Studi Maslahah dalam Perspektif Dr. Muhammad Sa'id Ramadlan al-Buthy (part 2)


I.         Korelasi Syariah dan Maslahah
1.     Sebuah Pengantar
Meski ada perbedaan pendapat mengenai status illah as-syar'iyyah, apakah ia muatsir (yang berperan) ataukah muarrif (penanda) dan meski ada perbedaan pendapat dalam ilmu kalam mengenai apakah pekerjaan Allah  didorong oleh suatu illat ataukah tidak, namun mayoritas Ulama' sepakat bahwa hukum-hukum Allah mengandung maslahah bagi manusia di dunia dan akhirat. Sebagaimana mereka juga sepakat bahwa tujuan akhir syariah adalah mewujudkan kebahagiaan hakiki bagi manusia. Oleh karenanya, tidak aneh bila pembahasan mashlahah atau  maqosid al-syariah telah menghiasi karya ulama'-ulama' tempo dulu. Dalam  Nadhoriyyat al-Maqoshid, Al-Raisuny menulis bahwa munculnya kajian maslahah atau maqosid al-syariyyah dimulai sejak masa al-Hakim al-Tirmidzi. Al-Tirmidzi telah menggunakan istilah Maqoshid sebagai judul bukunya al-Shalat wa maqoshiduha yang menguraikan maqoshid dan rahasia sholat. Ide ini kemudian dikembangkan oleh pakar-pakar berikutnya seperti Abu Manshur al-Maturidy (w. 333 H), Abu Bakar al-Qoffal al-Syasyi (w. 365 H), Abu Bakar al-Abhary (w. 375 H), al-Baqillany (w. 403 H).

Pada periode berikutnya Imam Haramain (w. 478 H) kemudian berupaya mensistematisasikan konsep ini dengan membaginya menjadi tiga strata maqosid; dlaruriyat (primer), hajiyyat (skunder), dan tahsiniyyat (tersier). Kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh muridnya,  Abu Hamid al-Ghozaly (w. 505 H) dalam kitabnya, al-Mankhul min Ta'liq al-Ushul, Syifau al-Khalil dan al-Musytashfa Min 'Ilmi al-Ushul .
Di masa selanjutnya untuk sekian waktu perbincangan mengenai maqoshid mengalami gejala kelesuan bersamaan dengan kemandekan wacana keilmuan dalam dunia islam. Baru pada abad ke VIII muncullah sang maestro kajian maqoshid yang bernama  al-Syatiby (w. 790 H). Sejak priode itu konsep maqoshid menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam pembahasan hukum-hukum syariah[1]
Dalam analisa al-Bhuthy, penggunaan maslahah (ishtihslah) sebagai salah satu metode penggalian hukum, sebenarnya bukanlah hal yang baru dilakukan oleh para Aimmah dan Ulama' madzhab, akan tetapai ia sudah dilakukn sejak masa sahabat sampai pada masa Aimmah dan seterusnya. Mereka melakukan analogi terhadap al-Nashush al-Syar'iyyah ketika ada illat yang mempertemukan antara kasus baru yang belum ada kejelasan hukumnya dengan kasus lama yang sudah ada kejelasan hukumnya berdasarkan nash atau ijma'. Dan ketika tidak ada nash secara spesifik yang bisa dijadikan sebagai obyek analogi maka mereka menggunakan maslahah mursalah dalam menetapkan hukum baru, jika mashlahah tersebut berkisar dalam tujuan-tujuan universal syariah Islam.

Namun, kendati pandangan bahwa hukum syariah hanyalah untuk kemaslahatan manusia dapat kita katakan sebagai konsensus, sangatlah penting bagi kita untuk membuktikan kebenaran pandangan tersebut  dengan dalil. As-Syatiby dalam al-Muwâfaqât di awal pengantar bab Maqôshid menulis bahwa klaim Syariah hanyalah untuk kemaslahatan manusia, baik di dunia dan akhirat adalah klaim yang harus dibuktikan dengan dalil  burhan.
Di samping itu, menurut al-Buthy, dalil-dalil tersebut berfungsi sebagai  counter terhadap kelompok-kelompok yang selalu berupaya menyerang Islam dengan berbagai cara, seperti dengan mengatakan bahwa syari'ah Islam terlalu tinggi untuk diukur dengan ukuran maslahah, hukum-hukum Allah hanya sebagai penghambaan saja dan upaya mengeluarkan hikmah dan manfaat-manfaat duniawi dari hukum-hukum Allah adalah pemaksaan diri untuk membebankan sesuatu pada syariah yang  datang bukan untuk itu. Semua ini, menurut al-Buthi  adalah atas misi memutus urat nadi yang menghubungkan antara syariah Islam dengan  kehidupan manusia di dunia, sehingga mereka akan beranggapan bahwa syariah Islam tidak bisa mengantarkan mereka pada keinginan-keinginan duniawi, yang akibatnya bisa saja mereka meninggalkan ajaran-ajaran Islam atau bahkan meninggalkan agama Islam itu sendiri.
2.    Dalil-dalil  Perhatian Syariah terhadap Maslahah
Ada banyak ayat al-Quran yang ditampilkan oleh al-Buthy sebagai dalil yang membuktikan kebenaran bahwa hukum-hukum syariah adalah untuk kemaslahtan manusia. Salah satunya yang menurut penulis bisa mewakili ayat-ayat yang lain adalah ayat ke 170 dari surah al-Anbiya', yaitu ayat yang menjelaskan bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad hanyalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Menurutnya, terutusnya seorang Rasul hanya akan menjadi rahmat jika syariah yang dibawanya memenuhi kemaslahatan dan menjamin kebahagiaan manusia, jika tidak, maka syariah itu justru menjadi petaka bagi mereka. Dengan demikian seakan-akan melalui ayat itu Allah berkata kepada Nabi-Nya: "sesungguhnya syariah yang kamu bawa adalah penyebab kebahagiaan dunia dan akhirat dan sumber teraturnya kemaslahatan manusia. Siapa saja yang menerima rahmat dan mensyukuri nikmat maka ia akan bahagia di dunia dan akhirat dan siapa saja yang menolak dan mengingkarinya maka ia akan rugi di dunia dan akhirat". Ayat yang lain yang dijadikan dalil oleh al-Buthy adalah ayat ke 90 dari surat al-Nahl, ayat ke 24 dari surat al-Nisa', ayat ke 24 dari surat al-Anfal, ayat 204-205 dari surat al-Maidah, ayat  ke 185 dari surat al-Baqorah, dll.
Sedangkan dari as-Sunnah, al-Buthy menampilkan tiga hadits. Pertama, hadits yang menjelaskan bahwa iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang, yang paling tinggi adalah bersaksi tiada tuhan selain Allah, sedang yang paling rendah adalah membuang sesuatu yang mengganggu dari jalan. Menurutnya, seluruh kemaslahatan dengan segala macamnya masuk dalam hadits tersebut dan berada di antara dua sisinnya.  Kedua, adalah hadits yang menjelaskan seluruh makhluk adalah keluarga Allah dan yang paling dicintai-Nya adalah yang paling bermanfaat kepada keluarga-Nya. Hal ini, karena jika ukuran kedekatan manusia kepada Allah di dalam aktivitasnya dinilai dari seberapa besar ia memberikan manfaat kepada orang lain, maka hal ini tentu lebih layak menjadi hakim di dalam aturan syari'ah Islam. Ketiga, hadits tentang larangan berbuat yang membahayakan orang lain dan berbuat saling mendatangkan sesuatu yang membahayakan. Hadits ini menurut al-Buthy adalah kaidah besar yang menutup semua jalan bahaya dan kerusakan bagi orang Muslim.

Selanjutnya, ada empat kaidah yang juga ditampilkan al-Buthy sebagai dalil pandang di atas. Pertama, pembagian dosa besar dan kecil. Setelah mengutip statemen 'Izz ad-Din ibn Abdis as­-Salam dalam Qowâid al-Ahkâm ia menyimpulkan bahwa besar kecilnya dosa kemaksiatan adalah sesuai besar kecilnya mafsadah yang ditimbulkan kemaksiatan tersebut. Demikian pula besar kecilnya pahala ketaatan adalah sesuai besar kecilnya kemaslahatan yang terkandung dalam ketaatan tersebut. Kedua, adanya Khithâb Wad'i, yaitu titah Allah yang berkaitan dengan sabab, mani', syarat, shohih, dan fasid. Hal ini, karena kriteria hamba yang terbebani hukum adalah baligh dan berakal, namun pelaksanan syarat ini secara kaku akan menyebabkan hilangnya unsur maslahah dalam sebagian permasalahan. Misalnya anak kecil merusak barang orang lain maka dilihat dari sisi Khithâb Taklîfi ia tidak berdosa karena tidak mukallaf, namun untuk menghilangkan timbulnya kerugian bagi pemilik barang maka walinya harus mengganti barang tersebut berdasarkan Khithâb Wad'i. Dengan demikian, Khithâb Wad'i ini merupakan solusi penyelesain masalah ketika tindakan merugikan orang lain dilakukan oleh bukan orang Mukallaf, supaya tindakan tersebut tidak menimbulkan hilangnya maslahah bagi orang lain. Ketiga, perhatian syari'ah terhadap tradisi-tradisi masyarakat dengan syarat tidak mengandung mafsadah dan tidak menghilangkan maslahah. Keempat,  pemilahan syarat, sifat, dan pengaruh kontrak akad dalam muamalat sesuai perbedaan cara mewujudkan kemaslahatan.
3.    Mengurai Benang Kusut
Sebuah pendapat akan bisa diterima sebagai sebuah kebenaran, disamping harus memiliki dasar yang kuat juga harus bersih dari syubhah-syubhah (kekaburan-kekaburan) yang terkait dengan pendapat tersebut. Sebab, syubhah-syubhah tersebut menyebabkan keruwetan dan kontradiksi, bak benang kusut yang perlu kita urai. Maka dari sinilah, al-Buthy merasa perlu untuk melakukan pembersihan pandangan di atas dari syubhah-syubhah yang berkaitan dengannya.
Adalah sudah maklum bahwa Asya'irah dalam ilmu kalam berpandangan bahwa pekerjaan Allah tidak didorong oleh suatu 'illat. Pandangan  ini tentu saja terasa janggal jika kita bandingkan dengan pandangan mereka sendiri dalam pembahasan ilmu usul bahwa hukum Allah adalah untuk kemaslahatan manusia. Sebab, pernyataan yang terakhir ini secara lahir bisa membatalkan keberadaan illat dalam Qiyas hanya sebagai tanda saja, yang berarti akan membatalkan pula terhadap pernyataan mereka sendiri bahwa pekerjaan Allah tidak didorong suatu 'illat.
Untuk mengurai keruwetan ini, menurut al-Buthy kita perlu memperhatikan posisi saat mereka menyampaikan statemen tersebut. Mereka berpendapat bahwa pekerjaan Allah tidak didorong oleh suatu illat adalah ketika dalam kapasitas mereka sebagai ahli ilmu kalam. Illat yang mereka maksudkan dalam hal ini adalah 'illat 'aqliyyah yang dimaksud oleh para filosof yakni suatu illat yang ia sendiri dapat menimbulkan sesuatu. Hal ini, karena pondasi ilmu kalam adalah filsafat akidah Islam dan counter atas kebatalan-kebatalan filsasat. Maka sudah tentu istilah yang mereka gunakan dalam pembahasan ilmu kalam adalah istilah filosof juga. Tujuan mereka dalam hal ini adalah menjauhkan ta'lil falsafi itu dari pekerjaan-pekerjaan Allah, supaya tidak merusak akidah orang-orang muslim. Dan argumen-argumen yang mereka kemukakan dalam pembahasan ini juga tentang illat dengan pengetian seperti itu, sebab, yang dapat menimbulkan Allah tersempurnakan dengan yang lain serta dianggap terpaksa dalam melakukan pekerjaan-Nya adalah jika pekerjaan Allah diillati dengan illat falsafi tersebut. Karena illat falsafi tersebut akan membuat kebebasan tuhan terkungkung di bawah kekuasaan motivasi dan tujuan yang menggerakkan-Nya. Sementara statemen bahwa hukum Allah adalah untuk kemaslahatan manusia mereka sampaikan dalam disiplin ilmu ushul fikih yang berisi metode menggali dan menjabarkan hukum-hukum tuhan. Illat yang mereka maksudkan dalam hal ini adalah illat ja'liyyah, yaitu illat yang dijadikan oleh Allah menimbulkan hukum tertentu, dengan arti, Allah menggantungkan wujudnya hukum dengan wujudnya illat tersebut.
Selain syubhah di atas, syubhah lain yang terkait dengan eksistensi korelasi syariah dengan maslahah ini adalah kaidah al-ajru 'alâ qodri al-ta'ab, pahala sebuah aktivitas adalah tergantung kadar kesulitannya. Kaidah ini dirumuskan berdasarkan hadits riwayat imam Muslim dari sayyidah Aisyah ra. bahwa Rasulullah bersabda kepadanya; "Pahalamu sesuai kadar kesulitanmu". Sanada dengan hadits ini, hadits riwayat Bukhori dan Muslim; "tidak terkena musibah seorang mukmin, baik berupa kesulitan, sakit, kesesuahan, hatta duri yang mencucuknya kecuali Allah menghapus kesalahan-kesalahannya sebab musibah tersebut".
Berdasarkan ini sebagian kalangan menilai bahwa muara pahala ibadah adalah kesulitan yang terdapat di dalamnya. Namun jika ini benar maka hal ini secara lahir bisa membatalkan kesimpulan bahwa disyariatkannya hukum hanyalah untuk kemaslahatan manusia. Sebab kemaslahatan manusia itu akan belawanan dengan upaya menghasilkan kesulitan tersebut, terlebih apabila kesulitan itu sendiri dinilai sebagai muara pahala dalam hukum.

Menurut al-Buthy untuk menyeleaikan Syubhah ini diperlukan untuk menjawab terlebih dahulu dua pertanyaan berikut, benarkah terjadi kontradiksi antara upaya mewujudkan kemaslahtan dengan keharusan menanggung kesulitan dalam upaya menggapai kemaslahatan tersebut? Dan benarkah bahwa kesulitan adalah muara pahala ibadah dan hukum? Menurutnya, klaim terjadinya kontradiksi tersebut bisa dibenarkan jika terwujudnya kemaslahatan itu mengharuskan menanggung mafsadah yang sederajat atau malah lebih tinggi dari kemaslahatan yang hendak dicapai. Sementara jika mafsadah itu lebih rendah dari mafsadah yang timbul jika maslahah itu tidak bisa diraih maka tidak bisa dianggap sebagai kontradiksi. Akal normal justru memutuskan untuk menanggung sedikit kerugian untuk menggapai kemaslahatan yang jika tidak dapat diraih justru dapat menimbulkan mafsadah yang lebih besar. Masyaqqah atau kesulitan, dilihat dari sisi ia merupakan rasa sakit yang dirasakan manusia dinilai sebagai mafsadah, akan tetapi kesulitan itu hanya dijauhi jika mencapai tingkat yang dapat menghilangkan nilai maslahah. Sholat berdiri misalnya, ia diwajibkan oleh Syari' (Allah atau Rasulnya) dalam sholat fardu karena mengandung maslahah, namun ketika berdiri itu menyebabkan rasa sakit yang dapat menghilangkan kekhusukan yang notabene merupakan tujuan utama ritual sholat maka dalam kondisi seperti ini Syari' mensyariatkan sholat duduk, miring, terlentang dan seterusnya. Dan kesulitan seperti inilah yang dimaksud dalam firman Allah; Dan Allah tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesulitan.
Adapun masyaqqah yang tidak sampai menghilangkan nilai maslahah, seperti masyaqqah yang mesti dirasakan oleh manusia dalam aktivitas-aktivitas dan tugas-tugas kesehariannya maka ia tidak bisa dianggap kontradiksi dengan upaya mewujudkan maslahah. Masyaqqah seperti ini bukanlah kesulitan yang ditiadakan dalam firman Allah; Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan. Dan Masyaqqah yang mesti ditanggung dalam melaksanakan hukum Allah tidak lebih dari masyaqqah seperti  ini. Karenanya, ketika suatu masyaqqah melebihi tingkatan ini Syari' memberikan dispensasi untuk lepas dari masyaqqah tersebut. Lalu dari sini timbul pertanyaan selanjutnya, apakah masyaqqah yang mesti menyertai setiap pelaksanakan hukum Allah itu juga merupakan tujuan hukum-hukum Allah?
 Menurut al-Buthy setiap aktivitas yang diperintahkan Syari' hanya disyariatkan untuk mewujudkan kemaslahatan yang timbul dari aktivitas tersebut. Adapun masyaqqah yang mesti ditanggung dalam pelaksanaan aktivitas tersebut mengandung  hikmah karena manusia adalah Mukallaf, makhluk yang dibebani hukum. Sementara pembebanan ini tidak akan terwujud secara nyata kecuali mereka diperintahkan melakukan sesuatu yang mengandung  kesulitan meski ringan. Dengan demikian, dari aspek ini dapat kita katakan bahwa masyaqqah tersebut memang menjadi tujuan Syari'. Namun, perlu dicatat bahwa masyaqqah ini hanya kesulitan kecil yang tidak sampai merusak kemaslahatan yang memang menjadi tujuan utama hukum-hukum syariat. Bahkan masyaqqah tersebut tidak lebih dari sekedar menghindar dari penurutan kesenangan nafsu. Sebab--sebagiamana ditulis as-Syatibi di dalam al-Muwâfaqât--berdasarkan penelitian, kemaslahatan agama dan dunia tidak akan terwujud jika manusia dibiarkan mengikuti kesenangan nafsunya, karena hal itu mesti menimbulkan permusuhan, persaingan tidak sehat bahkan saling membunuh yang semua ini berlawanan dengan kemaslahatan.
