"Sesungguhnya maslahah dalam syariah Islam dari
segala sisinya memiliki batas-batas pasti yang tidak meninggalkan sedikitpun
kesulitan dalam memahaminya. Tersusun secara rapi yang tidak memungkinkan
terjadi kontradiksi di antara bagian-bagiannya, serta terbangun di atas dasar
yang sangat kuat dan menancap dalam hati setiap mukmin yang sesungguhnya, yaitu
sifat penghambaan diri kepada Allah, sebuah prinsip yang terbangun dari firman
Allah: "Katakanlah, sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku
adalak milik Allah tuhan semesta alam.""
Dr. Muhammad Said Ramadlan al-Buthy
I.
Pendahuluan
Maslahah, apakah ia merupakan dalil mandiri ataukah tidak, sangatlah ramai
diperbincangkan dalam diskursus-diskursus intelektual, baik di Indonesia
ataupun di negara Islam lainnya. Sebagian kalangan menilai bahwa maslahah
adalah dalil mandiri, bahkan menjadi prioritas utama dalam pencetusan sebuah hukum.
Dalam arti, ketika terjadi pertentangan antara maslahah dengan bunyi harfiah
teks maka maslahah yang harus dikedepankan. Pandangan semacam ini, meski juga
dapat kita temukan dalam turats klasik pada saat ini ditengarai sebagai
pengaruh agenda perang pemikiran yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam. Dalam
upaya menghancurkan Islam, para musuh-musuh Islam tersebut setelah mengalami
kegagalan dengan cara perang fisik merubah cara lama itu dengan cara baru,
yaitu yang sekarang disebut dengan Gazwul Fikr. Dengan cara ini
mereka berupaya memasukkan pemikiran-pemikiran nyeleneh khususnya kepada
anak-anak muda Islam. Lalu dari anak-anak muda yang teracuni pemikiran itu
dengan mudah meluncur pandangan-pandangan yang sangat kontroversial yang
dinilai sangat berbahaya terhadap Islam sendiri.
Terpanggil untuk meluruskan penyimpangan di atas, Dr. Muhammad
Sa'id Ramadlan al-Buthy melalui bukunya, Dlowâbith al-Maslahah fî
al-Syarî'ah al-Islâmiyyah telah berupaya menyingkap posisi maslahah dan
batas-batasnya dalam syari'ah Islam. Sehingga maslahah yang tidak dalam batas-batas tersebut dinilai
bukanlah maslahah hakiki yang layak dijadikan pertimbangan penetapan hukum.
Dalam pengantarnya, ia mengatakan, sesungguhnya maslahah dalam syariah Islam
dari segala sisinya memiliki
batas-batas pasti yang tidak
meninggalkan sedikitpun kesulitan dalam memahaminya, tersusun secara rapi yang
tidak memungkinkan terjadi kontradiksi di antara bagian-bagiannya, serta
terbangun di atas dasar yang sangat kuat dan menancap dalam hati setiap mukmin
yang sesungguhnya yaitu sifat penghambaan diri kepada Allah, sebuah prinsip
yang terbangun dari firman Allah: "Katakanlah, sesungguhnya sholatku,
ibadahku, hidup dan matiku adalak milik Allah tuhan semesta alam". Dengan demikian, tidak mungkin ada yang bisa
mencoba bermain-main dalam masalah ini. Karena ia memiliki batas-batas pasti,
baik dari aspek pondasi, masalah-masalah yang dicakupnya maupun urut-urutan
secara sistematis antara bagian-bagiannya[1].
Makalah ini tidak hendak melakukan
studi kritis terhadap pemikiran al-Buthi. Akan tetapi, makalah ini justru
merupakan salah satu upaya penulis untuk memahami secara utuh pemikiran-pemikiran Ulama' yang
sejalan dengan pemikiran yang selama ini penulis geluti. Dengan begitu, penulis
tidak akan mudah terpengaruh dengan pemikiran lain yang nampaknya indah namun
sebenarnya mengandung racun. Atau jika ternyata suatu saat penulis menjadi
muslim liberal misalnya, maka itu bukan
akibat dari ketidak utuhan penulis di dalam memahami pemikiran itu, akan tetapi
justru karena tuntutan ilmiyah dan obyektivitaslah yang mengharuskan
demikian. Dengan kata lain, penulis
tidak ingin menjadi cerita si Tarjo yang sebenarnya belum punya ilmu dan iman
yang kuat, namun sudah berani berdakwah ke tempat lokalisasi dengan maksud
mengajak para PSK untuk bertaubat. Namun yang terjadi, bukannya ia membawa para
PSK taubat tapi justru ia tidak tahan melihat senyuman si Surni, salah satu PSK
yang membuatnya tidak mampu untuk tidak
ikut jajan di tempat itu. Na'udzu billahi min dzalik.
II. Definisi Maslahah
Secara
etimologi maslahah merupakan derivasi dari akar kata shalah yang
bermakna manfaat. Atau bisa juga merupakan bentuk tunggal dari kata plural al-Masholih. Maka
setiap sesuatu yang mengandung kemanfaatan, baik dengan cara
menghasilkan ataupun menjauhi bisa disebut maslahah. Sedangkan secara
terminologi para pakar usul memiliki
pengungkapan definisi yang berbeda-beda namun semuanya kembali kepada maksud
yang sama. Menurut al-'Izz al-Din ibn Abd as-Salam, maslahah adalah kenikmatan dan kebahagiaan
serta segala jalan menuju pada keduanya. Sedangkan mafsadah adalah rasa sakit dan kesusahan dan
semua yang menghantarkan pada keduanya[2].
Menurut Al-Ghazali, maslahah adalah menarik manfaat dan menolak mafsadah. Namun
yang dimaksud dalam pendefinisian maslahah di sini adalah pelestarian terhadap
tujuan-tujuan Syariah yaitu mencakup lima hal, memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta kekayaan[3].
[1] Muhammad Said Ramadlan
al-Buthy, Dlawâbith al-Maslahah fî al-Syari'ah al-Islâmiyyah, (Damasykus: Dar al-Muassasah )
cet: ke-7,
h.30
[2]. Izz
ad-Din Abd 'Aziz Ibn 'Abd as-Salam as-Sullamy, Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih
al-Anam,
(Beirur Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah),
cet.1, 1999 M,
h.12
[3]. Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazaly, al-Mushtasyfa
Min 'Ilmi al-Ushul, (
Muassasah ar-Risalah) cet. 1 2007 M. h.417