PROLOG
Madzhab merupakan sebuah
doktrin yang tidak asing lagi bagi kita di karenakan hal ini sudah menjamur di
golongan yang mengatas namakan dirinya dengan golongan Ahlussunah wal jama’ah,
golongan ini mempunyai pemimpin yang paling mashur dengan sebutan Madzahib
Al Arba'ah yang di pelopori oleh
Nu'man bin Tsabit bin Zauto yang menjadi pimpinan Madzhab hanafi, Malik
bin anas yang menjadi pelopor Madzhab Maliki, Muhammad bin Idris Al
Syafi'ey, komandan Madzhab as Syafi'ey dan Ahmad Bin Hambal yang
menjadi Imam Madzhab Hambali.
Ke empat orang inilah yang menjadi acuan golongan
Ahlussunah wal jama’ah dalam menentukan hukum Syari'at karena mereka dianggap sebagai
orang yang mampu memetik hukum secara langsung dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah,
sehingga dianggap sebagai Mujtahid Muthlak di samping banyaknya mujtahid
lain yang karyanya tidak sampai ke tangan kita. Adanya madzhab ini
menyebabkan timbulnya pendapat yang berbeda-beda. Sehingga, terkadang kita
malah mencampur adukan pendapat itu (baca; Talfik) maka dalam hal ini
penulis ingin mencoba membahas hal tersebut dengan dalil yang menurut penulis
layak untuk di ungkapkan dalam makalah ini.
KONOTASI KATA TALFIK
Talfik secara etimologi mengumpulkan
dua pendapat atau lebih dalam satu rangkaian hukum yang mempunyai rukun dan
bagian-bagian yang berkesinambungan antara satu dengan yang lain. Yang mana
dari setiap bagian tersebut terdapat hukum-hukum tertentu, yang menjadi lahan Ijtihad
'Ulama'.
Dengan kata lain, seorang
dianggap sebagai mulaffik jika orang itu mengikuti satu pendapat dalam
satu bagian namun juga mengikuti pendapat lain pada bagian lainnya, sehingga terdapat
satu pekerjaan yang tercampur di dalamnya, dua pendapat dari dua Madzhab
yang berbeda. Semisal seseorang mengikuti pendapat Imam Syafi'e dalam wudhu’
dan mengikuti pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam
masalah tidak batalnya wudhu' dengan menyentuh wanita. Kemudian ia sholat
setelah menyentuh wanita. Maka tidak ada satu imam pun yang melegalkan
hal ini dikarenakan Imam Syafi'e menganggap wudhu'nya telah batal karena
menyentuh wanita.
Sedangkan menurut madzhab
Hanafiah sendiri wudhu’nya orang tadi tidak sah karena tidak mengusap
seperempat kepala atau tidak adanya pemijitan pada bagian anggota wudhu’ dan
sebagainya. Lain halnya dengan Imam Ahmad, beliau menganggap wudhu’nya tidak sah karena tidak
mengusap seluruh kepala, sehingga tidak ada satu imam pun yang
menganggap sholatnya sah.
RUANG LINGKUP TALFIK
Ruang dari Talfik
seperti halnya ruang dalam Taqlid, yaitu dalam ruang lingkup Partikular,
yakni dalam hal-hal yang berbau Ijtihad Dzonny. Sedang dalam ranah Aqo'id
atau hal-hal yang sudah Ma'lum Min Al din Bi Al Dhoruroh, talfik tidak mempunyai tempat yang bisa dihinggapi,
semisal kita talfik dalam menghalalkan
Zina yang mana dalam hal ini ulama' sudah sepakat ke haramannya, maka sudah
jelas ke tidak bolehan talfik dalam masalah ini.
KHILAF PENDAPAT TENTANG TALFIK
Ulama' berbeda pendapat
tentang talfik, kebanyakan ulama' mutaakhirin mengharamkannya dan
sebagian lainnya melegalkannya. Dalil yang dipakai oleh ulama' yang mengharamka
talfik tersebut: Bahwa hal ini termasuk dari menciptakan pendapat ketiga,
sedangkan ulama' ushul sudah sepakat bahwa menciptakan pendapat ke tiga
itu tidak di benarkan, sehingga hal ini di anggap keluar dari kesepakatan
ulama' (Ijma') namun sebenarnya terdapat dua[1]
kelemahan dari dalil yang telah di ajukan ulama' tersebut yaitu :
1. Yang
dimaksud ulama' ushul dengan ketidak bolehnnya menciptakan pendapat ke
tiga, tepatnya ketika terdapat dalam satu qlodiah (baca; masalah),
sedangkan dalam talfik bukan dalam satu qlodliah masalah akan
tetapi dari masalah yang berbeda-beda.
