Era Khalifah Abasiyah merupakan puncak keemasan dan kejayaan umat Islam. Ditinjau dari kemajuan peradaban, perekonomian, kebudayaan
dan ilmu pengetahuan. Pada era inilah, terjadi proses kodifikasi dari berbagai
displin keilmuan khazanah Islam dan transliterasi keilmuan antar peradaban.
Baghdad dan Bashrah yang menjadi arus lalu lintas al-hiwâr
baina al-hadlârah (red, dialog antar peradaban), terjadilah sebuah proses
asimilasi pemikiran; khususnya peradaban Islam dan barat. Peradaban barat yang menghegemoni, sedangkan cendikiawan
muslim berusaha menjaga orisinalitas dan autentisitas kesalafannya.
Sehingga Irak menjadi pusat keilmuan khazanah Islam, budaya dan peradaban, yang
ditandai dengan munculnya ulama, sastrawan, budayawan dan filsuf muslim.
Di sisi lain, terjadi pergolakan politik dalam
internal umat Islam, dekadensi moral dan penggulingan rezim kekuasaan Abasiyah,
karena ada gerakan separatis dalam rangka merapuhkan persatuan umat Islam.
Pada Tahun 225 H, terjadi revolusi negroid di kota Bashrah
–tanah kelahiran Imam Al-Muhajir-, revolusi ini dikomando oleh Al-Khawârij
untuk menjatuhkan rezim Abasiyah, sehingga mereka berhasil memblokade dan
menduduki kota Bashrah.
Pada 273 H, lahirlah Imam Ahmad ibn Isa Al-Muhajir
Ilallah di kota Bashrah, kota yang termasuk dalam kategori paling awalnya kota
yang dibangun oleh umat Islam, kota yang terkenal dengan kota ilmu,
budaya dan peradaban Islam. Tidak hanya itu kota ini juga masyhur dengan kota
niaga, karena letaknya sangat strategis dikarenakan berada di jalur perdangan
dunia.
Imam Al-Muhajir hidup di tengah-tengah lautan ilmu,
karena beliau dikelilingi mufassir, muhaddits, fâqih,
astronom, fisikawan dan fan-fan ilmu lainnya. Beliau tumbuh dan berkembang di
keluarga yang menjaga orisinalitas dan autentisitas keilmuan
salaf, dan belajar langsung kepada orang tuanya dan ulama-ulama sekitarnya.
Dampak dari agresi negroid, gelombang fitnah yang terus terjadi dan banyak para Ahlul Bait keturunan Rasulullah diburu atau bahkan dibunuh,
karena kekhawatiran pemerintah dalam mengambil alih rezim kekuasaan khilafah. Faktor inilah menjadi salah satu penyebab hijrahnya
Imam Al-Muhajir.
Pada tahun 317 H, Imam Al-Muhajir, Zainab binti Abdullah
–istrinya-, putra-putranya dan beserta sekitar
70 orang lainnya, hijrah
dari Bashrah ke Madinah. Pada tanggal 17 Dzul Hijjah 317 H, salah satu kelompok
dari Syi'ah yang berlabel Al-Qarâmithah melakukan agresi terhadap kota Mekkah
dan mengambil Hajar Aswad dan membawanya ke Hijr, sehingga selama 22 tahun,
Masjid Al-Haram tanpa Hajar Aswad, namum berhasil dikembalikan dan diletakkan kembali
pada tempatnya.
Kemudian pada tahun 318 H, beliau beserta keluarga pergi
ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah Haji, setelah mendengar kejadian agresi
Al-Qarâmithah yang berasal dari utara jazirah arab, beliau memutuskan untuk
melakukan perjalanan ke Yaman, dengan melalui jalur Al-Hijaz, 'Ashîr, kemudian
berbelok ke arah timur dan tiba di bumi Husaisah –sekitar 15 km dari kota
Tarim- Provinsi Hadramaut Yaman pada 14 Muharram 319 H.
Sebab utama hijrahnya Imam Al-Muhajir ke Hadramaut adalah
timbulnya markaz Al-Ibâdhiyah, salah satu sekte dari Al-Khawârij yang menganggap
orang selain mereka; bukan mukmin dan bukan syirik tetapi kafir dan
menghalalkan darah umat Islam secara transparan. Sehingga tujuan utama Imam
Al-Muhajir untuk meluruskan doktrin pemikiran untuk kembali ke Ahlus Sunnah Wal
Jama'ah.
Beliau adalah keturunan Rasulullah SAW. pertama kali yang tiba di
Hadramaut. Sebab hijrahnya itulah, beliau dijuluki Imam Al-Muhajir. Setelah berhasil
melaksanakan visi dan misinya, beliau pulang ke rahmatullah pada 345 H. Kemudian
keturunan beliau menyebar ke seantero mayapada dalam misi suci menyebarkan
Islam, diantaranya negara-negara Asia, Afrika dan Benua-benua lainnya.
Di Indonesia, wali songo -yang telah
berjasa membumikan Islam di Nusantara- berasal dari keturunan Imam Al-Muhajir,
terbukti ditemukannya silsilah wali
songo oleh Sayid Ali bin Ja’far al-Seggaff, bahwa Imam Alwi bin Muhammad Shahib
Mirbath –keturunan ketujuh Imam Al-Muhajir yang dijuluki 'Ammu Al-Faqih-
dikaruniai 4 orang anak lelaki, diantaranya Abdul Malik, dari Abdul Malik
inilah, yang keturunannya dikenal dengan Al-Khan, menetaskan leluhur
wali songo di Indonesia.
Nurul Alam –salah
satu keturunan Abdul Malik- dikarunia anak bernama Abdullah. Abdullah dikarunia
anak bernama Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Sedangkan Maulana Malik Ibrahim
(Sunan Gresik/saudaranya Nur Alam) dikarunai dua anak; Maulana Ishaq dan Maulana
Rahmatullah (Sunan Ampel), seperti yang dilansir Sayid Ahmad bin Abdullah Al-Seggaf
dalam kitabnya Chidmah al-Asyirah.
Sayid Maulana
Ishaq menikah dengan seorang putri
raja Blambangan dan dikarunai seorang anak bernama sayid Ainul Yakin (Sunan
Giri/Raden Paku) –yang diantara keturunan beliau adalah KH. Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama-.
Sedangkan Sunan Ampel dikarunia anak bernama Maulana Qasyim (Sunan Drajat), Maulana Makhdum Ibrahim
(Sunan Bonang), dan Ahmad Hisan (Sunan Lamongan).
Sehingga untuk
mengenang jasa-jasa beliau yang tak ternilai harganya,
maka diadakanlah haul sanawi setiap Muharram. Haul ini tidak
hanya dihadiri oleh penduduk setempat saja, tapi dibanjiri oleh para ziaroh
seantero dunia, diantaranya Asia, Afrika, dan beberapa negara Eropa dan
Amerika.
Istighâstah akbâr
menjadi opening prosesi haul ini, setelah itu dilaksanakan Maulid Nabi,
dilanjutkan Ceramah yang disampaikan da'i-da'i berkaliber dunia, dan ditutup
dengan penampilan samar –seni kebudayaan Islam-.
Haul Imam Al-Muhajir merupakan media untuk meningkatkan nilai spiritual,
mempererat komunikasi dengan Allah dengan berdzikir, mengagungkan asmaNya,
merenungi perjuangan hijrahnya Imam Al-Muhajir untuk meluruskan sekte-sekte
yang telah menyimpang dan bersosialisasi antar sesama mahlukNya tanpa adanya
rasisme, disamping itu juga bisa
dijadikan mediator introspeksi diri untuk menjadi insan yang kamil.
Oleh:
H. M. Taufiq, Lc. M.Sy.
Alumni Universitas Al-Ahgaff Yaman,
Saat ini sedang menempuh PhD (Doktoral) di International Islamic University Malaysia