Kebutuhan
Ijtihad
Mufti
Syafi'i Mesir, Dr. Ali Jum'ah dalam sebuah risalahnya yang diberi nama dengan "Âliyyâh
al-Ijtihâd" menyatakan bahwa di era kekinian dan kedisinian ijtihad
merupakan hal yang sangat diperlukan atau sangat darurat dipandang dari dua
sisi berikut([1]);
- Sifat Dzanny yang ada pada
teks al-Quran dan al-Hadits.
Dengan
keberadaannya yang bersifat dzanny al-dilâlah, menuntut para mujtahid
untuk selalu menguak makna atau maqâshid dari teks tersebut yang masih
banyak mengandung beberapa kemungkinan. Memang ijtihad telah dilakukan oleh
para cendekiawan abad permulaan, namun tidak menutup mata hasil yang mereka
gali merupakan kebenaran mutlak yang tidak bisa diganggu gugat keputusannya
mengingat mereka tidak ma’shûm.
- Banyaknya tuntutan atas modernitas
zaman serta keterbatasan teks yang diturunkan oleh pemilik Syariat.
Keterbatasan
teks-teks hukum inilah yang menyebabkan para cendekiawan untuk selalu
berijtihad, sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali (w. 505 H) dan Ibn al-Arabi
(w. 543 H) bahwa ayat-ayat al-Quran yang mengandung hukum sekitar lima ratus
ayat saja. Hanya saja klaim ini sebatas dzahir, karena bagi orang yang
punya intelektual dan kejeniusan yang tinggi dan pemahaman terhadap al-Quran
yang sempurna mampu mendeduksi hukum-hukum syariat dari ayat-ayat qashash
dan amtsal. Adapun mengenai jumlah al-Ahâdits al-Ahkâm,
para ulama terjadi perbedaan pendapat mulai dari lima ratus sampai ribuan
hadits, sebagaimana pendapatnya Ibn al-Arabi dan Ahmad ibn Hambal (w. 241 H)([2]).
Dari
kedua hal di atas, banyak kita lihat komentar para ulama terdahulu yang terus
menyuarakan adanya kebangkitan dan gerakan peremajaan hukum yang dilakukan oleh
anak-anak generasi masanya dengan memberikan suri tauladan para pendahulu.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Haramain dalam kitabnya, al-Burhân,
bahwa banyak sekali fatwa para shahabat, tabi'in, dan orang-orang setelahnya
yang melakukan ijtihad dengan mendeduksi hukum syariat dengan menggunakan
metodologi Qiyâs. Hal ini karena sangat terbatasnya teks-teks hukum dan
banyaknya permasalahan yang mendesak untuk diidentivikasi kejelasan hukumnya([3]).
Al-Syâthibi
dalam al-Muwâfaqât juga menegaskan akan pentingnya gerakan ijtihad. Ia
mengatakan hal-hal baru yang belum diketahui hukumnya dalam al-Quran dan
al-Hadits tidak mungkin masuk dalam khithâb atau dalil yang sangat
terbatas, sehingga sangat diperlukan membuka kembali pintu ijtihad dengan
metode analogi (Qiyâs) atau lainnya. Hal ini didasari pada ketidakmungkinan
para cendekiawan meninggalkan umat Islam dalam kerusakan dengan mengikuti
ijtihadnya masing-masing yang masih kental dengan tuntutan hawa nafsu dan
sementara mereka orang yang bukan ahlinya([4]).
Kedua
poin di atas, tulis Dr. Ali Jum'ah, merupakan hal yang sangat mendasar atas
pentingnya ijtihad di zaman sekarang ini, sebagaimana mendapatkan dukungan dari
beberapa ulama lainnya, seperti yang paling keras berteriak untuk kembali
melakukan re-ijtihad adalah Muhammad ibn Abdul Wahhab, Muhammad al-Syaukâni,
Muhammad Ghazâli, Dr. Imarah, dan beberapa ulama kontemporer lainnya.
Klasifikasi
Ijtihad
Al-Syâthibi
dalam karya monumentalnya berbicara apa yang dilakukan seorang mujtahid untuk
mendeduksi hukum dari sumber-sumbernya dan syarat apakah yang harus dipenuhi
dalam ijtihadnya. Untuk memproduksi hukum maka seorang mujtahid tidak diharuskan
untuk memahami dan menguasai semua alat-alat ijtihad, seperti wawasan
khilafiyyah, penguasaan bahasa arab dan lain-lainnya. Al-Syâthibi membagi
ijtihad dalam 3 hal yaitu; tanqîh al-manâth, takhrîjul manâth dan
tahqîq al-manâth. Dalam hal ini, al-Syâthibî berkomentar panjang-lebar
mengenai langkah-langkah ijtihad dan syarat-syaratnya dalam berbagai konteks
permasalahan; seperti apabila hal itu tidak membutuhkan wawasan-wawasan
pendamping lainnya, maka seorang mujtahid hanya wajib meneliti permasalahan itu
dari segi maqâshid-nya saja tanpa harus pandai dan memenuhi persyaratan
mujtahid yang lainnya([5]).
Dr.
Ramdhan Al-Buthi mengklasifikasikan gerakan ijtihad di era kekinian kedalam dua
bagian;
- Ijtihad
yang hanya menjawab realitas yang sedang ada dan belum tersentuh oleh
ranah wawasan ulama-ulama terdahulu sementara produk-produk ijtihad ulama
salaf ditetapkan sebagai solusi atas problem yang masih relevan di era
kekinian.
- Ijtihad
yang merekam ulang dan mendaur ulang hasil-hasil ijtihad ulama salaf
sehingga mereka mampu mengamandemennya dan menghapusnya dari daftar-daftar
ijtihad ulama, hal ini karena dinyatakan tidak relevan sehingga perlu
adanya amandemen hukum islam([6]).
Korelasi
Mujtahid dengan Teks (Nash)
Sub
judul ini sengaja penulis kemukakan karena nash merupakan ladang yang
digarap oleh para mujtahid. Mereka tidak lepas untuk bergelut dengan teks, baik
al-Quran atau al-Hadits, untuk merujuk dan menjadikan sumber hukum dari
permasalahan yang dikajinya. Karena itu, wajib bagi seorang mujtahid memahami
kaidah-kaidah lughawiyyah, disamping dua syarat di atas yang dipaparkan
al-Syâthibi.
Nash secara istilah bisa
mempunyai lima makna, yaitu([7]);
1.
Setiap yang diucapkan dan bisa dipaham
yang diambil dari al-Quran dan al-Hadits, baik dzahir, nash,
tafsir, hakikat, majaz, umum, maupun khusus.
2.
Nash secara bahasa adalah jelas atau tampak
sehingga lafadz dzahir bisa disebut sebagai nash, sebagaimana pendapat
al-Syafi'i (w. 204 H).
3.
Lafadz yang tidak mungkin terjadi
kemungkinan-kemungkinan lain dalam penafsirannya. Ini adalah pendapat yang
masyhur.
4.
Lafadz yang tidak mungkin terjadi
kemungkinan-kemungkinan lain dalam penafsirannya yang diperkuat oleh dalil.
5.
al-Quran dan al-Hadits.
Arti-arti
di atas adalah arti nash atau teks menurut para pemikir Islam masa lalu.
Namun seiring dengan membukanya pintu taklid dan tertutupnya pintu ijtihad,
makna nash atau teks menurut kita orang awan akan mengalami perkembangan
dengan menambahkan satu makna yang sangat mengganggu aktivitas ijtihad. Makna
itu adalah setiap tulisan atau turâts karya para ulama klasik -terhitung
dari munculnya madzâhib sampai era Imam ibn Hajar al-Haitami (w.
974 H) dan Imam Ramli (w. 1004 H)-, baik mereka mujtahid mutlaq atau
tidak, seperti al-Syafi’i, al-Râfi’i (w. 623 H), al-Nawawi (w. 676 H), dan
lain-lainnya. Hal ini dijadikan landasan para ulama sekarang untuk mendeduksi
sebuah hukum, padahal produk ijtihad mereka bila diterapkan pada masa kekinian
dan kedisinian pun mungkin banyak yang sudah berubah, melihat adat istiadat ('urf)
sebagaimana terjadinya perubahan beda hukum tatanegara dan hubungan
antar-negara, baik multilateral atau bilateral. Apalagi kita sekarang
dihadapkan pada slogan kembali pada sistem Khilafah; Adakah aturan Islam
tentang sistem negara yang ideal dan sesuai dengan nash-nash Islam? Dari
sinilah, Dr. Muhammad Imarah menyatakan keabsurdan pemahaman teks (nash),
sehingga slogan lâ ijtihâd ma' al-nash sulit untuk diaplikasikan. Dengan
adanya nash, maka ijtihad tidak bisa lagi dijalankan dan ijtihad tidak
bisa diwujudkan kecuali dengan tidak adanya nash?([8])
Untuk
menghilangkan kebingungan ini, maka nash disini harus digarisbawahi dan
dijelaskan apa makna nash yang sebenarnya sehingga slogan itu bisa
dinyatakan keabsahannya. Analisa ini bisa kita raba satu persatu dari makna nash
di atas, makna manakah yang tepat untuk mengartikan lâ ijtihâd ma' al-nash?
Ijtihad
Kontemporer
Ijtihad
ini sudah digalakkan oleh rekan-rekan kita yang menamakan dirinya sebagai
Jamaah Islam Liberal, sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad Sa'id
al-'Asymawi dan Dr. Nashr Hamid Abu Zaid yang terus bebicara lantang mengenai
hal ini([9]).
Namun cara yang mereka lakukan kurang mendapat sambutan positif dari para ulama
lainnya karena metode yang dilakukan mereka dengan cara menggunduli
kaidah-kaidah ushuliyyah yang telah ditetapkan dan diamalkan beribu-ribu
tahun lamanya. Di antaranya adalah mereka mengkaitkan teks dengan realitas
sosial setempat pada waktu itu, sehingga mereka mencabut kaidah yang masyhur, al-'ibrah
bi 'umûm al-lafdz lâ bikhushûsh al-sabab ataupun mereka melakukan
tafsir-tafsir baru yang mereka sering sebut dengan tafsir hermeneutika. Namun,
apakah langkah-langkah tersebut bisa dibenarkan?! Begitulah, realitas yang
selama ini terus bergelayut dalam hati dan pikiran para akademisi lokal atau
internasional. Hemat penulis, sebagaimana yang sering diwacanakan oleh beberapa
pesantren di Indonesia dan dikukuhkan dengan komentar para cendekiawan Timur
Tengah, bahwa eksistensi ijtihad tidaklah harus dengan membredel alat-alatnya
juga, tapi cukup dengan mengembangkan dan menggali kembali maqâshid
al-syarî’ah sebuah kasus sehingga bisa menganalogikannya dengan kasus-kasus
yang sudah ada. Hal ini melihat komentar para ulama mengenai terma Qiyâs yang
begitu terbuka lebar untuk pintu ijtihad, terutama dalam madzhab Syafi’i.
Namun,
apakah dengan metode Qiyâs kita bisa menjawab semua tantangan?! Tentunya tidak,
sehingga kita perlu menggunakan dasar-dasar lain (al-adillah al-mukhtalaf
fihâ) -seperti istihsân, istishlâh, sadd
al-dzarâi’, dan lain-lainnya- sebagai langkah darurat, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam bukunya, al-Dlarûrât
al-Syar’iyyah. Hal ini juga kita bisa telisik dalam turâts-turâts
al-Syâfi’iyyah yang seringkali para mujtahid menggunakan dasar-dasar lain,
seperti istishlâh, istihsân, dan lainnya, walaupun Imam Syâfi’i
jauh-jauh dalam al-Risâlahnya berkomitmen anti-istihsân dengan
perkataannya yang masyhur, man istahsan faqad tasyarra’.
Pandangan
simpel ini adalah langkah mudah untuk menggambarkan aktivitas mujtahid
kekinian, sehingga umat Islam tidak terlantar dalam kerancuan hukum dan
kebingungan. Memang aktivitas ijtihad di akhir-akhir ini sama dengan
pemandangan aktivitas ijtihad di awal-awal munculnya madzâhib, dimana
aktivitas itu hanya menjawab realitas saja (fiqh wâqi’i) serta tidak
mampu memberikan nuansa fikih yang penuh dengan pengandaian-pengandaian (fiqh
iftirâdli), sebagaimana yang dilakukan oleh para a`immah zaman
keemasan Islam.
Perumusan
dibutuhkannya mujtahid-mujtahid baru adalah untuk menata kembali hukum-hukum
Islam, baik dari segi ukhuwwah Islamiyyah, sistem bernegara yang dianut
dan konteks-konteks lainnya yang masih menjadi problem yang menjangkit semua
generasi Muslim di seluruh belahan dunia. Bidikan ini juga agar bisa
menghilangkan wajah sangar Islam yang selama ini terinveksi oleh
terorisme dan membersihkan generasi Muslim dari hegemoni Yahudi dan Nasrani.
Penutup
“JADI
MUJTAHID?! SIAPA TAKUT…!” ya begitulah status dalam facebook yang diunggah oleh
rekan saya, sehingga penulis mencoba mengomentarinya lewat tulisan ini di
samping penulis mengangkat tema ini bertujuan untuk mengembangkan kembali
potensi yang kita miliki, sehingga kita tidak lagi terkena phobia-mujtahid,
mengingat mujtahid hanya dituntut untuk mencari kebenaran hukum, bukan
kebenaran menurut Allah swt., sebagaimana pendapat yang dilontarkan oleh
al-Muzâni (w. 264 H), karena kebenaran hukum menurut Allah swt. adalah hal yang
sulit diketahui dan hanya Allah yang tahu.
Diskusi
ini juga diharapkan bisa memberikan "vonis", sudah tepatkah
langkah-langkah yang diambil oleh para aktivis ijtihad sekarang? Minimal
sebagai standar acuan tentang legal dan tidaknya seseorang melakukan ijtihad di
sini dan kini. Wallah A’lam.
Selamat
atas tumbuhnya mujtahid-mujtahid kecil!
Oleh : Aley Abdolmoeez
Penulis adalah mahasiswa tingkat IV Fakultas Syariah dan Hukum Universitas al-Ahagaff, Tarim, Hadhramaut-Yaman.