2. Seperti
yang kita ketahui porsi Talfik yaitu dalam masalah yang Mukhtalaf Fiha sehingga
tidak bisa kita katakan hal ini adalah pendapat yang berseberangan dengan ijma'.
Dan mungkin bisa di tambahkan
kritikan lain dengan dua cara[2]:
1. Dari
sisi eksistensi.
talfik muncul pada zaman Akhir-Akhir
tepatnya pada abad ke 7 sedangkan ulama' salaf tidak mengetahui apa itu talfik,
tidak pada zaman Rosululloh, tidak juga pada zaman sahabat, tabi'en dan bahkan pada
era Aimmah Al Arba'ah sekalipun. Makanya tidak pernah di temukan adanya sejarah
yang mengatakan bahwa sahabat hanya bertanya pada satu orang saja. Semisal
hanya bertanya kepada Imam 'Aly tanpa bertanya pada Umar dan sebagainya, akan
tetapi mereka selalu bertanya kepada siapa pun yang dianggap mampu dalam
mengeluarkan pendapat tanpa ada halangan untuk meminta pendapat yang lainnya.
Justru perlarangan talfik malah akan menyebabkan larangan taqlid
yang menjadi kewajiban bagi orang awam, karena antara keduanya terdapat
kesamaan yaitu sama-sama mengikuti pendapat kendati taqlid belum tentu talfik.
Selain itu larangan talfik juga akan bertentangan dengan tujuan
datangnya agama Islam yang sebenarnya:
إختلاف أمتي رحمة.
قال النبي ﷺ بعثت بالحنيفية السمحة
وما جعل عليكم في الدين من حرج. ( الحج
78)
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم
العسر. (البقرة 185)
2. Dari
sisi pembalikan hukum.
Ulama' yang tidak memperbolehkan adanya talfik berpendapat:
seseorang tidak harus berpengang teguh pada satu madzhab dalam segala masalah,
jika demikian maka ia boleh talfik karena jika tidak demikian akan
berdampak terhadap ketidak sahannya ibadah dari orang awam. karena sangat
jarang kita melihat orang awam melakukan ibadah yang hanya cocok terhadap madzhab
tertentu, dan juga karena orang awam tidak mempunyai madzhab meskipun
mengaku mempunyai madzhab. Madzhabnya tal lain adalah madzhab
ulama yang telah memberinya fatwa. Begitu juga pendapat yang membolehkan talfik
dengan memperhitungkan keringanan kepada umat, dan mengikuti pendapat satu imam
dalam masalah tidak bisa mencegah bolehnya taklid pada imam yang lain dalam
masalah yang lain.
Adapun pensyaratan kondisi Dhorurat (Emergency) untuk
membolehkannya talfik juga merupakan hal sulit bagi orang Awam baik
dalam masalah Ibadah ataupun mu'amalah, realita ini jelas
bertentangan dengan islam yang datang dengan segala kemudahan dan kemashlahatan.
Adapun pendapat Ibnu Hajar dan sebagian ulama' Hanafiah
yang mengatakan adanya ijma' dalam ketidak bolehan talfik, dalam
hal ini penulis lebih mengapresiasi
pendapat Prof. Dr. Wahbah Al Zuhaily[3]
yang mengatakan bahwa hal itu masih butuh terhadap dalil yang menjadi sandaran
ijma’ tersebut. Sedangkan kita tahu bahwa masalah ini masih terdapat silang
pendapat antara 'Ulama', jadi bagaimana bisa dikatakan Ijma'? Juga masih
menimbulkan banyak kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja Ijma' fi Al
Madzhab atau hanya dalam segi pendengaran beliau saja, dan bisa jadi hal
itu adalah prasangka beliau saja, karena jika itu memang benar adanya maka
ulama' dari Madzhab lain akan juga menulis hal itu pada karya-karya
mereka karena Ijma' tidak cukup hanya dengan didiamkan melainkan harus
di sampaikan dan dikenalksn kepada publik.