Selanjutnya, mengenai persepsi bahwa masyaqqah adalah muara pahala penerapan hukum, Menurut al-Buthy tidaklah benar. Tujuan pensyariatan hukum tak lain adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, sementara masyaqqah yang dirasakan ketika melaksanakan tuntutan syariah itu hanya sekedar sebagai wasilah untuk menggapai kemaslatan tersebut. Hal ini berdasarkan beberapa dalil. Pertama, jika pahala itu berdasarkan masyaqqah bukan atas nama wasilah maka tidak benar bahwa Allah tidak  menuntut  hamba-Nya dengan sesuatu yang mengandung kesulitan, namun ini jelas batil karena berdasarkan Nash dan Ijma', Allah tidak pernah mensyariatkan untuk hambanya sesuatu yang mengandung masyaqqah yang melebihi batas kebiasaan. Kedua, sudah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qot'i bahwa syariat bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Ketiga, jika masyaqqah memang sebagai tujuan utama syari'at maka manusia bisa membuat-buat sendiri bentuk-bentuk ritual dengan hanya berdasarkan sudah terwujudnya masyaqqah dalam ritual tersebut, namun ini juga batil karena banyak sekali dalil-dalil qoth'i yang melarang perbuatan-perbuatan bid'ah. Keempat, berdasarkan hadits shohih banyak sekali ketaatan yang ringan ternyata lebih besar pahalanya dari ketaatan yang mengandung kesulitan.
Sementara mengenai dalil-dalil yang digunakan oleh para pemilik persepsi di atas menurut al-Buthy juga tidak menunjukkan pada persepsi tersebut.
Pertama, hadits Aisyah tentang sabda nabi; pahalamu sesuai kadar kesulitanmu. Hadist ini, menurutnya bermakna bahwa masyaqqah yang mesti menyertai ritual ibadah, pahalanya berbeda-beda sesui berat ringannya masyaqqah tersebut namun tidak dari sisi masyaqqah itu sendiri akan tetapi dari sisi masyaqqah itu sebagai wasilah terlaksananya ketaatan.
Kedua, hadits Bukhori dan Muslim tentang sabda Nabi; Tidak terkena musibah seorang mukmin berupa kesulitan, sakit, kesusahan,, hingga duri yang yang mencocoknya kecuali Allah melebur dosa-dosanya. Hadits ini, menurutnya hanya berbicara tentang  peleburan dosa seorang muslim yang mengalami musibah dan tidak menyinggung sama sekali tentang pahala. Sementara dua hal tersebut jelas berbeda, peleburan dosa cukup digantungkan dengan hukuman yang notabene ia hanyalah reaksi yang secara otomatis terjadi pada manusia tanpa bisa berupaya menolaknya. Sedangkan  hak mendapatkan pahala hanya digantungkan dengan pekerjaan yang muncul dari usaha manusia, karena usaha mendapat pahala adalah buah Taklif dan manusia bisa dianggap telah memenuhi hak-hak Taklif  hanyalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang muncul dari pilihan dan usahanya. Diantara dalil yang menunjukkan bahwa hadits ini hanya terkait dengan peleburan dosa adalah riwayat tentang  Abu bakar ketika turun ayat 123 dari surah al-Nisa' yang menjelaskan bahwa setiap kejelekan akan mendapat balasan. Ia bertanya; Bagaimana menghilangkannya, setelah turunnya ayat ini?  Lalu Nabi bersabda; Allah mengmpunimu wahai Abu Bakar, bukankah kamu sakit? Bukankah kamu mengalami kesulitan? Bukankah kamu mengalami kesusahan? Bukan kamu pernah terkana cobaan? Abu Bakar berkata; ia. Nabi lalu bersabda; Itulah balasannya.
 Sementara mengenai hadits yang terdapat dalam Shohih Muslim dari sayyidah Aisyah tentang sabda Nabi, tidak satu pun dari orang muslim yang tercocok duri atau yang lebih berat dari itu kecuali ditulis untuknya suatu kebaikan dan dilebur darinya suatu kesalahan.? Menurut al-Buthy hadits ini adalah hadits yang berbentuk Muthlak. Mengenai masalah peleburan dosa bisa kita tetapkan pada kemutlakannya namun untuk masalah terangkatnya derajat (bertambahnya pahala) haruslah diberi qoyyid  sabar dan ridlo. Karena secara logika musibah itu hanya sebatas reaksi yang secara otomatis muncul pada manusia, sementara pahala dan hukuman adalah buah dari perintah dan larangan yang keduanya hanya berkaitan dengan pekerjaan. Di samping itu banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan bahwa pahala hanya berkaitan dengan pekerjaan. Menurut al-Buthy satu ayat yang sama sekali tidak bisa ditolak bahwa hadits di atas harus dibatasi adalah ayat 155 surat al-Baqorah, Allah berfirman; Dan sung guh kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan  berilah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar. Ayat ini menurutnya dalam satu konteks dengan hadits di atas yaitu mengenai musibah, namun ternyata dalam ayat ini Allah mengkhususkan kabar gembira yang berupa pahala hanya kepada orang-orang yang sabar. Dan dipandang dari segala aspeknya ayat ini adalah khusus sementara hadits di atas adalah muthlak. Maka satu-satunya cara untuk  melakukan singkronisasi antara keduanya adalah membatasi hadits tersebut dengan sesuatu yang secara eksplisit dijelaskan di dalam ayat yaitu disyaratkannya sabar dan ridlo jika ingin mendapat pahala ketika mengalami musibah.
Ketiga, adalah hadits yang menjelaskan tentang sifat ibadah Nabi, diantanya hadits yang diriwayatkan dari Mughirah bin Syu'bah bahwa Rasulullah pernah melaksanakan sholat sampai kedua telapak kakinya bengkak-bengkak. Lalu ketika dikatakan kepada beliau; Allah telah mengampuni dosa-dosamu, yang telah lalu  dan yang akan datang. Maka beliau menjawab; tidakkah seharusnya aku menjadi hamba yang bersyukur?.
 Untuk menghilangkan syubhah dalam hadits semacam ini menurut al-Buthy, terlebih dahulu kita perlu memahami dua hal. Pertama, bahwa yang dilarang dan dinilai kontradiksi dengan pemeliharaan terhadap mashlahah adalah jika seseorang melaksanakan ibadah yang mengandung kesulitan dengan tujuan untuk kesulitan itu sendiri, sehingga ibadah itu seakan hanya sebagai wasilah untuk mencapai kesulitan tersebut. Kedua,  tuntutan hukum dibatasi dengan kemampuan manusia adalah karena dua sebab yaitu supaya pengaruh masyaqqah tidak sampai menimbulkan rasa bosan sehingga malah menyebabkan manusia meninggal tuntutan tersebut dan supaya tidak timbul cacat pada jiwa, fisik atau akal sehingga berakibat seperti sebelumnya. Jika demikian, maka dapat kita fahami bahwa kesulitan yang dialami Rasulullah dalam sebagian ibadahnya tidaklah beliau jadikan sebagai tujuan, Rasulullah hanya bertujuan untuk melaksanakan hak-hak Allah yang telah memberikan nikmat yang tak terhingga kepada beliau. Hal ini nampak sekali dalam jawaban Rasulullah di atas yaitu ketika ada yang menyampaikan tentang jaminan pengampunan Allah atas beliau. Selain itu dari dua sabab dibatasinya taklif dengan kemampuan manusia juga dapat kita fahami bahwa hukum pembatasan ini berdasarkan suatu illah, sementara kita tahu hukum selalu beredar sesuai illatnya. Illat ini terkadang tidak ditemukan pada sebagian manusia seperti para Nabi. Masyaqqah bagi mereka telah lebur dalam rasa cinta dalam rindu kepada Allah.
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa tidak ada satupun dalil-dalil yang menunjukkan bahwa muara pahala adalah Masyaqqah yang dapat mengkaburkan kesepakatan bahwa hukum-hukum Allah hanyalah untuk kemaslahatan manusia.



[1]. ar-Raisuny, Nadloriyyah al-Maqashid 'Inda al-Imam asy-Syatiby, (al-Dar al-'Imiyyah li al-Kitab al-Islamy)cet. Ke-2 1996 M. h.41

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »