I.
Batas-batas Maslahah dalam Syari'ah Islam
Maslahah, menurut al-Buthy bukanlah
dalil mandiri sebagaimana al-Qur'an, al-Sunnah, al-Ijma' dan al-Qiyas. Maslahah
adalah makna universal yang diperoleh dari penelitian terhadap hukum-hukum
partikular yang digali dari dalil-dalil syariah secara spesifik, artinya ketika
kita melakukan penelitian terhadap hukum-hukum partikular maka kita menemukan
bahwa di antara hukum-hukum tersebut terdapat satu titik temu yaitu tujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Dengan demikian, tujuan mewujudkan
kemaslahatan adalah makna universal sementara hukum-hukum partikular tersebut
adalah juziyah-juziyahnya. Makna universal tersebut tentu saja tidak
wujud tanpa juziyyah-juziyyah itu. Karena itu, maslahah yang dapat
dinilai sebagai maslahah hakiki haruslah maslahah yang ditopang dengan
dalil-dalil syar'i atau minimal tidak berlawanan dengan dalil syar'i.
Berdasarkan ini maka maslahah tersebut haruslah memiliki dlowâbith yang
dapat membatasi maknanya secara universal dari satu sisi dan bisa
menghubungkannya dengan dalil-dalil syar'i secara spesifik dari sisi yang lain, sehingga dengan ini
terjadi kesingkronan antara makna universal tersebut dengan juziyah-juziyahnya.
Korelasi antara pemahaman Mujtahid
terhadap maslahah sebagai muara hukum secara universal dengan dalil-dalil
Syar'i secara spesifik sebagai muara hukum secara partikular sangatlah mirip
dengan korelasi antara Takhrij al-Manath dengan Tahqiq al-Manath yang
biasa dijelaskan oleh ulama' ushul fikih di dalam pembahasan masâlik
al-'illah. Penyingkapan Mujtahid bahwa muara hukum Syariah adalah
kemaslahatan manusia adalah Takhrij al-Manâth. Kemudian setelah itu,
Mujtahid dituntut untuk melakukan tahqiq al-manath atau aplikasi muara
hukum tersebut di dalam permasalahan-permaslahan patrikular dengan menggunakan
piranti dalil-dalil secara tafsil yang terdapat di dalam al-Quran, al-Sunnah
dan al-Qiyas.
Bagi al-Buthy, akal secara
independen tidak mungkin bisa menangkap maslahah dalam masalah-masalah partikular.
Hal ini, menurutnya karena beberapa hal:
·
Apabila akal mampu menangkap maslahah secara parsial dalam tiap-tiap
ketentuan hukum, maka akal adalah hakim sebelum datangnya Syara'. Hal tidak
mungkin menurut mayoritas Ulama'.
·
Apabila
anggapan di atas dianggap sah-sah saja maka batallah keberadaan atsar
/efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi mashlahah
bagi mayoritas akal manusia. Dan apabila
itu benar maka batal pula dalil yang menunjukkan bahwa hukum syari'ah berlaku
sesuai tuntutan maslahah. Karena dalil tersebut adalah penelitian yang diambil
dari dalil-dalil tafsil tersebut.
·
Apabila akal secara independen
mampu menangkap kemaslahahatan dan tingkatan-tingkatannya secara mendetail maka
tidak mungkin para Filosof itu mengalami perbedaan di dalam menentukan
kemaslahatan. Sementara sejak dulu sampai sekarang tidak pernah ada kesepakatan
antara manusia dalam menentukan kemaslahatan.
Dengan demikian, bagi al-Buthy
maslahah adalah buah tasyri' bukan akar tasyri', dalam arti di mana
ada hukum maka di situ terdapat
maslahah. Baginya, jika maslahah dinilai sebagai akar tasyri'
maka akan menimbulkan kesimpulan bahwa hukum-hukum Allah lebih akhir dari
maslahah.
Berangkat dari pemikiran demikian, dlobith-dlobith
yang nanti akan penulis uraikan menurut al-Buthy berperan sebagai penyingkap
hakikat maslahah bukan berposisi mengecualikan dan mempersempit maslahah.
Dengan arti sesuatu yang tidak sesuai dengan dlowâbith tersebut sama sekali tidak bisa disebut maslahah
hakiki meski sebagian kalangan mengasumsikannya sebagai maslahah.
Secara sistematis al-Buthy
mengajukan kesimpulan bahwa sebuah maslahah bisa dinilai sebagai maslahah
hakiki adalah jika memenuhi lima dlowâbith, yang pertama berkaitan
dengan penyingkapan makna universal maslahah tersebut, sementara empat yang
lain membatasinya dengan cara dihubungkan dengan dalil-dalil syar'i yang
spesifik. Kelima dlowabit tersebut adalah:
1.
Maslahah haruslah berkisar dalam lingkup tujuan syari'.
2.
Tidak bertentangan dengan al-Quran.
3.
Tidak bertentangan dengan as-Sunnah.
4.
Tidak bertentangan dengan al-Qiyas.
5.
Tidak mengabaikan maslahah yang lebih urgen.
II.
Kaidah-kaidah yang Bisa
Dinilai Kontaradiktif dengan Batas-batas
Maslahah
Sebagai penutup pembahasan batas-batas
maslahah, al-Buthy menampilkan beberapa kaidah yang bisa saja dipahami secara
kontaradiktif dengan dhobith-dhobith di atas yaitu kaidah al-masyaqqah
tajlib al-taysir, taghoyyur al-ahkam bi taghoyyur al-azman, dan al-Hiyal
al-Syar'iyyah. Namun menurutnya,
kaidah-kaidah tersebut jika dikaji secara benar sama sekali tidak ada
kontradiksi dengan dlôbith-dhôbith tersebut. Sebab, keringanan yang diberikan pada orang Mukallaf karena masyaqqah yang dia rasakan dalam melaksanakan hukum-hukum syariah adalah
dispensasi yang tidak boleh berlawanan dengan dalil-dalil syariah, perubahan hukum kerena perubahan zaman juga
hanya berlaku dalam masalah-masalah yang oleh Syari' tidak diberi ketentuan
pasti dan dikembalikan kepada Urf, maka sudah tentu ketika 'Urf mengalami perubahan hukum itu juga mengalami perubahan, dan demikian
pula rekayasa untuk melegalkan seuatu yang berdasarkan ketentaun nash
merupakan sesuatu yang terlarang dengan hanya mengganti kata-kata atau yang
lain juga disyaratkan berdasarkan cara-cara yang sesuai dengan ketentuan
Syari'.
III.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan, meski benar bahwa
maslahah merupakan spirit teks-teks syariah, namun hal itu tidak berarti bahwa
maslahah bisa dijadikan amunisi untuk menganulir hukum yang telah ditetapkan
berdasarkan ketentuan teks. Maslahah di dalam syariah Islam memiliki
batas-batas pasti yang harus selalu dijadikan pedoman oleh para mujtahid dan
pengkaji hukum Islam. Mengabaikan batas-batas tersebut di dalam penggunaan
maslahah sama halnya dengan mengginginkan buah dari sebuah pohon dengan mencabut
akar-akarnya. Dalam hal ini tentu tidak mungkin buah akan diperoleh. Oleh
karenanya, pengetahuan mengenai batas-batas maslahah tersebut tidak saja
merupakan suatu yang urgen tetapi juga merupakan sesutau yang seharusnya
diketahui terlebih oleh para mujtahid dan pengkaji hukum Islam.
IV.
Bibliografi
1.
Al-Buthi, Muhammad Said Ramadlan al-Buthi. Dlowâbith al-Maslahah fî as-Syarîah
al-Islâmiyyah. Cet.ke-7.
Dâr el-Muassasah.
2.
As-Sullamy, Izz ad-Din Abd 'Aziz Ibn 'Abd as-Salam.
1999. Qawâ'id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm.
Cet.ke-1. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.
3.
Al-Ghazâly, Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad.
2007. al-Mustashfâ Min 'Ilmi al-Ushûl.
Cet.ke-1. Muassasah ar-Risalah.
4.
Ar-Raisuny, Ahmad. 1996. Nadhâriyyah al-Maqâshid 'Inda al-Imâm
asy-Syâtiby. Cet.ke-2. al-Dâr
al-'Imiyyah li al-Kitab al-Islamy.
Oleh: Oleh: Muhammad Mahrus Ali*)