I.
Korelasi Syariah dan Maslahah
1.
Sebuah Pengantar
Meski ada perbedaan pendapat mengenai status illah as-syar'iyyah,
apakah ia muatsir (yang berperan) ataukah muarrif (penanda) dan
meski ada perbedaan pendapat dalam ilmu kalam mengenai apakah pekerjaan
Allah didorong oleh suatu illat
ataukah tidak, namun mayoritas Ulama' sepakat bahwa hukum-hukum Allah
mengandung maslahah bagi manusia di dunia dan akhirat. Sebagaimana mereka juga
sepakat bahwa tujuan akhir syariah adalah mewujudkan kebahagiaan hakiki bagi
manusia. Oleh karenanya, tidak aneh bila pembahasan mashlahah atau maqosid al-syariah telah menghiasi
karya ulama'-ulama' tempo dulu. Dalam Nadhoriyyat al-Maqoshid, Al-Raisuny
menulis bahwa munculnya kajian maslahah atau maqosid al-syariyyah
dimulai sejak masa al-Hakim al-Tirmidzi. Al-Tirmidzi telah menggunakan istilah Maqoshid
sebagai judul bukunya al-Shalat wa maqoshiduha yang menguraikan maqoshid
dan rahasia sholat. Ide ini kemudian dikembangkan oleh pakar-pakar berikutnya
seperti Abu Manshur al-Maturidy (w. 333 H), Abu Bakar al-Qoffal al-Syasyi (w.
365 H), Abu Bakar al-Abhary (w. 375 H), al-Baqillany (w. 403 H).
Pada periode berikutnya Imam Haramain (w. 478 H) kemudian berupaya
mensistematisasikan konsep ini dengan membaginya menjadi tiga strata maqosid;
dlaruriyat (primer), hajiyyat (skunder), dan tahsiniyyat (tersier).
Kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh muridnya, Abu Hamid al-Ghozaly (w. 505 H) dalam
kitabnya, al-Mankhul min Ta'liq al-Ushul, Syifau al-Khalil dan al-Musytashfa
Min 'Ilmi al-Ushul .
Di masa selanjutnya untuk sekian
waktu perbincangan mengenai maqoshid mengalami gejala kelesuan bersamaan
dengan kemandekan wacana keilmuan dalam dunia islam. Baru pada abad ke VIII
muncullah sang maestro kajian maqoshid yang bernama al-Syatiby (w. 790 H). Sejak priode itu
konsep maqoshid menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam pembahasan hukum-hukum
syariah[1].
Dalam analisa al-Bhuthy, penggunaan
maslahah (ishtihslah) sebagai salah satu metode penggalian hukum,
sebenarnya bukanlah hal yang baru dilakukan oleh para Aimmah dan Ulama'
madzhab, akan tetapai ia sudah dilakukn sejak masa sahabat sampai pada masa Aimmah
dan seterusnya. Mereka melakukan analogi terhadap al-Nashush al-Syar'iyyah
ketika ada illat yang mempertemukan antara kasus baru yang belum ada
kejelasan hukumnya dengan kasus lama yang sudah ada kejelasan hukumnya
berdasarkan nash atau ijma'. Dan ketika tidak ada nash secara spesifik yang
bisa dijadikan sebagai obyek analogi maka mereka menggunakan maslahah
mursalah dalam menetapkan hukum baru, jika mashlahah tersebut berkisar
dalam tujuan-tujuan universal syariah Islam.
Namun, kendati pandangan bahwa hukum
syariah hanyalah untuk kemaslahatan manusia dapat kita katakan sebagai konsensus,
sangatlah penting bagi kita untuk membuktikan kebenaran pandangan tersebut dengan dalil. As-Syatiby dalam al-Muwâfaqât
di awal pengantar bab Maqôshid menulis bahwa klaim Syariah hanyalah
untuk kemaslahatan manusia, baik di dunia dan akhirat adalah klaim yang harus
dibuktikan dengan dalil burhan.
Di samping itu, menurut al-Buthy,
dalil-dalil tersebut berfungsi sebagai
counter terhadap kelompok-kelompok yang selalu berupaya menyerang Islam
dengan berbagai cara, seperti dengan mengatakan bahwa syari'ah Islam terlalu
tinggi untuk diukur dengan ukuran maslahah, hukum-hukum Allah hanya sebagai
penghambaan saja dan upaya mengeluarkan hikmah dan manfaat-manfaat duniawi dari
hukum-hukum Allah adalah pemaksaan diri untuk membebankan sesuatu pada syariah
yang datang bukan untuk itu. Semua ini,
menurut al-Buthi adalah atas misi
memutus urat nadi yang menghubungkan antara syariah Islam dengan kehidupan manusia di dunia, sehingga mereka akan
beranggapan bahwa syariah Islam tidak bisa mengantarkan mereka pada
keinginan-keinginan duniawi, yang akibatnya bisa saja mereka meninggalkan
ajaran-ajaran Islam atau bahkan meninggalkan agama Islam itu sendiri.
2.
Dalil-dalil Perhatian Syariah terhadap
Maslahah
Ada banyak ayat al-Quran yang
ditampilkan oleh al-Buthy sebagai dalil yang membuktikan kebenaran bahwa hukum-hukum
syariah adalah untuk kemaslahtan manusia. Salah satunya yang menurut penulis
bisa mewakili ayat-ayat yang lain adalah ayat ke 170 dari surah al-Anbiya',
yaitu ayat yang menjelaskan bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad hanyalah sebagai
rahmat bagi seluruh alam. Menurutnya, terutusnya seorang Rasul hanya akan menjadi
rahmat jika syariah yang dibawanya memenuhi kemaslahatan dan menjamin
kebahagiaan manusia, jika tidak, maka syariah itu justru menjadi petaka bagi
mereka. Dengan demikian seakan-akan melalui ayat itu Allah berkata kepada
Nabi-Nya: "sesungguhnya syariah yang kamu bawa adalah penyebab
kebahagiaan dunia dan akhirat dan sumber teraturnya kemaslahatan manusia. Siapa
saja yang menerima rahmat dan mensyukuri nikmat maka ia akan bahagia di dunia
dan akhirat dan siapa saja yang menolak dan mengingkarinya maka ia akan rugi di
dunia dan akhirat". Ayat yang lain yang dijadikan dalil oleh al-Buthy
adalah ayat ke 90 dari surat al-Nahl, ayat ke 24 dari surat al-Nisa', ayat ke
24 dari surat al-Anfal, ayat 204-205 dari surat al-Maidah, ayat ke 185 dari surat al-Baqorah, dll.
Sedangkan dari as-Sunnah, al-Buthy
menampilkan tiga hadits. Pertama, hadits yang menjelaskan bahwa iman
memiliki lebih dari tujuh puluh cabang, yang paling tinggi adalah bersaksi
tiada tuhan selain Allah, sedang yang paling rendah adalah membuang sesuatu
yang mengganggu dari jalan. Menurutnya, seluruh kemaslahatan dengan segala
macamnya masuk dalam hadits tersebut dan berada di antara dua sisinnya. Kedua, adalah hadits yang menjelaskan
seluruh makhluk adalah keluarga Allah dan yang paling dicintai-Nya adalah yang
paling bermanfaat kepada keluarga-Nya. Hal ini, karena jika ukuran kedekatan
manusia kepada Allah di dalam aktivitasnya dinilai dari seberapa besar ia
memberikan manfaat kepada orang lain, maka hal ini tentu lebih layak menjadi
hakim di dalam aturan syari'ah Islam. Ketiga, hadits tentang larangan
berbuat yang membahayakan orang lain dan berbuat saling mendatangkan sesuatu
yang membahayakan. Hadits ini menurut al-Buthy adalah kaidah besar yang menutup
semua jalan bahaya dan kerusakan bagi orang Muslim.
Selanjutnya, ada empat kaidah yang
juga ditampilkan al-Buthy sebagai dalil pandang di atas. Pertama,
pembagian dosa besar dan kecil. Setelah mengutip statemen 'Izz ad-Din ibn Abdis
as-Salam dalam Qowâid al-Ahkâm ia menyimpulkan bahwa besar kecilnya
dosa kemaksiatan adalah sesuai besar kecilnya mafsadah yang ditimbulkan
kemaksiatan tersebut. Demikian pula besar kecilnya pahala ketaatan adalah
sesuai besar kecilnya kemaslahatan yang terkandung dalam ketaatan tersebut. Kedua,
adanya Khithâb Wad'i, yaitu titah Allah yang berkaitan dengan sabab,
mani', syarat, shohih, dan fasid. Hal ini, karena kriteria hamba yang terbebani
hukum adalah baligh dan berakal, namun pelaksanan syarat ini secara kaku akan
menyebabkan hilangnya unsur maslahah dalam sebagian permasalahan. Misalnya anak
kecil merusak barang orang lain maka dilihat dari sisi Khithâb Taklîfi
ia tidak berdosa karena tidak mukallaf, namun untuk menghilangkan
timbulnya kerugian bagi pemilik barang maka walinya harus mengganti barang
tersebut berdasarkan Khithâb Wad'i. Dengan demikian, Khithâb Wad'i
ini merupakan solusi penyelesain masalah ketika tindakan merugikan orang lain
dilakukan oleh bukan orang Mukallaf, supaya tindakan tersebut tidak
menimbulkan hilangnya maslahah bagi orang lain. Ketiga, perhatian
syari'ah terhadap tradisi-tradisi masyarakat dengan syarat tidak mengandung
mafsadah dan tidak menghilangkan maslahah. Keempat, pemilahan syarat, sifat, dan pengaruh kontrak
akad dalam muamalat sesuai perbedaan cara mewujudkan kemaslahatan.
3.
Mengurai Benang Kusut
Sebuah pendapat akan bisa diterima
sebagai sebuah kebenaran, disamping harus memiliki dasar yang kuat juga harus
bersih dari syubhah-syubhah (kekaburan-kekaburan) yang terkait dengan pendapat
tersebut. Sebab, syubhah-syubhah tersebut menyebabkan keruwetan dan
kontradiksi, bak benang kusut yang perlu kita urai. Maka dari sinilah, al-Buthy
merasa perlu untuk melakukan pembersihan pandangan di atas dari syubhah-syubhah
yang berkaitan dengannya.
Adalah sudah maklum bahwa Asya'irah
dalam ilmu kalam berpandangan bahwa pekerjaan Allah tidak didorong oleh suatu 'illat.
Pandangan ini tentu saja terasa janggal
jika kita bandingkan dengan pandangan mereka sendiri dalam pembahasan ilmu usul
bahwa hukum Allah adalah untuk kemaslahatan manusia. Sebab, pernyataan yang
terakhir ini secara lahir bisa membatalkan keberadaan illat dalam Qiyas
hanya sebagai tanda saja, yang berarti akan membatalkan pula terhadap
pernyataan mereka sendiri bahwa pekerjaan Allah tidak didorong suatu 'illat.
Untuk mengurai keruwetan ini,
menurut al-Buthy kita perlu memperhatikan posisi saat mereka menyampaikan
statemen tersebut. Mereka berpendapat bahwa pekerjaan Allah tidak didorong oleh
suatu illat adalah ketika dalam kapasitas mereka sebagai ahli ilmu
kalam. Illat yang mereka maksudkan dalam hal ini adalah 'illat 'aqliyyah
yang dimaksud oleh para filosof yakni suatu illat yang ia sendiri dapat
menimbulkan sesuatu. Hal ini, karena pondasi ilmu kalam adalah filsafat akidah
Islam dan counter atas kebatalan-kebatalan filsasat. Maka sudah tentu istilah
yang mereka gunakan dalam pembahasan ilmu kalam adalah istilah filosof juga.
Tujuan mereka dalam hal ini adalah menjauhkan ta'lil falsafi itu
dari pekerjaan-pekerjaan Allah, supaya tidak merusak akidah orang-orang muslim.
Dan argumen-argumen yang mereka kemukakan dalam pembahasan ini juga tentang illat
dengan pengetian seperti itu, sebab, yang dapat menimbulkan Allah
tersempurnakan dengan yang lain serta dianggap terpaksa dalam melakukan
pekerjaan-Nya adalah jika pekerjaan Allah diillati dengan illat falsafi
tersebut. Karena illat falsafi tersebut akan membuat kebebasan tuhan
terkungkung di bawah kekuasaan motivasi dan tujuan yang menggerakkan-Nya.
Sementara statemen bahwa hukum Allah adalah untuk kemaslahatan manusia mereka
sampaikan dalam disiplin ilmu ushul fikih yang berisi metode menggali dan
menjabarkan hukum-hukum tuhan. Illat yang mereka maksudkan dalam hal ini
adalah illat ja'liyyah, yaitu illat yang dijadikan oleh
Allah menimbulkan hukum tertentu, dengan arti, Allah menggantungkan wujudnya
hukum dengan wujudnya illat tersebut.
Selain syubhah di atas, syubhah lain
yang terkait dengan eksistensi korelasi syariah dengan maslahah ini adalah
kaidah al-ajru 'alâ qodri al-ta'ab, pahala sebuah aktivitas adalah
tergantung kadar kesulitannya. Kaidah ini dirumuskan berdasarkan
hadits riwayat imam Muslim dari sayyidah Aisyah ra. bahwa Rasulullah bersabda
kepadanya; "Pahalamu sesuai kadar kesulitanmu". Sanada dengan
hadits ini, hadits riwayat Bukhori dan Muslim; "tidak terkena musibah
seorang mukmin, baik berupa kesulitan, sakit, kesesuahan, hatta duri yang
mencucuknya kecuali Allah menghapus kesalahan-kesalahannya sebab musibah
tersebut".
Berdasarkan ini sebagian kalangan
menilai bahwa muara pahala ibadah adalah kesulitan yang terdapat di dalamnya.
Namun jika ini benar maka hal ini secara lahir bisa membatalkan kesimpulan
bahwa disyariatkannya hukum hanyalah untuk kemaslahatan manusia. Sebab
kemaslahatan manusia itu akan belawanan dengan upaya menghasilkan kesulitan
tersebut, terlebih apabila kesulitan itu sendiri dinilai sebagai muara pahala
dalam hukum.
Menurut al-Buthy untuk menyeleaikan Syubhah
ini diperlukan untuk menjawab terlebih dahulu dua pertanyaan berikut, benarkah
terjadi kontradiksi antara upaya mewujudkan kemaslahtan dengan keharusan
menanggung kesulitan dalam upaya menggapai kemaslahatan tersebut? Dan benarkah
bahwa kesulitan adalah muara pahala ibadah dan hukum? Menurutnya, klaim
terjadinya kontradiksi tersebut bisa dibenarkan jika terwujudnya kemaslahatan
itu mengharuskan menanggung mafsadah yang sederajat atau malah lebih tinggi
dari kemaslahatan yang hendak dicapai. Sementara jika mafsadah itu lebih rendah
dari mafsadah yang timbul jika maslahah itu tidak bisa diraih maka tidak bisa
dianggap sebagai kontradiksi. Akal normal justru memutuskan untuk menanggung
sedikit kerugian untuk menggapai kemaslahatan yang jika tidak dapat diraih
justru dapat menimbulkan mafsadah yang lebih besar. Masyaqqah atau
kesulitan, dilihat dari sisi ia merupakan rasa sakit yang dirasakan manusia
dinilai sebagai mafsadah, akan tetapi kesulitan itu hanya dijauhi jika mencapai
tingkat yang dapat menghilangkan nilai maslahah. Sholat berdiri misalnya, ia
diwajibkan oleh Syari' (Allah atau Rasulnya) dalam sholat fardu karena
mengandung maslahah, namun ketika berdiri itu menyebabkan rasa sakit yang dapat
menghilangkan kekhusukan yang notabene merupakan tujuan utama ritual
sholat maka dalam kondisi seperti ini Syari' mensyariatkan sholat duduk,
miring, terlentang dan seterusnya. Dan kesulitan seperti inilah yang dimaksud
dalam firman Allah; Dan Allah tidak menjadikan untuk kalian dalam agama
suatu kesulitan.
Adapun masyaqqah yang tidak
sampai menghilangkan nilai maslahah, seperti masyaqqah yang mesti
dirasakan oleh manusia dalam aktivitas-aktivitas dan tugas-tugas kesehariannya
maka ia tidak bisa dianggap kontradiksi dengan upaya mewujudkan maslahah. Masyaqqah
seperti ini bukanlah kesulitan yang ditiadakan dalam firman Allah; Allah
menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan. Dan Masyaqqah
yang mesti ditanggung dalam melaksanakan hukum Allah tidak lebih dari masyaqqah
seperti ini. Karenanya, ketika suatu masyaqqah
melebihi tingkatan ini Syari' memberikan dispensasi untuk lepas dari masyaqqah
tersebut. Lalu dari sini timbul pertanyaan selanjutnya, apakah masyaqqah
yang mesti menyertai setiap pelaksanakan hukum Allah itu juga merupakan tujuan
hukum-hukum Allah?
Menurut al-Buthy setiap aktivitas yang
diperintahkan Syari' hanya disyariatkan untuk mewujudkan kemaslahatan
yang timbul dari aktivitas tersebut. Adapun masyaqqah yang mesti
ditanggung dalam pelaksanaan aktivitas tersebut mengandung hikmah karena manusia adalah Mukallaf,
makhluk yang dibebani hukum. Sementara pembebanan ini tidak akan terwujud
secara nyata kecuali mereka diperintahkan melakukan sesuatu yang
mengandung kesulitan meski ringan.
Dengan demikian, dari aspek ini dapat kita katakan bahwa masyaqqah
tersebut memang menjadi tujuan Syari'. Namun, perlu dicatat bahwa masyaqqah
ini hanya kesulitan kecil yang tidak sampai merusak kemaslahatan yang memang
menjadi tujuan utama hukum-hukum syariat. Bahkan masyaqqah tersebut
tidak lebih dari sekedar menghindar dari penurutan kesenangan nafsu. Sebab--sebagiamana
ditulis as-Syatibi di dalam al-Muwâfaqât--berdasarkan penelitian,
kemaslahatan agama dan dunia tidak akan terwujud jika manusia dibiarkan
mengikuti kesenangan nafsunya, karena hal itu mesti menimbulkan permusuhan,
persaingan tidak sehat bahkan saling membunuh yang semua ini berlawanan dengan
kemaslahatan.
Selanjutnya, mengenai persepsi bahwa
masyaqqah adalah muara pahala penerapan hukum, Menurut al-Buthy tidaklah
benar. Tujuan pensyariatan hukum tak lain adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia, sementara masyaqqah yang dirasakan ketika melaksanakan tuntutan
syariah itu hanya sekedar sebagai wasilah untuk menggapai kemaslatan tersebut.
Hal ini berdasarkan beberapa dalil. Pertama, jika pahala itu berdasarkan
masyaqqah bukan atas nama wasilah maka tidak benar bahwa Allah
tidak menuntut hamba-Nya dengan sesuatu yang mengandung
kesulitan, namun ini jelas batil karena berdasarkan Nash dan Ijma', Allah tidak
pernah mensyariatkan untuk hambanya sesuatu yang mengandung masyaqqah
yang melebihi batas kebiasaan. Kedua, sudah ditetapkan berdasarkan
dalil-dalil qot'i bahwa syariat bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Ketiga,
jika masyaqqah memang sebagai tujuan utama syari'at maka manusia bisa
membuat-buat sendiri bentuk-bentuk ritual dengan hanya berdasarkan sudah
terwujudnya masyaqqah dalam ritual tersebut, namun ini juga batil karena
banyak sekali dalil-dalil qoth'i yang melarang perbuatan-perbuatan bid'ah.
Keempat, berdasarkan hadits shohih banyak sekali ketaatan yang ringan
ternyata lebih besar pahalanya dari ketaatan yang mengandung kesulitan.
Sementara mengenai dalil-dalil yang
digunakan oleh para pemilik persepsi di atas menurut al-Buthy juga tidak
menunjukkan pada persepsi tersebut.
Pertama, hadits Aisyah tentang sabda nabi; pahalamu sesuai kadar kesulitanmu.
Hadist ini, menurutnya bermakna bahwa masyaqqah yang mesti menyertai
ritual ibadah, pahalanya berbeda-beda sesui berat ringannya masyaqqah tersebut
namun tidak dari sisi masyaqqah itu sendiri akan tetapi dari sisi masyaqqah
itu sebagai wasilah terlaksananya ketaatan.
Kedua, hadits Bukhori dan Muslim tentang sabda Nabi; Tidak terkena musibah
seorang mukmin berupa kesulitan, sakit, kesusahan,, hingga duri yang yang
mencocoknya kecuali Allah melebur dosa-dosanya. Hadits ini, menurutnya
hanya berbicara tentang peleburan dosa
seorang muslim yang mengalami musibah dan tidak menyinggung sama sekali tentang
pahala. Sementara dua hal tersebut jelas berbeda, peleburan dosa cukup
digantungkan dengan hukuman yang notabene ia hanyalah reaksi yang secara otomatis
terjadi pada manusia tanpa bisa berupaya menolaknya. Sedangkan hak mendapatkan pahala hanya digantungkan
dengan pekerjaan yang muncul dari usaha manusia, karena usaha mendapat pahala
adalah buah Taklif dan manusia bisa dianggap telah memenuhi hak-hak Taklif hanyalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang
muncul dari pilihan dan usahanya. Diantara dalil yang menunjukkan bahwa hadits
ini hanya terkait dengan peleburan dosa adalah riwayat tentang Abu bakar ketika turun ayat 123 dari surah
al-Nisa' yang menjelaskan bahwa setiap kejelekan akan mendapat balasan. Ia
bertanya; Bagaimana menghilangkannya, setelah turunnya ayat ini? Lalu Nabi bersabda; Allah mengmpunimu
wahai Abu Bakar, bukankah kamu sakit? Bukankah kamu mengalami kesulitan?
Bukankah kamu mengalami kesusahan? Bukan kamu pernah terkana cobaan? Abu
Bakar berkata; ia. Nabi lalu bersabda; Itulah balasannya.
Sementara mengenai hadits yang terdapat dalam
Shohih Muslim dari sayyidah Aisyah tentang sabda Nabi, tidak satu pun dari
orang muslim yang tercocok duri atau yang lebih berat dari itu kecuali ditulis
untuknya suatu kebaikan dan dilebur darinya suatu kesalahan.? Menurut al-Buthy
hadits ini adalah hadits yang berbentuk Muthlak. Mengenai masalah
peleburan dosa bisa kita tetapkan pada kemutlakannya namun untuk masalah
terangkatnya derajat (bertambahnya pahala) haruslah diberi qoyyid sabar dan ridlo. Karena secara logika musibah
itu hanya sebatas reaksi yang secara otomatis muncul pada manusia, sementara
pahala dan hukuman adalah buah dari perintah dan larangan yang keduanya hanya
berkaitan dengan pekerjaan. Di samping itu banyak sekali ayat-ayat yang
menjelaskan bahwa pahala hanya berkaitan dengan pekerjaan. Menurut al-Buthy
satu ayat yang sama sekali tidak bisa ditolak bahwa hadits di atas harus
dibatasi adalah ayat 155 surat al-Baqorah, Allah berfirman; Dan sung guh
kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berilah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar. Ayat ini
menurutnya dalam satu konteks dengan hadits di atas yaitu mengenai musibah,
namun ternyata dalam ayat ini Allah mengkhususkan kabar gembira yang berupa
pahala hanya kepada orang-orang yang sabar. Dan dipandang dari segala aspeknya
ayat ini adalah khusus sementara hadits di atas adalah muthlak.
Maka satu-satunya cara untuk melakukan
singkronisasi antara keduanya adalah membatasi hadits tersebut dengan sesuatu
yang secara eksplisit dijelaskan di dalam ayat yaitu disyaratkannya sabar dan
ridlo jika ingin mendapat pahala ketika mengalami musibah.
Ketiga, adalah hadits yang menjelaskan tentang sifat ibadah Nabi, diantanya
hadits yang diriwayatkan dari Mughirah bin Syu'bah bahwa Rasulullah pernah
melaksanakan sholat sampai kedua telapak kakinya bengkak-bengkak. Lalu ketika
dikatakan kepada beliau; Allah telah mengampuni dosa-dosamu, yang telah
lalu dan yang akan datang. Maka
beliau menjawab; tidakkah seharusnya aku menjadi hamba yang bersyukur?.
Untuk menghilangkan syubhah dalam hadits
semacam ini menurut al-Buthy, terlebih dahulu kita perlu memahami dua hal. Pertama,
bahwa yang dilarang dan dinilai kontradiksi dengan pemeliharaan terhadap
mashlahah adalah jika seseorang melaksanakan ibadah yang mengandung kesulitan
dengan tujuan untuk kesulitan itu sendiri, sehingga ibadah itu seakan hanya
sebagai wasilah untuk mencapai kesulitan tersebut. Kedua, tuntutan hukum dibatasi dengan kemampuan
manusia adalah karena dua sebab yaitu supaya pengaruh masyaqqah tidak
sampai menimbulkan rasa bosan sehingga malah menyebabkan manusia meninggal
tuntutan tersebut dan supaya tidak timbul cacat pada jiwa, fisik atau akal
sehingga berakibat seperti sebelumnya. Jika demikian, maka dapat kita fahami
bahwa kesulitan yang dialami Rasulullah dalam sebagian ibadahnya tidaklah beliau
jadikan sebagai tujuan, Rasulullah hanya bertujuan untuk melaksanakan hak-hak
Allah yang telah memberikan nikmat yang tak terhingga kepada beliau. Hal ini
nampak sekali dalam jawaban Rasulullah di atas yaitu ketika ada yang menyampaikan
tentang jaminan pengampunan Allah atas beliau. Selain itu dari dua sabab
dibatasinya taklif dengan kemampuan manusia juga dapat kita fahami bahwa hukum
pembatasan ini berdasarkan suatu illah, sementara kita tahu hukum selalu
beredar sesuai illatnya. Illat ini terkadang tidak ditemukan pada
sebagian manusia seperti para Nabi. Masyaqqah bagi mereka telah lebur
dalam rasa cinta dalam rindu kepada Allah.
Dari
keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa tidak ada satupun dalil-dalil
yang menunjukkan bahwa muara pahala adalah Masyaqqah yang dapat mengkaburkan
kesepakatan bahwa hukum-hukum Allah hanyalah untuk kemaslahatan manusia.
[1]. ar-Raisuny, Nadloriyyah al-Maqashid 'Inda al-Imam
asy-Syatiby, (al-Dar al-'Imiyyah li al-Kitab al-Islamy)cet. Ke-2 1996 M. h.41