poros Kontroversi
Dari
berbagai definisi dan klasifikasi Istihsan diatas, Dr. Musthafa Dib Bugha dalam
bukunya Atsaru al-Adillah al-Mukhtalaf
Fiiha Fil Fiqh al-Islami, mencoba menelisik poros kontroversi antara pengusung
dan penolak istihsan, kemudian beliau menangkap bahwa poros perbedaan diantara
mereka adalah terletak pada definisi yang dipaparkan oleh al-Ghazali dan pada
definisi terakhir. Namun setelah beliau menelisik lebih dalam lagi tentang
makna Istihsan dari beberapa pernyataan pakar ushul, ternyata kedua definisi tersebut
tidaklah tepat untuk dijadikan poros kontroversi. Pasalnya, karena kontroversi
diantara mereka hanyalah terletak pada sisi lafadz saja (khilaf lafdzi),
tidaklah lebih dari itu[1].
Thoha
al-Syaih juga menegaskan dalam komentarnya terhadap al-Mustashfa, bahwa
perbedaan diantara mereka tidaklah menyentuh esensi dan makna Istihsan itu
sendiri. Perbedaan diantara mereka hanyalah berkutat pada sisi bentuk pemakaian
bahasa saja. Pasalnya, menurut beliau para penolak Istihsan khususnya Imam
al-Syafi'i hanya mengingkari penamaan dan makna batil yang tidak ditemukan dan
diaplikasikan oleh pihak pengusung. Mereka, para penolak, tidak memungkiri makna Istihsan yang benar yaitu yang
bertendensi pada pemindahan dalil ke dalil yang lebih kuat. Adapun definisi
al-Ghazali tentang Istihsan menurut beliau semuanya sudah sepakat bahwa Istihsan
dengan definisi demikian tidaklah dibenarkan dan batil. [2]
Buku
usul fikih yang disusun oleh KH. Rusydan Anwar, Dr. Andus Haris Mu'nis dan
Ahmad Rusydi Asyrafi, Lc yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia
sebagai panduan mata pelajaran usul fikih untuk kelas dua Aliyah juga ikut
andil untuk menegaskan bahwa perbedaan diantara mereka juga hanya berkelit-kelindan
diantara penggunaan bahasa dan lafadz saja dan tidak menyentuh pada makna dan
esensinya. Buku itu berargumen, bahwa jika yang dimaksud Istihsan adalah
mengatakan secara asal-asalan dan tanpa dalil maka maksud yang demikian adalah
batal dan tidak ada satupun yang melegalkannya. Dan jika yang dimaksud adalah
pindah dari dalil ke dalil yang lebih kuat maka semuanya telah sepakat dan
menerima.[3]
Abu
al-Mudzoffar Mansur bin Muhammad al-Sam'ani juga memberikan suguhan menarik
kepada kita tentang poros kontroversi antara para pengusung Istihsan dan penolaknya
dalam bukunya Qowathi'u al-Adhillah fi Ushulil Fiqh. Beliau menegaskan
bahwa poros kontroversi antara mereka terletak pada sisi penamaan saja, dan tidak
menyentuh esensinya. Beliau berlandaskan bahwa streotipe sebagian
kalangan penolak Istihsan terhadap kelompok pengusung ternyata tidak ditemukan
di dalam kompilasi hukum yang telah ditetapkan dengan Istihsan. Kemudian beliau
melanjutkan, bahwa Istihsan yang dijadikan pegangan oleh mereka merupakan dalil
yang sejatinya oleh para penolakpun juga disepakati eksistensinya dalam term
ushul, yaitu berpindah dari dalil ke dalil lain yang lebih kuat.[4]
Dr.
Said Ramadhan al-Buthy juga ikut andil memberikan respon positif terhadap
beberapa pernyataan diatas di akhir pembahasannya tentang Istihsan dalam
bukunya Dhowabith al-Maslahah fi al-Syariah Islamiyah. Beliau menegaskan
bahwa Istihsan pada hakekatnya kembali kepada salah satu beberapa dalil yang
sudah disepakati. Akan tetapi menurut beliau, meskipun hakekatnya demikian
tidak mengharuskan hukum yang didasari dengan Istihsan juga ikut tersepakati.
Beliau berlandaskan bahwa sesungguhnya mengambil hukum dari dalil yang secara
global sudah tersepakati dilalui dengan ijtihad yang menjadi sumber dari
berbagai perbedaan dalam berbagai tempat dan waktu. Dalam menutup pembahasannya
tentang Istihsan, Al-Buthy memberikan interpretasi dan penjelasan dari maksud
pernyataan Imam Syafi’i "من استحسن فقد شرع", yaitu
Istihsan yang hanya didasarkan kepada akal dan nafsu belaka yang tentunya sudah
disepakati kebatilannya oleh mujtahid manapun.[5]
VII. Kesimpulan
Dari
berbagai hipotesa dan pemaparan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kita
tidak menemukan hal-hal yang mengarah bahwa para pengusung istihsan khususya Abu
Hanifah telah melakukan pelanggaran dengan mendasari hukum secara asal-asalan
dan tanpa dalil ( baca : al-qaul bil-tasyahhi wa min ghair dalil ). Kita
juga dapat mengintai bahwa pihak penolak pun pada hakekatnya juga melegalkan Istihsan
sebagai pijakan penetapan hukum, sekalipun mereka tidak meng-iya-kan
penamaannya sebagai dalil independen. Pasalnya, para penolak Istihsan juga
sepakat untuk mendahulukan dalil yang lebih kuat dalam penetapan hukum. ‘Ala
kulli hal, tabir kontroversi antara mereka hanyalah terletak pada penamaan
dan pelafalan bukan pada esensi dan maknanya. Wallahu a'lam bil- showab.
Oleh: Mohammad Hafidz Anshory *)