Relevansi Ijtihad di Masa Kekinian (Part 2)

Kebutuhan Ijtihad
Mufti Syafi'i Mesir, Dr. Ali Jum'ah dalam sebuah risalahnya yang diberi nama dengan "Âliyyâh al-Ijtihâd" menyatakan bahwa di era kekinian dan kedisinian ijtihad merupakan hal yang sangat diperlukan atau sangat darurat dipandang dari dua sisi berikut([1]);
  1. Sifat Dzanny yang ada pada teks al-Quran dan al-Hadits.
Dengan keberadaannya yang bersifat dzanny al-dilâlah, menuntut para mujtahid untuk selalu menguak makna atau maqâshid dari teks tersebut yang masih banyak mengandung beberapa kemungkinan. Memang ijtihad telah dilakukan oleh para cendekiawan abad permulaan, namun tidak menutup mata hasil yang mereka gali merupakan kebenaran mutlak yang tidak bisa diganggu gugat keputusannya mengingat mereka tidak ma’shûm.
  1. Banyaknya tuntutan atas modernitas zaman serta keterbatasan teks yang diturunkan oleh pemilik Syariat.
Keterbatasan teks-teks hukum inilah yang menyebabkan para cendekiawan untuk selalu berijtihad, sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali (w. 505 H) dan Ibn al-Arabi (w. 543 H) bahwa ayat-ayat al-Quran yang mengandung hukum sekitar lima ratus ayat saja. Hanya saja klaim ini sebatas dzahir, karena bagi orang yang punya intelektual dan kejeniusan yang tinggi dan pemahaman terhadap al-Quran yang sempurna mampu mendeduksi hukum-hukum syariat dari ayat-ayat qashash dan amtsal. Adapun mengenai jumlah al-Ahâdits al-Ahkâm, para ulama terjadi perbedaan pendapat mulai dari lima ratus sampai ribuan hadits, sebagaimana pendapatnya Ibn al-Arabi dan Ahmad ibn Hambal (w. 241 H)([2]).

Dari kedua hal di atas, banyak kita lihat komentar para ulama terdahulu yang terus menyuarakan adanya kebangkitan dan gerakan peremajaan hukum yang dilakukan oleh anak-anak generasi masanya dengan memberikan suri tauladan para pendahulu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Haramain dalam kitabnya, al-Burhân, bahwa banyak sekali fatwa para shahabat, tabi'in, dan orang-orang setelahnya yang melakukan ijtihad dengan mendeduksi hukum syariat dengan menggunakan metodologi Qiyâs. Hal ini karena sangat terbatasnya teks-teks hukum dan banyaknya permasalahan yang mendesak untuk diidentivikasi kejelasan hukumnya([3]).
Al-Syâthibi dalam al-Muwâfaqât juga menegaskan akan pentingnya gerakan ijtihad. Ia mengatakan hal-hal baru yang belum diketahui hukumnya dalam al-Quran dan al-Hadits tidak mungkin masuk dalam khithâb atau dalil yang sangat terbatas, sehingga sangat diperlukan membuka kembali pintu ijtihad dengan metode analogi (Qiyâs) atau lainnya. Hal ini didasari pada ketidakmungkinan para cendekiawan meninggalkan umat Islam dalam kerusakan dengan mengikuti ijtihadnya masing-masing yang masih kental dengan tuntutan hawa nafsu dan sementara mereka orang yang bukan ahlinya([4]).
Kedua poin di atas, tulis Dr. Ali Jum'ah, merupakan hal yang sangat mendasar atas pentingnya ijtihad di zaman sekarang ini, sebagaimana mendapatkan dukungan dari beberapa ulama lainnya, seperti yang paling keras berteriak untuk kembali melakukan re-ijtihad adalah Muhammad ibn Abdul Wahhab, Muhammad al-Syaukâni, Muhammad Ghazâli, Dr. Imarah, dan beberapa ulama kontemporer lainnya.

Klasifikasi Ijtihad
Al-Syâthibi dalam karya monumentalnya berbicara apa yang dilakukan seorang mujtahid untuk mendeduksi hukum dari sumber-sumbernya dan syarat apakah yang harus dipenuhi dalam ijtihadnya. Untuk memproduksi hukum maka seorang mujtahid tidak diharuskan untuk memahami dan menguasai semua alat-alat ijtihad, seperti wawasan khilafiyyah, penguasaan bahasa arab dan lain-lainnya. Al-Syâthibi membagi ijtihad dalam 3 hal yaitu; tanqîh al-manâth, takhrîjul manâth dan tahqîq al-manâth. Dalam hal ini, al-Syâthibî berkomentar panjang-lebar mengenai langkah-langkah ijtihad dan syarat-syaratnya dalam berbagai konteks permasalahan; seperti apabila hal itu tidak membutuhkan wawasan-wawasan pendamping lainnya, maka seorang mujtahid hanya wajib meneliti permasalahan itu dari segi maqâshid-nya saja tanpa harus pandai dan memenuhi persyaratan mujtahid yang lainnya([5]).
Dr. Ramdhan Al-Buthi mengklasifikasikan gerakan ijtihad di era kekinian kedalam dua bagian;
  1. Ijtihad yang hanya menjawab realitas yang sedang ada dan belum tersentuh oleh ranah wawasan ulama-ulama terdahulu sementara produk-produk ijtihad ulama salaf ditetapkan sebagai solusi atas problem yang masih relevan di era kekinian.
  2. Ijtihad yang merekam ulang dan mendaur ulang hasil-hasil ijtihad ulama salaf sehingga mereka mampu mengamandemennya dan menghapusnya dari daftar-daftar ijtihad ulama, hal ini karena dinyatakan tidak relevan sehingga perlu adanya amandemen hukum islam([6]).


Korelasi Mujtahid dengan Teks (Nash)
Sub judul ini sengaja penulis kemukakan karena nash merupakan ladang yang digarap oleh para mujtahid. Mereka tidak lepas untuk bergelut dengan teks, baik al-Quran atau al-Hadits, untuk merujuk dan menjadikan sumber hukum dari permasalahan yang dikajinya. Karena itu, wajib bagi seorang mujtahid memahami kaidah-kaidah lughawiyyah, disamping dua syarat di atas yang dipaparkan al-Syâthibi.
Nash secara istilah bisa mempunyai lima makna, yaitu([7]);
1.      Setiap yang diucapkan dan bisa dipaham yang diambil dari al-Quran dan al-Hadits, baik dzahir, nash, tafsir, hakikat, majaz, umum, maupun khusus.
2.      Nash secara bahasa adalah jelas atau tampak sehingga lafadz dzahir bisa disebut sebagai nash, sebagaimana pendapat al-Syafi'i (w. 204 H).
3.      Lafadz yang tidak mungkin terjadi kemungkinan-kemungkinan lain dalam penafsirannya. Ini adalah pendapat yang masyhur.
4.      Lafadz yang tidak mungkin terjadi kemungkinan-kemungkinan lain dalam penafsirannya yang diperkuat oleh dalil.
5.      al-Quran dan al-Hadits.
Arti-arti di atas adalah arti nash atau teks menurut para pemikir Islam masa lalu. Namun seiring dengan membukanya pintu taklid dan tertutupnya pintu ijtihad, makna nash atau teks menurut kita orang awan akan mengalami perkembangan dengan menambahkan satu makna yang sangat mengganggu aktivitas ijtihad. Makna itu adalah setiap tulisan atau turâts karya para ulama klasik -terhitung dari munculnya madzâhib sampai era Imam ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H) dan Imam Ramli (w. 1004 H)-, baik mereka mujtahid mutlaq atau tidak, seperti al-Syafi’i, al-Râfi’i (w. 623 H), al-Nawawi (w. 676 H), dan lain-lainnya. Hal ini dijadikan landasan para ulama sekarang untuk mendeduksi sebuah hukum, padahal produk ijtihad mereka bila diterapkan pada masa kekinian dan kedisinian pun mungkin banyak yang sudah berubah, melihat adat istiadat ('urf) sebagaimana terjadinya perubahan beda hukum tatanegara dan hubungan antar-negara, baik multilateral atau bilateral. Apalagi kita sekarang dihadapkan pada slogan kembali pada sistem Khilafah; Adakah aturan Islam tentang sistem negara yang ideal dan sesuai dengan nash-nash Islam? Dari sinilah, Dr. Muhammad Imarah menyatakan keabsurdan pemahaman teks (nash), sehingga slogan lâ ijtihâd ma' al-nash sulit untuk diaplikasikan. Dengan adanya nash, maka ijtihad tidak bisa lagi dijalankan dan ijtihad tidak bisa diwujudkan kecuali dengan tidak adanya nash?([8])

Untuk menghilangkan kebingungan ini, maka nash disini harus digarisbawahi dan dijelaskan apa makna nash yang sebenarnya sehingga slogan itu bisa dinyatakan keabsahannya. Analisa ini bisa kita raba satu persatu dari makna nash di atas, makna manakah yang tepat untuk mengartikan lâ ijtihâd ma' al-nash?

Ijtihad Kontemporer
Ijtihad ini sudah digalakkan oleh rekan-rekan kita yang menamakan dirinya sebagai Jamaah Islam Liberal, sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad Sa'id al-'Asymawi dan Dr. Nashr Hamid Abu Zaid yang terus bebicara lantang mengenai hal ini([9]). Namun cara yang mereka lakukan kurang mendapat sambutan positif dari para ulama lainnya karena metode yang dilakukan mereka dengan cara menggunduli kaidah-kaidah ushuliyyah yang telah ditetapkan dan diamalkan beribu-ribu tahun lamanya. Di antaranya adalah mereka mengkaitkan teks dengan realitas sosial setempat pada waktu itu, sehingga mereka mencabut kaidah yang masyhur, al-'ibrah bi 'umûm al-lafdz lâ bikhushûsh al-sabab ataupun mereka melakukan tafsir-tafsir baru yang mereka sering sebut dengan tafsir hermeneutika. Namun, apakah langkah-langkah tersebut bisa dibenarkan?! Begitulah, realitas yang selama ini terus bergelayut dalam hati dan pikiran para akademisi lokal atau internasional. Hemat penulis, sebagaimana yang sering diwacanakan oleh beberapa pesantren di Indonesia dan dikukuhkan dengan komentar para cendekiawan Timur Tengah, bahwa eksistensi ijtihad tidaklah harus dengan membredel alat-alatnya juga, tapi cukup dengan mengembangkan dan menggali kembali maqâshid al-syarî’ah sebuah kasus sehingga bisa menganalogikannya dengan kasus-kasus yang sudah ada. Hal ini melihat komentar para ulama mengenai terma Qiyâs yang begitu terbuka lebar untuk pintu ijtihad, terutama dalam madzhab Syafi’i.
Namun, apakah dengan metode Qiyâs kita bisa menjawab semua tantangan?! Tentunya tidak, sehingga kita perlu menggunakan dasar-dasar lain (al-adillah al-mukhtalaf fihâ) -seperti istihsân, istishlâh, sadd al-dzarâi’, dan lain-lainnya- sebagai langkah darurat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam bukunya, al-Dlarûrât al-Syar’iyyah. Hal ini juga kita bisa telisik dalam turâts-turâts al-Syâfi’iyyah yang seringkali para mujtahid menggunakan dasar-dasar lain, seperti istishlâh, istihsân, dan lainnya, walaupun Imam Syâfi’i jauh-jauh dalam al-Risâlahnya berkomitmen anti-istihsân dengan perkataannya yang masyhur, man istahsan faqad tasyarra’.
Pandangan simpel ini adalah langkah mudah untuk menggambarkan aktivitas mujtahid kekinian, sehingga umat Islam tidak terlantar dalam kerancuan hukum dan kebingungan. Memang aktivitas ijtihad di akhir-akhir ini sama dengan pemandangan aktivitas ijtihad di awal-awal munculnya madzâhib, dimana aktivitas itu hanya menjawab realitas saja (fiqh wâqi’i) serta tidak mampu memberikan nuansa fikih yang penuh dengan pengandaian-pengandaian (fiqh iftirâdli), sebagaimana yang dilakukan oleh para a`immah zaman keemasan Islam.
Perumusan dibutuhkannya mujtahid-mujtahid baru adalah untuk menata kembali hukum-hukum Islam, baik dari segi ukhuwwah Islamiyyah, sistem bernegara yang dianut dan konteks-konteks lainnya yang masih menjadi problem yang menjangkit semua generasi Muslim di seluruh belahan dunia. Bidikan ini juga agar bisa menghilangkan wajah sangar Islam yang selama ini terinveksi oleh terorisme dan membersihkan generasi Muslim dari hegemoni Yahudi dan Nasrani.

Penutup
“JADI MUJTAHID?! SIAPA TAKUT…!” ya begitulah status dalam facebook yang diunggah oleh rekan saya, sehingga penulis mencoba mengomentarinya lewat tulisan ini di samping penulis mengangkat tema ini bertujuan untuk mengembangkan kembali potensi yang kita miliki, sehingga kita tidak lagi terkena phobia-mujtahid, mengingat mujtahid hanya dituntut untuk mencari kebenaran hukum, bukan kebenaran menurut Allah swt., sebagaimana pendapat yang dilontarkan oleh al-Muzâni (w. 264 H), karena kebenaran hukum menurut Allah swt. adalah hal yang sulit diketahui dan hanya Allah yang tahu.
Diskusi ini juga diharapkan bisa memberikan "vonis", sudah tepatkah langkah-langkah yang diambil oleh para aktivis ijtihad sekarang? Minimal sebagai standar acuan tentang legal dan tidaknya seseorang melakukan ijtihad di sini dan kini. Wallah A’lam.

Selamat atas tumbuhnya mujtahid-mujtahid kecil!


Oleh : Aley Abdolmoeez


Penulis adalah mahasiswa tingkat IV Fakultas Syariah dan Hukum  Universitas al-Ahagaff, Tarim, Hadhramaut-Yaman. 




([1])  Dr. Ali Jum'ah, Aliyyatul Ijtihad, Hal. 10-11.
([2])  Muhammad al-Syaukâni, Irsyâd al-Fukhûl, Juz II, Hal. 174.
([3])  Imam Haramain, Al-Burhân, Juz II, Hal. 716.
([4] ( Al-Syâthibi, al-Muwâfaqât, Juz IV Hal. 371.
([5])  Bandingkan Al-Syâthibi, al-Muwâfaqât, Juz IV Hal. 365-366.
([6])  Dr. Muhammad Sa’îd Ramadlân al-Buthi, Muhâdlarât fi al-Fiqh al-Muqâran, Hal. 7-8.
([7])  Dr. Muhammad Imarah, Al-Nash al-Islamy bayn al-Ijtihad wa al-Jumud wa al-Tarikhiyyah, Hal. 35, bandingkan  Syekh Zakaria al-Anshâri, Ghâyah al-Wushûl Syarh Lubb al-Ushûl, Hal. 59-60.
([8])  Dr. Muhammad Imarah, Al-Nash al-Islamy bayn al-Ijtihad wa al-Jumud wa al-Tarikhiyyah, Hal. 37-38.
)[9])  Dr. Muhammad Imarah, Al-Nash al-Islamy bayn al-Ijtihad wa al-Jumud wa al-Tarikhiyyah, Hal. 17-23.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »