Studi Maslahah dalam Perspektif Dr. Muhammad Sa'id Ramadlan al-Buthy (part 3)


I.         Batas-batas Maslahah dalam Syari'ah Islam
Maslahah, menurut al-Buthy bukanlah dalil mandiri sebagaimana al-Qur'an, al-Sunnah, al-Ijma' dan al-Qiyas. Maslahah adalah makna universal yang diperoleh dari penelitian terhadap hukum-hukum partikular yang digali dari dalil-dalil syariah secara spesifik, artinya ketika kita melakukan penelitian terhadap hukum-hukum partikular maka kita menemukan bahwa di antara hukum-hukum tersebut terdapat satu titik temu yaitu tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Dengan demikian, tujuan mewujudkan kemaslahatan adalah makna universal sementara hukum-hukum partikular tersebut adalah juziyah-juziyahnya. Makna universal tersebut tentu saja tidak wujud tanpa juziyyah-juziyyah itu. Karena itu, maslahah yang dapat dinilai sebagai maslahah hakiki haruslah maslahah yang ditopang dengan dalil-dalil syar'i atau minimal tidak berlawanan dengan dalil syar'i. Berdasarkan ini maka maslahah tersebut haruslah memiliki dlowâbith yang dapat membatasi maknanya secara universal dari satu sisi dan bisa menghubungkannya dengan dalil-dalil syar'i secara spesifik  dari sisi yang lain, sehingga dengan ini terjadi kesingkronan antara makna universal tersebut dengan juziyah-juziyahnya.

Korelasi antara pemahaman Mujtahid terhadap maslahah sebagai muara hukum secara universal dengan dalil-dalil Syar'i secara spesifik sebagai muara hukum secara partikular sangatlah mirip dengan korelasi antara Takhrij al-Manath dengan Tahqiq al-Manath yang biasa dijelaskan oleh ulama' ushul fikih di dalam pembahasan masâlik al-'illah. Penyingkapan Mujtahid bahwa muara hukum Syariah adalah kemaslahatan manusia adalah Takhrij al-Manâth. Kemudian setelah itu, Mujtahid dituntut untuk melakukan tahqiq al-manath atau aplikasi muara hukum tersebut di dalam permasalahan-permaslahan patrikular dengan menggunakan piranti dalil-dalil secara tafsil yang terdapat di dalam al-Quran, al-Sunnah dan al-Qiyas.
Bagi al-Buthy, akal secara independen tidak mungkin bisa menangkap maslahah dalam masalah-masalah partikular. Hal ini, menurutnya  karena beberapa hal:
·      Apabila akal mampu menangkap maslahah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal adalah hakim sebelum datangnya Syara'. Hal tidak mungkin menurut mayoritas Ulama'.
·      Apabila anggapan di atas dianggap sah-sah saja maka batallah keberadaan atsar /efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia. Dan apabila itu benar maka batal pula dalil yang menunjukkan bahwa hukum syari'ah berlaku sesuai tuntutan maslahah. Karena dalil tersebut adalah penelitian yang diambil dari dalil-dalil tafsil tersebut. 
·       Apabila akal secara independen mampu menangkap kemaslahahatan dan tingkatan-tingkatannya secara mendetail maka tidak mungkin para Filosof itu mengalami perbedaan di dalam menentukan kemaslahatan. Sementara sejak dulu sampai sekarang tidak pernah ada kesepakatan antara manusia dalam menentukan kemaslahatan.

Dengan demikian, bagi al-Buthy maslahah adalah buah tasyri' bukan akar tasyri', dalam arti di mana ada hukum maka di situ terdapat  maslahah. Baginya, jika maslahah dinilai sebagai akar tasyri' maka akan menimbulkan kesimpulan bahwa hukum-hukum Allah lebih akhir dari maslahah.
Berangkat dari pemikiran demikian, dlobith-dlobith yang nanti akan penulis uraikan menurut al-Buthy berperan sebagai penyingkap hakikat maslahah bukan berposisi mengecualikan dan mempersempit maslahah. Dengan arti sesuatu yang tidak sesuai dengan dlowâbith tersebut  sama sekali tidak bisa disebut maslahah hakiki meski sebagian kalangan mengasumsikannya sebagai maslahah.
Secara sistematis al-Buthy mengajukan kesimpulan bahwa sebuah maslahah bisa dinilai sebagai maslahah hakiki adalah jika memenuhi lima dlowâbith, yang pertama berkaitan dengan penyingkapan makna universal maslahah tersebut, sementara empat yang lain membatasinya dengan cara dihubungkan dengan dalil-dalil syar'i yang spesifik. Kelima dlowabit tersebut adalah:
1.     Maslahah haruslah berkisar dalam lingkup tujuan syari'.
2.     Tidak bertentangan dengan al-Quran.
3.     Tidak bertentangan dengan as-Sunnah.  
4.     Tidak bertentangan dengan al-Qiyas.
5.     Tidak mengabaikan maslahah yang lebih urgen.
II.      Kaidah-kaidah yang Bisa Dinilai Kontaradiktif  dengan Batas-batas Maslahah
            Sebagai penutup pembahasan batas-batas maslahah, al-Buthy menampilkan beberapa kaidah yang bisa saja dipahami secara kontaradiktif dengan dhobith-dhobith di atas yaitu kaidah al-masyaqqah tajlib al-taysir, taghoyyur al-ahkam bi taghoyyur al-azman, dan al-Hiyal al-Syar'iyyah. Namun menurutnya, kaidah-kaidah tersebut jika dikaji secara benar sama sekali tidak ada kontradiksi dengan dlôbith-dhôbith tersebut. Sebab, keringanan yang diberikan pada orang Mukallaf karena masyaqqah yang dia rasakan dalam melaksanakan hukum-hukum syariah adalah dispensasi yang tidak boleh berlawanan dengan dalil-dalil syariah,  perubahan hukum kerena perubahan zaman juga hanya berlaku dalam masalah-masalah yang oleh Syari' tidak diberi ketentuan pasti dan dikembalikan kepada Urf, maka sudah tentu ketika 'Urf mengalami perubahan hukum itu juga mengalami perubahan, dan demikian pula rekayasa untuk melegalkan seuatu yang berdasarkan ketentaun nash merupakan sesuatu yang terlarang dengan hanya mengganti kata-kata atau yang lain juga disyaratkan berdasarkan cara-cara yang sesuai dengan ketentuan Syari'.
III.   Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan, meski benar bahwa maslahah merupakan spirit teks-teks syariah, namun hal itu tidak berarti bahwa maslahah bisa dijadikan amunisi untuk menganulir hukum yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan teks. Maslahah di dalam syariah Islam memiliki batas-batas pasti yang harus selalu dijadikan pedoman oleh para mujtahid dan pengkaji hukum Islam. Mengabaikan batas-batas tersebut di dalam penggunaan maslahah sama halnya dengan mengginginkan buah dari sebuah pohon dengan mencabut akar-akarnya. Dalam hal ini tentu tidak mungkin buah akan diperoleh. Oleh karenanya, pengetahuan mengenai batas-batas maslahah tersebut tidak saja merupakan suatu yang urgen tetapi juga merupakan sesutau yang seharusnya diketahui terlebih oleh para mujtahid dan pengkaji hukum Islam.
IV.    Bibliografi
1.         Al-Buthi, Muhammad Said Ramadlan al-Buthi. Dlowâbith al-Maslahah fî as-Syarîah al-Islâmiyyah. Cet.ke-7. Dâr el-Muassasah.
2.         As-Sullamy, Izz ad-Din Abd 'Aziz Ibn 'Abd as-Salam. 1999.  Qawâ'id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm. Cet.ke-1. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.
3.         Al-Ghazâly, Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad. 2007.  al-Mustashfâ Min 'Ilmi al-Ushûl. Cet.ke-1. Muassasah ar-Risalah.
4.         Ar-Raisuny, Ahmad. 1996. Nadhâriyyah al-Maqâshid 'Inda al-Imâm asy-Syâtiby. Cet.ke-2. al-Dâr al-'Imiyyah li al-Kitab al-Islamy.

Oleh: Oleh: Muhammad Mahrus Ali*)


*) Penulis adalah mahasiswa tingkat III jurusan Syariah Universitas Al-Ahgaff, Tarim-Yaman & peminat kajian Islamic Legal Theory.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »